Let's imagine... let's escape... and it might not be beautiful, but at least you're there

Pleuvoir

(Versi Penulis)

Diterbitkan pertama April 2009- Dipost pertama April 2016

Prolog

Bab I. Monsieur Calvin

     Kenapa air hujan bisa istimewa? Kenapa saat dirasa mengguyur badan, seperti ada sensasi tersendiri yang mampu buat kita tertawa atau bahkan menangis? Kenapa efeknya bisa dahsyat banget, sementara air hujan sebenarnya cuma air? Dan bukannya air dimana-mana sama saja? Aku nggak bisa menjawab pertanyaan aneh itu, sama seperti kalian yang mungkin juga bingung. Aku rasa kita cuma bisa berharap kalau dalam kehidupan cinta masing-masing, kita bisa menemukan seseorang yang istimewa. Seseorang, yang bisa buat kita tertawa atau menangis setulus-tulusnya seperti efek air hujan.

Bab I

     Gerimis lagi. Ketiga kalinya dalam minggu ini dan kelihatannya nggak berniat untuk menyingkir dengan cepat.

     Dalam dingin, aku mencoba merem dan melamun singkat. Suasana sekosong ini, membuat aku seolah mendengar alunan piano. Samar tapi jelas merdunya. Suara lincahnya piano... Beethoven sonata no.18 dengan E Flat Major, Op.31 nomor 3... The Hunt. Dentingan tutsnya begitu nyata, membuat mulutku menggumam dan jari-jariku bergerak dengan sendirinya. Aku seperti menekan-nekan angin dan menyambut kegilaan sementara.

     "Heh! Sampe kapan mau nunggu disitu? Nggak bosen apa di mobil terus?"

Ah sial. Lamunan suara pianoku hilang seketika, digantikan suara cempreng seorang cewek yang membuat mataku buru-buru melek lebar. Aku menoleh keluar jendela mobil sedanku dan melihat pacarku sudah berkacak-pinggang marah, yang herannya malah bikin dia jadi makin cantik. Namanya Michelle Graha, berkah sekaligus kutukan buat hidupku. Dengan fisik seperti model runway, rambut hitam panjang lurus ala kuntilanak dan rok terusan beludru ungu yang harganya separoh rumah kontrakanku, dia lebih cocok dipanggil majikan daripada cewekku.  

"Turun nggak? Banyak couple di dalam dan aku malah milih baju sendirian macam jablay." 

Deh... cantik-cantik mulutnya seperti truk sedot tinja. Dan daripada kosa-kata makiannya makin banyak dan kreatif, aku langsung saja buka pintu mobil dan keluar. Meski males banget harus menemani Michelle belanja di butik, aku lebih memilih menurut. Lagipula ini bukan Mall dengan banyak outlet baju, ini cuma satu butik, jadi harusnya sih belanjanya nggak lama-lama banget. Satu butik yang aku sendiri baru pertama kali mampir, katanya sih punya teman baik Michelle semasa kuliah di Paris dulu. Pleuvoir, nama butiknya. 

     "Muka biasa aja, bisa nggak sih? Nggak usah dilipet-lipet kek lemak leher gitu." Protes Michelle sambil menggandeng lenganku, saat kami berjalan bareng masuk butik. "Tenang aja, kali ini kartu kamu aman. Ini kan punya temen sendiri, jadi pasti diskonnya banyak."

"Baju tiga juta didiskon banyak, juga masih mahal, Cel."

"Perhitungan banget sih? Kalo ama pacar, yang baek dong. Jangan mental kere."

"Trus ngejek pacar kamu sendiri mental kere, baek gitu?"

"Hush diem!" Michelle mencubit pinggangku dan membuat aku menjerit singkat, saking sakitnya. Gimana nggak? Cubitannya sih biasa aja, tapi kuku-kuku panjang warna merahnya itu yang berasa tembus sampe tulang. 

     Aku mungkin nggak bisa merubah ekspresi beteku jadi hepi, tapi setidaknya bisa dipaksakan supaya nggak terlalu cemberut. Itu pun agak sulit karena begitu masuk ke Pleuvoir, aku sadar kalau butik satu itu adalah salah satu tempat termewah yang pernah aku injak. Dari luar sih bangunannya nggak terlihat gede, cenderung sempit malah. Tapi wow. Siapapun desainer interiornya, seleranya berkelas banget karena bisa mendekor tempat sampai sekeren itu. Semuanya serba minimalis dan pastel, dengan pajangan asesoris terkini dan rak-rak rapi yang dipenuhi baik baju rancangan pribadi maupun koleksi desainer dunia.

Cewek manapun pasti suka. Apalagi cewekku yang langsung ngiler lihat baju-baju merk yang dipajang berderet macam ikan asin. Akunya males, benci setengah mati malah. Lebih baik pulang dan menghabiskan waktu sama geng Men's Club-ku, daripada harus lama-lama di Pleuvoir. Bercerita sedikit, gengku adalah sekumpulan cowok-cowok pembuat onar yang sudah aku kenal sejak lama. Mulai dari SMP, SMA, kuliah sampe sekarang ini kami selalu bareng. Jadi nggak heran mereka sudah aku anggap seperti keluarga sendiri, kadang bahkan jauh lebih penting dibanding Michelle.

***

     "Mademoiselle!" Seru seseorang dari arah pintu kantor dalam. Aku menoleh kaget, mematung sebentar melihat penampilan si empunya suara itu. Cowok... badannya tinggi banget, lebih tinggi dari aku yang hitungannya juga sudah tinggi buat ukuran cowok. Posturnya atletis, sekilas bisa bikin orang ngeri meski raut mukanya cenderung kalem.

Dia melirik ke arahku, tapi kemudian lewat begitu saja untuk menghampiri Michelle. Tangan pan-jangnya dibuka lebar, siap menyambut Michelle dengan pelukan.

     "Calvin!" Dan benar saja, Michelle menjerit kegirangan. Cewek gatel itu langsung berlari memeluk si tiang listrik tadi dengan erat dan meninggalkanku yang cuma bisa bengong berdiri dibelakang. Michelle kelihatan super genit dan murahan, memeluk dan mencium teman lamanya yang dipanggilnya Calvin itu. Aku, seperti kentut. Prettt... ngilang gitu aja dan nggak dianggap ada.

"Ya ampun, kangen tauk! Lama banget nggak ketemu, Natal aja nggak pulang." Michelle memeluk sekali lagi, mencium pipi cowok macho itu sampai meninggalkan bekas gincu. Mereka ber-nostalgia beberapa detik dengan tawa cekikikan, sebelum akhirnya sadar kalau aku ada. Muka Michelle berubah masam begitu mata kami ketemu. "Sayang, ini kenalin Calvin. Dia sahabat lamaku yang punya Plevoir, desainer yang lagi jadi omongan panas di Jakarta."

Mencoba ramah, aku mengulurkan tangan. "Yussa, cowoknya Michelle."

"Calvin." Jawabnya ramah, dengan suara gede yang serak-serak banjir bandang. "Kamu juga perlu jas buat nikahan sepupunya Michelle, hari Minggu ntar?"

"Nggak makasih, udah ada kok di rumah."

"Tapi bisa sekalian aku ukur."

"Nggak usah."

"Ya udah, nggak maksa. Aku temenin Michelle milih baju dulu ya, kamu tunggu aja di sofa."

     Cih... macam benalu saja aku, disuruh nunggu sementara dia mesra-mesraan sama pacarku sendiri. Dengan malas-malasan, aku menghempaskan badan di sofa abu-abu tengah ruangan. Aku punya perasaan kalau hari ini bakalan panjang, panjang dan membosankan.

Meski berlagak cuek, tapi mataku terus saja melirik akrabnya Michelle dan teman lamanya itu. Ketawa-ketiwi, bisik-bisikan, pegang-pegangan tangan... apa-apaan sih mereka? Sengaja pengen buat aku jealous? Tapi... bukannya jealous juga sih. Aku cuma merasa harga diriku sebagai pacar sedang diinjak-injak. Masa' di depanku, mereka bisa seakrab itu?

     Meskipun... kalau dibuat perbandingan, aku dan Calvin memang jauh beda sih. Aku sadar kalau aku nggak jelek, tapi level Calvin jauh ada di atasku. Cuma dengan kemeja putih, celana kain hitam dan sepatu Italia yang mengkilat, dia terlihat super perlente. Rambut lurus klimisnya licin karena gel rambut, kulitnya kuning langsat- mulus seperti bokong bayi, asesoris kalung atau jam tangan yang dipakainya juga mungkin simple tapi jelas bukan KW. Beda sama jam tanganku, yang buru-buru aku tutupi dengan jaket, merknya saja Roles. Dapat dari teman lama, barter dengan sepatu olah-ragaku yang merknya Adibas. 

Kembali lagi ke si metroseksual Calvin. Itu tadi masih penampilan sekilasnya, belum lagi kalau dia sudah senyum. Alamakk...

Calvin punya mata renggang yang menyipit setiap kali bibir bentuk sudutnya tersenyum lebar. Tulang pipinya juga menebal dan berubah warna jadi menyemu pink. Melihat dia senyum, otomatis bisa bikin suasana adem dan orang yang melihat jadi merasa senang... sama seperti aku sekarang. Lho lho... eh! Aku buru-buru menetralkan mukaku jadi datar dan sok cuek lagi, kok bisa mulutku jadi ikut senyum-senyum sendiri??

Intinya, semua di diri Calvin jauh berbeda dari aku dan teman-temanku yang ada di Men's Club. Malahan, jauh beda dari semua cowok yang pernah aku kenal. Ada sesuatu dari dia yang membuat aku jadi sedikit merasa nggak nyaman. Tapi apanya... aku sendiri nggak tahu. 

***

     Setengah jam berlalu, nggak kerasa, mungkin karena aku sibuk melamun sendiri. Badanku mulai pegal semua karena kelamaan duduk di sofa, pinggang dan bahu rasanya kaku. Begini ini kalau harus mengantar cewek belanja di butik, belum milihnya, belum tanya-tanyanya, belum nge-pasnya, belum kalau nggak cocok harus ngulang lagi ke proses awal. Mungkin bagi cewek, adegan ganti baju di fitting room macam Pretty Woman itu menyenangkan banget, tapi bagiku nggak. Aku bisa mati bosan kalau harus lihat cewek gonta-ganti baju lebih dari tiga kali, nggak perduli seberapa cantik ceweknya atau seberapa bagus bajunya.

     "Bosen ya?"

"Eh curut!" Aku hampir meloncat dari sofa karena kaget. Kuelus-elus dadaku, karena seperti setan, tiba-tiba saja si Calvin sudah ada di belakangku. Melihat reaksi shock-ku, Calvin jadi tersenyum sendiri. Dia lalu duduk di sebelahku sambil meletakkan segelas air mineral di meja kaca, tepat di depanku. "Kalo bosen, bisa baca majalah sambil nunggu kan?" 

Aku melirik koleksi majalah yang disiapkan di mejanya. "Majalahnya Bazaar, Vogue, Cosmopolitan ama Femina... yang bener aja."

"Mau yang majalah cowok? Ada yang tentang gym, di dalem kantor. Mau diambilin?"

"Nggak usah, aku nggak seberapa suka fitness."

"Oh ya? Padahal badan kamu bagus lho..."

Aku spontan menunduk dan melirik badanku sendiri yang cuma dibalut jaket dan kaos, dibuat mengerut sendiri jadinya. "Darimananya?"

     "Badan kamu tinggi, ramping, nggak terlalu atletis tapi juga nggak kerempeng. Badan kek gitu paling cepet kalo mau dibentuk di gym." Calvin menggumam sendiri, menganalisa fisikku seperti ahli kesehatan. Keasyikan, dia malah nggak sungkan mengangkat jari-jarinya untuk memegang daguku, memutarnya ke kanan dan ke kiri. "Porsi kepala, panjang leher, ukuran dada dan lengan juga proporsional banget. Semuanya pas."

Pas buat apa? Disembelih? Aku menepis jarinya di daguku, orang ini aneh banget. 

     Mata coklat tuanya berkedip pelan, masih saja fokus penuh ke mukaku. "Kapan kalian berdua kenalnya?" Tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan. "Kamu sama Michelle, maksudku."

Aku diam sebentar, mencoba mengingat. "Tiga, empat bulanan. Aku kerja di bank punya papanya yang galak kek Pitt Bull. Pas ada acara kantor, kami kebetulan dikenalin. Agak kurang inget gimana prosesnya, tapi semua ngalir aja gitu."

"Kok, pake... tapi?"

"Heh?"

"Kamu tadi bilang 'tapi'. Di sebuah hubungan, harusnya nggak ada 'tapi'. Itu cuma diucapin orang-orang yang ragu sama perasaan mereka sendiri." Sindir Calvin, keluar aura sok bijaknya. Tapi melihat muka bingungku, dia cepat-cepat ganti topik lagi. "Kerja buat Om Graha, kan? Berarti di Bank Athens. Enak nggak, kerja disana?"

     "Enaknya sih nggak, tapi..." Mataku memircing seperti menahan sesuatu. Bukan kebelet eek, cuma lebih ke beban yang mengganjal di pikiran saja, yang tiba-tiba spontan keluar lewat mulut. Padahal kenal Calvin juga baru hari ini, tapi nggak tahu kenapa rasanya benar saja ngobrol hal pribadi di orang ini. "Aku pernah ada minat lain, cuma setelah dewasa aku sadar kalo ternyata fokus kerja kantoran ternyata lebih bisa jamin masa depan."

Calvin menumpu tangannya di lutut, konsentrasi penuh menatap mukaku. "Minat lain apa?"

"Uhm... piano."

"Oh ya? Bisa main piano?"

"Sejak kecil." Aku manggut-manggut. "Tapi cuma hobi kok, mimpi masa ingusan."

Calvin tersenyum simpul, sumpah... manis banget. Ada kerutan samar di pinggir matanya yang bikin ekspresinya terlihat makin dewasa. "Sebuah mimpi, meski bisa dibuang tapi nggak akan bisa dilupain. Yang namanya mimpi, otomatis udah tertanam di otak. So... aku akan ngerasa seneng banget kalo suatu saat bisa lihat kamu maen piano lagi." 

Aku tertawa kecil mendengar harapan bodong Calvin. Tawa palsu, tawa pahit. "Lain kali deh."

     Belum sempat lanjut obrolan kami, si Michelle mendadak nongol dengan gaun pink panjang yang dipenuhi payet di bagian dada. Dia memutar badannya dan memamerkan bagian bawah gaun yang melambai kemana-mana. "Bagus nggak?"

Aku tersenyum canggung. "Lumayan."

"Apa maksudnya lumayan? Nggak sadar taste ya? Ini Michael Kors, tau nggak?"

"Nggak, aku taunya Michael Jackson. Sama Michael Jordan. Sama Pak Michael yang jual sate bekicot di gang depan rumah."

     Melihat muka Michelle yang sudah merah karena jengkel, Calvin buru-buru beranjak dari sofa dan merangkulnya. "Udah udah... bagus kok, kelihatan elegan di kamu. Mau nyoba kalungnya? Ada Briolette diamond lho, pasti makin cantik kalo dipake barengan Korsnya."

Michelle berhenti uring-uringan dan menurut saja diseret Calvin ke arah butik bagian asesoris. Sebelum pergi, Calvin menoleh kebelakang dan melempar senyum kecil ke arahku. Aku sadar kalau orang itu, mungkin sudah menyelamatkan aku dari amukan si manja Michelle. Dan perlahan aku juga sadar kalau mungkin... dia nggak se-menjengkelkan yang aku pikir.

Dengan helaan nafas panjang, aku balik lagi bersandar di sofa. Sampai kapan harus bengong disini? Masa' iya harus nekad baca Femina?

***

Malam di Men's Club...

"Bohong itu si Michelle, udah jelas laaah dia selingkuh ama si Cabin."

"Atau mungkin dulu dia mantannya."

"Atau dua-duanya. Mereka dulu pacaran, trus sekarang jadi mantan, trus selingkuh."

"Ho oh. Contoh aja aku ama Anne, kami juga dulunya mantan trus sekarang jadi selingkuhan."

"Anne temen SMA dulu? Yang kutu rambutnya loncat sana-sini kek pake trampolin itu?"

Lima orang sahabatku saling bicara sahut-menyahut seperti kembar gandeng. Telingaku makin dibuat panas dengernya. Tadinya, tujuan awal mereka adalah menganalisa situasi dari kejadian yang aku ceritakan. Tapi nggak tahu kenapa, lama-kelamaan mereka makin melenceng dari topik. Sekarang malah bahas kutu rambut sama ketombe. Hhh... harusnya sejak awal masalah ini nggak aku bawa ke Men's Club.

     Aku mencoba menetralkan situasi dengan langsung membagi kartu. Kami semua duduk di lantai keramik di ruang tengah yang sudah dialasi karpet dengan motif Ice Age, khas Bobi banget. Mumpung rumahnya lagi kosong, kumpul-kumpul hari ini diadakan di tempatnya. Pas di ruang tengah yang terkesan sempit karena kebanyakan perabotan nggak penting. "Namanya Calvin, bukan Cabin. Dan Michelle nggak mungkin selingkuh, ngapain coba repot-repot? Kalo dia bosan ama aku, tinggal putus aja. Nggak ada ruginya juga."

Pertemuan para cowok tulen ini, Men's Club, begitu kami sebutnya, diadakan seminggu sekali. Anggotanya adalah enam cowok yang sudah bersahabat lama. Bobi jadi ketuanya, seorang pemalas sejati. Sampai sekarang masih numpang di rumah mertua, pengangguran pula. Penghasilannya cuma tergantung sama uang anggaran club. Penasaran uang jenis apa itu? Itu adalah sejenis pajak upeti yang harus kami bayar per-bulannya demi kegiatan club. Sebenarnya kami tahu itu cuma buat uang rokok, tapi kami diam saja. Toh kami semuanya kerja kecuali Bobi, jadi hitung-hitung... kami merawat sahabat sendiri lah.

Selanjutnya ada Dewangga, Alex, Ruben, Ron dan tentu saja... aku. Yang kami lakukan di setiap pertemuan sebenarnya cuma hal-hal sederhana, tapi lumayan menghibur untuk pelampiasan penat setelah semingguan kerja. Kami main kartu, billyard, bowling, renang, atau kadang cuma makan cemilan dan ngerumpi biasa macam ibu-ibu arisan. 

Kami semuanya sehati, cuma aku selalu ngerasa kalau aku memang agak beda. Aku, bisa dibilang lurus banget dalam menjalani hidup. Aku hampir nggak pernah melanggar apapun. Sejak kecil sampai sekarang, hidupku super teratur. Aku nggak pernah dapat nilai jelek di sekolah, aku selalu makan sayur yang disiapkan Mama, aku nggak ngerokok, aku dapat kerja kantoran secara halal, dan aku sukses punya pacar cewek cantik yang kebetulan adalah anak pemilik bank swasta tempatku kerja. Jadi kalau dibandingkan dengan keliaran sahabat-sahabatku, aku bisa dibilang paling cupu.

     "Kalian udah pacaran tiga bulan, kan? Kok udah selama itu, belom pernah tidur bareng?" Bobi melempar kartu sebelum menghisap rokoknya dalam-dalam. "Malah seinget aku, ciuman pertama kalian aja... dia yang nyosor duluan."

Aku menghela nafas. "Aku orang yang menghargai komitmen, itu alasannya."

"Atau ada masalah ama anu-mu, itu alasannya." Sahut Ron, mendukung Bobi untuk menyudutkan aku. Dan yang lebih parah, dia pegang full-house di tangan. "Mampusss kalian!" Si rambut jabrik itu berteriak kegirangan seraya mengambil satu-persatu barang berharga kami yang dikumpulkan di tengah lingkaran. Pulpenku, rokok Bobi, dasi punya Angga, permen mint Alex dan majalah bokep edisi terbarunya Ruben. Kami nggak pernah main kartu dengan taruhan uang, dan sebagai gantinya kami akan saling merampas barang-barang kesayangan setiap menang. Alhasil, seperti saling tukar saja. Sekarang dasi sutera kesayangan Angga mungkin dipakai Ron, tapi minggu depan bisa juga pindah tempat ke leher Bobi. Meskipun aneh juga lihat pengangguran pakai dasi.

     Menghakhiri permainan kartu, perhatian mereka jadi fokus ke masalahku. "Kalo kamu terus monoton gini, jangan salahin Michelle kalo dia selingkuh sama Cabin itu." Ujar Angga.

"Calvin. Calvin! Kalian semua budeg ya?!"

"Oke, apalah itu."

"Aku..." Kupijat-pijat hidungku sampai merah. "Aku suka Michelle, kalo nggak suka ngapain aku terima dari awal? Tapi aku belom cinta sama dia, belom cukup cinta sampai mau tidur sama dia. Contoh aja si Alex, dia kan udah nikah lama sama di Debra. Dia cinta sama Debra, jadi dia pasti ngerti maksudku. Iya kan?"

Alex menggeleng cepat. Cowok itu meminum bir kalengannya sambil menunjukkan cincin kawin yang melingkar di jarinya. "Aku emang cinta Debra, tapi aku juga udah pernah tidur lima kali sama sekretaris dari kantor relasiku di Mega Rose. Pas seminggu abis ultah perkawinan tahun ke-4 ku ama Debra."

"Hahh?!!" Mataku spontan melotot kaget.

"Aku terpaksa, Yu."

"Terpaksa karena apa? Karena udah nggak cocok lagi ama Debra?"

"Nggak." Geleng Alex santai. "Karena bokong si sekretaris itu montokkk banget! Sumpah kek balon ulang tahun, gede empuk gimana gitu! Asli lho! Nggak pake suntik-suntikan segala!"

     Sementara aku langsung nunduk lemas dan cuma bisa memijat jidatku sendiri, Ruben dengan rambut keritingnya, ikut-ikutan nimbrung dalam diskusi. "Lagian siapa yang ngomongin cinta? Intinya Michelle itu seksi, jadi aneh banget kalo kamu nggak ada sekali pun niatan kotor ke dia."

Ron manggut-manggut. "Kecuali kalo kamu impoten."

"Kebanyakan makan Risoles dia."

"Emang Risoles bisa bikin impoten?"

"Kata tetanggaku gitu. Risoles amaaa... tahu isi."

Aku dibuat diam dan heran sendiri dengan ocehan sahabat-sahabatku yang selalu cepat banget melenceng dari topik pembicaraan. Daripada ikutan sinting, langsung saja aku ambil jaket biruku di sofa dan beranjak berdiri. "Pulang dulu, ngantuk."

     Sambil masih diskusi masalah Risoles dan gorengan lain, mereka melambai singkat dan membiarkan aku berjalan menjauh. "Ati-ati, Yu!" Teriak Ron.

"Kalo Cabin ganggu Michelle, bilang aja ama kami!"

"Dan jangan makan Risoles dulu!"

"Ama tahu isi!"

Pintu rumah Bobi, akhirnya aku tutup. Dalam sekejab, teriakan-teriakan nggak penting mereka otomatis tenggelam begitu saja. Akhir dari Men's Club konyol minggu ini, aku jadi bisa sendirian lagi. Masuk mobil, menyetir pulang dan menikmati angin ibukota saat malam hari. 

***

Pernikahan sepupu Michelle, Woodland Villa...

Adeeh... ngebosenin banget. Aku berdiri sendirian di sebelah meja buffet yang penuh makanan dan sedang memandangi ratusan orang yang memadati kebun luas di villa mewah punya Triana, adik sepupu Michelle yang menikah hari itu. Semua yang datang di resepsi siang itu, cuma orang-orang kaya kenalan keluarga mereka sendiri. nggak ada satu pun yang aku kenal kecuali Michelle dan Papanya. 

Kebun di villa Woodland luas banget, serba hijau karena dikelilingi tanaman dan juga patung-patung replika dewa Yunani. Triana berdiri di atas panggung, memakai gaun pengantin putih yang polos tapi terkesan mewah. Dia nggak bisa berhenti tertawa di sebelah suaminya, terlihat senang banget akhirnya bisa mengakhiri masa lajang. Aku jadi iri. Iri dengan orang yang bisa berpikiran seperti itu.

     Kupalingkan muka dan memilih terus meminum jus melonku, lebih baik nggak melihat ke arah pengantin daripada nanti dibuat depresi sendiri. Pengantinnya sih senang, kebunnya juga di dekor cantik, villanya gede, tamunya ramai, musiknya merdu dan ada suara tawa dimana-mana. Tapi nggak tahu kenapa, kata 'ngebosenin' itu masih saja ada di kepalaku. Aku pun nggak bisa menemukan Michelle, padahal kami tadi datang barengan. Begitu masuk ke area kebun, dia sudah sibuk reuni sendiri sama keluarga dan teman-temannya. Aku dilupakan seperti obat nyamuk bekas.

     Samar-samar sambil terus saja minum jus, mataku menemukan sekelompok orang yang berdiri di kejauhan sana. Empat atau lima cowok yang sedang asyik ngobrol. Sebenarnya bukan mereka yang jadi perhatianku, tapi salah satu orang yang kelihatan paling adem-ayem sendiri. Sementara yang lain repot membual dan tertawa ngakak, cuma satu orang itu yang diam dan memilih mendengarkan omongan. Aku kenal orang itu. Atau setidaknya, aku kenal si pemilik jas putih gading itu.

Calvin.

Calvin dengan rambut tebal lurusnya yang jatuh ke dahi, melawan gel rambutnya. Calvin yang badannya tinggi menjulang seperti anak jerapah. Calvin yang menyolok, di antara cowok-cowok undangan yang lain- atau mungkin bahkan diantara semua yang ada di kebun siang ini. Calvin yang kalau tersenyum, ada lesung pipit kecil di bawah bibir sebelah kirinya, yang punya kekuatan ajaib untuk membuat orang lain ikutan senyum juga... seperti mukaku sekarang...

     Dan yakkk! Dia noleh deh...

Aku buru-buru mengusir senyum anehku tadi, sebisa mungkin berlagak tenang dan keren. Karena sudah ketahuan melihat duluan, aku pun terpaksa mengangkat gelas jusku untuk memberi salam. Dan cuma butuh satu detik untuk Calvin membalas sapaanku dengan senyum khasnya. Duh! Nggak senyum, bisa nggak sih?

Dia melambaikan tangan dengan ramah. Dan yang lebih nggak terduga, dia langsung saja pamitan ke teman-teman ngobrolnya, cuma untuk berjalan menghampiriku di meja buffet. Yang bener? Dia lebih memilih jalan ke arahku dan ninggalin teman-temannya sendiri? Wah... bahkan Michelle aja nggak mungkin rela begitu.

"Hai, Yu..." Sapanya, terlihat senang sudah menemukan aku. 

"Masih... inget?" Tanyaku heran sendiri. Aku toh bukan orang yang gampang diingat.

"Masihlah-" Calvin menjentikkan jarinya di ujung hidungku, aneh, tapi bikin geli juga. "Makhluk se-imut kamu, mana bisa lupa? Dipaksa juga nggak bisa."

     Alih topik begitu saja, dia noleh kanan-kiri. "Mana Michelle?"

"Berbaur." Jawabku santai.

"Dan kamu nggak?"

"Ngapain? Aku toh nggak kenal semua orang disini."

"Mau aku kenalin?"

"Boleh sih."

"Nggak ah, nggak jadi." Calvin berdiri disebelahku, ikutan bersandar di meja buffet. "Kamu cukup kenal aku aja. Jangan dibagi-bagi lagi."

Nggg... maksudnya? Aku coba mikir berapa kali pun, nggak ada penjelasan yang tepat buat maksud omongannya barusan.

     "Jangan ambil jus melonnya." Bisikku. "Rasanya kek detergen. Juga jangan lobsternya, rasanya kek aspal. Apalagi ini nih..." Aku menuding ke cupcake yang dipajang cantik, berderet di pinggiran menu utama. "Rasanya kek jempol kaki yang ada cantengnya."

Calvin tertawa ngakak mendengar keluhanku, nggak tahu kenapa, padahal aku nggak mencoba untuk melucu. Dia memandangi ekspresi muka bingungku selama beberapa detik, meredakan tawanya jadi senyum simpul, sebelum kemudian merebut gelas minumanku dan menaruhnya begitu saja di meja. "Ayo ikut."

"Hah... Kemana?"

"Kabur."

Dia berjalan duluan, membuatku sempat mematung sebentar di tempat beberapa detik. Kalau cari aman sih, aku harusnya membiarkan saja dia pergi sendirian. Tapi masalahnya, aku nggak mau lagi berlama-lama berdiri seperti pecundang di meja buffet. Jadi alih-alih rute aman, akhirnya kakiku yang bergerak sendiri mengikuti kemana Calvin pergi. Kemanapun arahnya, asalkan bisa kabur dari pesta sialan ini juga sudah cukup.

***

     Seperti hipnotis, aku menurut saja dibawa belok kemana-mana. Kami meninggalkan kebun dan masuk ke dalam villa, melewati ruang-ruang, kamar-kamar dan koridor-koridor. Karena semua tamu berkumpul di kebun, villa mewah itu cuma terlihat diisi oleh beberapa asisten rumah-tangga dan pelayan kathering yang sibuk lalu lalang sendiri dan nggak menghiraukan kami sama sekali.

Sampai di lantai tiga, Calvin belok ke sebuah kamar yang ada di pojok koridor. Dia membuka pintunya dengan santai dan masuk begitu saja. Aku buru-buru menoleh kanan-kiri, memastikan nggak ada siapapun memergoki pelarian kami. "Ini kamar siapa? Hei!" Panggilku, setengah berbisik tapi juga berteriak. "Kalo sampe ntar ketahuan, bisa dikebiri aku sama Michelle!"

Calvin pura-pura nggak mendengar, dia malah nekad membuka sebuah pintu yang tadinya aku pikir akan terhubung langsung ke balkon... tapi ternyata nggak. Pintu itu, mengarah langsung ke genteng villa.

Sambil tetap menatap mataku, Calvin melepas sepatu kulitnya dan siap-siap keluar. "Ayo..." Muka nggak punya malunya, tersenyum mengajak. "Ini dulu kamarnya Tovan, adiknya Tria yang udah pindah ke Jogja. Sekarang jadi kamar kosong. Kalo lagi main ke villa dan bosen, biasanya aku manjat genteng dan duduk-duduk di atas sana. Anginnya enak kok, bisa ngilangin stress."

Apanya yang ilang? Buktinya kamu masih stress...

     Tapi melihat dia sudah keluar dan memanjat dengan cueknya, aku jadi dibuat bingung sendiri. Beneran nih, manjat genteng? Kok jadi kek anak layangan gini, sih? Ragu-ragu, aku ikutan melepas sepatu dan menyusulnya keluar. Memanjat genteng, apa susahnya?

Ngeri sih, tapi kakiku terus saja berjalan pelan-pelan mendekat ke arah Calvin yang sudah duduk menunggu di genteng pojokan. Tangannya diulurkan untuk membantu, dan meski aku nggak berusaha menyambut, tapi dia tetap nekad menangkap dan memegangi lenganku sampai aku benar-benar duduk dengan aman. Mataku beberapa kali melirik ke bawah dengan was-was. "Ini yakin gapapa? Kalo gentengnya retak, trus kita jatoh gimana?"

"Paling cuma patah tulang disana-sini."

"Hah?"

"Becanda. Nggak bakal jatuh deh, gentengnya kuat kok."

"Aku ada trauma soalnya, jadi masih ngeri." Jawabku, benar-benar jaga posisi. "Dulu pernah..."

     Calvin duduk pas di sebelahku, wajahnya santai tapi tangan kanannya meremas erat kemeja bagian belakangku dan aku bisa jelas ngerasain itu. Aku rasa dia cuma mau memastikan saja biar aku nggak hilang keseimbangan. Tatapan matanya serius banget. "Dulu pernah apa? Kalo ngomong jangan setengah-setengah gitu."

Aku memircing kikkuk. Biasanya aku lebih suka diem dan nggak berbagi cerita sama siapapun, apalagi orang asing. Tapi nggak tahu kenapa kalau dekat Calvin, mulut ini bawaannya mangap melulu. "Dulu SMP pernah kecelakaan, jatoh dari sepeda. Ditabrak mobil."

"Trus? Nggak pa-pa, kan?"

"Nggak pa-pa sih, cuma kaki di-gips aja. Trus, tanganku retak."

"Tangan yang mana?"

"Yang kanan." Aku menunjukkan tangan kananku, menggerakkan jari-jarinya. "Udah sembuh lama, tapi sejak itu nggak bisa pulih total kek semula. Dokter bilang, ada gangguan di syaraf."

     Muka Calvin menegang, dia seperti khawatir padahal kecelakaannya juga sudah lama. "Jadi itu alasannya kamu berhenti main piano?"

Aku mengangguk sambil memasang senyum pahit. "Jari-jariku nggak bisa lagi..." Jawabku pendek, sebisa mungkin menetralkan lagi suasana. "Untung ada Mama dan temen-temen deket aku... jadi meski sempet sedih nggak bisa lagi pegang piano, mereka terus berusaha ngehibur. Jadinya ya... bersyukur aja udah selamat."

Calvin tersenyum. "Untungnya punya banyak temen ya..."

"Nggak banyak kok, cuma lima. Satu geng." Sahutku. "Kami bilangnya, Men's Club. Kami kumpul setiap minggu, ngobrol, minum, makan, maen bareng. Michelle benci banget kalo aku udah ketemu ama mereka, katanya temen-temenku cuma bisa ngerusak."

"Asal kamu seneng, kan..." Sela Calvin. "... apa salahnya?"

"Kamu sendiri? Kalo nggak sedang di Pleuvoir, biasanya ngapain aja?"

"Macem-macem. Masak, ngejahit, nyoba kuliner baru, shopping."

"Masa' masak ama jahit sih?" Aku dibuatnya ketawa. "Yang sport ada nggak?"

     "Dulu suka juga tennis, tapi sejak buka Pleuvoir... jadi sulit keluar. Sibuk. Mungkin pada dasarnya aku cenderung tipe orang indoor daripada outdoor. Kalo otak udah kepikiran desain baju, tanganku nggak bisa diem. Dibanding dengan hal lain, aku paling suka ngerancang sesuatu buat dipake di badan orang. Lekuk, detail dan struktur badan cowok atau cewek... bikin aku kagum banget. Semua orang diciptain dengan keunikan fisik sendiri-sendiri, yang kalo dibalut ama baju yang pas... mereka bakalan... cling! bersinar." Ujar Calvin panjang lebar, serius tapi masih bisa dimengerti. Jujur saja, baru kali ini dia mengoceh sepanjang seperti itu.

Aku menggumam. "Butik kamu... Pleuvoir, artinya apaan?"

"Hujan. Turunnya hujan..." Jawab Calvin dengan senyum samar. "Aku suka kenyataan kalo hujan itu sejenis air yang beda dengan air biasa. Kalo air biasa kena di badan, kita cuma kerasa basah dan segar. Tapi nggak tahu kenapa kalo udah kena air hujan, ada rasa seneng dan sedih yang campur aduk. Hujan itu air, tapi efeknya beda sama air. Dan itu yang bikin moment dimana hujan turun, serasa special banget buat aku."

     Calvin menoleh, menatap langsung ke aku. "Perasaan diguyur air hujan, pleuvoir, menurut aku sama kek perasaan orang yang sedang jatuh cinta. Perasaan semacam itu kan yang kamu alami sekarang? ke Michelle?"

Aku diam dulu, jadi bingung kan mau jawab apa. Perasaanku ke Michelle, sama sekali nggak jelas. Tapi apapun perasaan itu, yang pasti nggak ada satu pun yang bisa disamakan dengan kata hujan. Gerimis pun nggak. Pengertian pleuvoir sendiri, aku masih belum seratus persen paham karena nggak pernah mengalami sendiri. Sampai setua ini, belum pernah sekali pun.

"Eh liat tuh- !" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengangkat tangan dan iseng aja nuding awan putih tebal di langit yang sekilas mirip gulungan gula kapas. "Awannya aneh banget, bentuknya kek tai kucing."

Calvin tertawa dadakan, singkat tapi suaranya jelas. Dia menoleh ke arah yang aku tunjuk sambil geleng-geleng kepala, sepertinya tahu kalau aku sedang menghindari omongan yang terlalu serius masalah hubunganku dengan Michelle. "Hahaha, tai kucing..."

     "Kamu sendiri..." Tegurku, memotong rasa gelinya. "Lagi pacaran ama siapa?"

"Aku?" Calvin menoleh. "Masih single kok."

"Nggak mungkin! Cowok seganteng kamu, single?"

"Jadi menurut kamu, aku... ganteng?"

"Ya iyalah! Dilihat dari sedotan Aqua gelas, juga masih bisa tahu kalo kamu ganteng. Dan bukan cuman ganteng, tapi modis banget. Liat aja dari atas sampe bawah, nggak ada yang kusut, semuanya bening. Cewek-cewek pasti antri panjang kek buntut Anaconda." Pujiku habis-habisan, nggak yakin sendiri darimana kosa-kataku keluar begitu aja. "Trus bau kamu... wangi banget. Ini parfum, kan?"

Calvin mengangguk sedikit. "One Million." 

"Apanya? Harganya?"

"Bukan. Merknya One Million, punya Paco Rabanne."

"Ah~" Aku manggut-manggut. "Intinya... aneh banget cowok sekeren kamu masih single. Emang umur kamu berapa tahun ini?"

     Mengingat sebentar, Calvin lalu menggumam. "Dua enam."

Mataku melebar. "Aku dua lapan, berarti aku lebih tua- dua tahun dong? Wah... kalo gitu mulai sekarang musti nurut omongan kakak, oke dek? Banyak nasehat yang bisa aku bagi, contohnya... lain kali... jangan pake kalung emas tipis kek yang kamu pake sekarang, emangnya kamu koko-koko yang punya toko gadai hape? Trus ram..."

"Ini kerah kenapa bisa kotor gini..." Nggak menghiraukan ocehanku sama sekali, Calvin malah langsung mengusap-usap garis kancing kemeja biru mudaku dengan jempolnya. "Kalo minum jus harus hati-hati, jangan sampe tumpah. Noda gini kadang susah ilangnya."

Bola mataku memutar sendiri ke atas. Kok jadi kebalik gini sih?

     Calvin memasang senyum tipisnya setelah sukses menghapus separoh noda di kemejaku. Dia perlahan memalingkan muka, menatap ke depan memandangi pemandangan kosong siang hari. Bisa saja aku mengajaknya ngobrol lagi, tapi mataku keburu menangkap sesuatu yang membuat mulutku spontan diam sendiri. Muka Calvin... dari samping...

Garis rahangnya kuat dan jelas, alis tebalnya menukik naik di bagian ujung, hidungnya mancung pipih dan rambut teraturnya mulai sedikit berantakan karena banyak gerak tadi. Dilihat lama-lama, dia jadi mirip lukisan mahal siap bingkai. Karya... Monet? Picasso? Van Gogh? Rembrandt?

Angin yang bertiup sepoi dari arah Calvin, sampai juga ke arahku, menampar mukaku dengan lembut. Aroma samar parfumnya, otomatis sampai juga di hidungku. Pekat, tapi sopan. Mirip aroma teh pagi hari, mirip aroma kayu bekas pohon tumbang, mirip aroma hari Minggu, mirip... mirip aroma hujan pertama kali setelah musim kemarau yang panjang.

Aku menghela nafas panjang, nggak sadar sendiri kalau mataku berkedip lebih pelan dari biasanya. Aroma dari badan Calvin seperti mengantar alunan piano misterius, perlahan terdengar lagi dari imajinasiku sendiri. Merdu, tajam dan membuat leleh. Kali ini, sambil masih memandangi lukisan siap bingkai di sebelahku, aku ditemani melodi Chopin- Nocturne Op.9 nomer 2...

*** 

Bab 2. Identitas Hujan

     "Jadi... tinggal diisi dan tanda-tangan disini, kami yang urus sisanya." Aku mengulurkan form pendaftaran Bank Athens pada seorang nasabah, siang itu. Seorang cewek berumur 20-an, dengan make-up setebal kamus Oxford dan baju yang warnanya semua ada di warna krim roti ultah. Dan meski dia terus saja pasang senyum genit di depanku, aku mencoba jaga kesopanan dengan nggak melempar muka mesumnya itu dengan stepler.

"Boleh pinjem pena, nggak?" Tanyanya dengan suara berbisik, seperti bisikan setan.

"Iya, ini silahkan."

"Ini bukan pena, sayangku. Ini pulpen."

"Sama aja, kan?"

"Nggak dong ah..." Rengeknya manja. Deh... tanganku gatal aja pegang-pegang stepler.

     "Pena itu lebih klasik, elegan, polos dan lebih manis dibanding pulpen biasa. Tintanya juga lebih banyak. Sekali ditekan aja, tintanya langsung muncrat... crut crut crut..." Dia mendekatkan muka aneh dengan bedak satu kuintalnya, lalu berkedip sebelah mata. "Sama kek kamu..."

Hah? Apaan sih? Mimpi apa aku semalam sampe ketemu makhluk macem ini di siang hari bolong? Aneh banget. "Maaf... saya permisi bentar." Aku buru-buru berdiri, keluar dari cubicle-ku. "Silahkan, anda isi aja formulirnya."

     Meninggalkan nasabah mesum tadi, aku langsung menjambak rambut keriting Ruben. Dia kebetulan baru mau jalan ke mejanya- sesudah ambil kopi dari belakang. "Ben, gantiin mejaku. Ada nasabah sinting." Bisikku pelan.

"Siapa?" Ruben memeriksa mejaku. "Cantik gitu kok."

"Genitnya parah, keknya aku tadi udah dilecehin abis-abisan deh..."

"Harusnya seneng dong dilecehin ama cewek bahenol gitu."

"Bodo amat... pokoknya gantiin."

Dengan muka uring-uringan, aku berjalan sejauh mungkin dari meja kerjaku dan pergi menuju ke pentri. Mengurus hubunganku dengan Michelle saja susahnya sudah bukan main, rasanya nggak sanggup kalau harus didekati cewek lain lagi.

Masuk pantry, hal pertama yang aku lakukan adalah buat kopi. Di Bank segede ini, bisa-bisanya punya pantry sempit dan kopinya cuma kopi hitam tradisional dengan toples gula yang isinya cuma tinggal seperempat. Bahkan nggak ada mesin apapun, kalo mau kopi ya harus membuat secara manual. Pak Graha deh bener-bener, perwujudan versi manusia dari Mr.Crab.

     Eh... hapeku getar.

Aku ambil dari kantong celana kainku dan memeriksa siapa yang sudah kirim pesan di jam kerja begini. Ini dari... Calvin? Beberapa hari kemarin waktu di kawinannya Tria, kami memang bertukar nomor dan tetek-bengeknya. Tapi tetap saja... aku nggak nyangka kalo aku akan benar-benar di contact.

Aku ada di gedungmu

Baru ketemu klien

Makan siang bareng yuk?

Wihui... aku diajak makan siang bareng! Kenapa pupil mataku jadi melebar dan mulutku otomatis senyum-senyum sendiri? Kok jadi gini? Tanganku mencoba mengembalikan posisi mulutku balik ke ekspresi cemberut, tapi tetap nggak bisa. Masih aja aku senyum!

Diiyakan nggak ya? Apa ditolak aja?

Tapi kalo ditolak, kapan lagi aku diajak makan sama orang se-enak Calvin? Bisa ngobrol lagi dengan nyaman, bisa tukar opini dan dapat lawan bicara yang nyambung. Dia jauh lebih pinter dibanding teman-teman Men's Clubku yang IQ-nya jelas dibawah 100, dan jauh lebih sabar dibanding Michelle yang emosian. Aku... nggak ada alasan buat nolak. Lagian, siapa tahu dia bisa mengembalikan mood-ku yang hancur karena udah dilecehkan sama si menor di meja teller tadi?

***

     Jadi tepat jam makan siang, aku nggak buang waktu lagi untuk berlari ke lantai 11, ke sebuah restoran bernama Reddish yang ada di gedung perkantoranku. Dengan nafas ngos-ngosan, aku berhenti di depan pintu restoran dan menengok ke dalam. Beda dengan pujasera di lantai tiga, suasana Reddish terlihat jauh lebih nyaman dikunjungi saat makan siang. Meja mahoni, kursi merah empuk dan musik jazz jadulnya Earl Hines.

Di antara pengunjung restoran yang lain, di antara meja dan kursi, di antara hangat sinar matahari siang hari... aku menemukan sosok Calvin melambaikan tangan menyambut aku. Dia disana, duduk di dekat jendela dan tersenyum lebar melihatku.

     Seorang waiter dengan dandanan rapi lengkap dengan dasi kupu-kupunya, berjalan sabar mengantarku sampai ke meja dimana Calvin duduk. Begitu mendekat, aku lebih dulu kesihir dengan wangi parfum Calvin. Aroma itu, selalu sukses bikin jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Deg... deg... deg... belum lagi kalo ditambah dengan senyumnya, jadi deg... deg... deg... DHUARR!!

Aku meringis kikkuk. "Sori, telat ya?"

Calvin menggeleng, menarik kursi untuk aku. "Aku yang datang lebih awal."

"Udah pesen?"

"Belom, nunggu kamu."

"Kenapa? Pesen aja dulu kalo laper." Ujarku sambil duduk serius, memeriksa daftar menu dengan fokus penuh. Ah dodol, semuanya mahal-mahal seperti selera Michelle. Ini sih harganya sama aja dengan jatah makan siangku sebulan. Masa' es teh aja dihargai sampe dua puluh ribu? Dibelikan baso, dapat tiga mangkok tuh.

Yang paling murah... pa... ling... murah... jariku meneliti setiap baris nama makanan, sampai akhirnya ketemu juga yang mau aku pesan. Astagadragon, yang paling murah aja harganya sudah 90 ribu lebih. Resto gini nih yang berpotensi bikin bangkrut orang.

     "Fettuccine Alfredo, salad, trus minumnya Latte dan AquaDeco." Tiba-tiba aja Calvin sudah lebih dulu pesan, tanpa minta persetujuanku dulu.

Setelah waiternya pergi, aku memajukan mukaku agar bisa mengoceh tanpa kedengaran kanan-kiri. "Harga Fettuccinenya 140 ribu! Dari apa mereka bikin saosnya? Emas leleh?"

"Fettuccine disini enak kok."

"Fettuccine dimana-mana juga enak!"

"Udah gapapa... aku yang traktir." Calvin menepuk tanganku beberapa kali seperti mencoba menenangkan aku yang kelewat khawatir masalah harga makanan. Bukannya gitu juga sih...

Ribet sama urusan mahal, aku sampe baru dibuat sadar akan sesuatu. Mataku melirik pelan ke kanan, trus ke kiri, trus berputar satu kali. Cewek-cewek yang duduk di sekitar kami, ketahuan sedang memperhatikan Calvin. Setelah melihatku menoleh, mereka buru-buru buang muka ke arah lain.

Balik ke posisi duduk tegak, aku jadi nggak bisa menahan diri untuk memperhatikan Calvin sekali lagi. Cowok yang siang itu memakai sweater hitam Armani Exchange dan jam tangan Montblanc, terlihat santai banget. Terlalu santai malah. Seolah dia nggak sadar sama sekali kalau dia sedang jadi pusat perhatian, karena level kegantengannya yang luber kemana-mana.

Dia malah repot mengiris roti appetizer-ku dan mengoleskan mentega bawang di dalamnya, sebelum dengan sopan disodorkan di depanku. "Nggak usah banyak-banyak ya, menteganya."

     Kuambil rotiku dengan muka datar. Kurang kerjaan banget sih, ngurusin rotinya orang. "Ketemu klien dimana tadi?" Tanyaku, membuka obrolan.

Sambil mulai menikmati rotinya sendiri, Calvin menatap mataku dengan ramah. "Lantai 14."

"Advertising?"

"Hm mm."

"Jahit baju?"

"Bukan, cuma nge-stylist aja." Dia menggumam. "Saudaranya mau nikah, pengen dipilihin gaun bridal yang cocok. Ada lebih dari tiga job nikahan yang aku ambil dalam sebulan ini, bikin stress sendiri. Karena tanganku mungkin berkreasi, tapi otakku sinis banget masalah komitmen."

Makanan datang juga. Dan setelah suapan pertama, Calvin melanjutkan uneg-unegnya. "Memberi hati buat satu orang dan harus jalani hidup sama orang itu sampe seumur hidup. Resikonya gede banget, kan? Sekali ditinggal, bisa hancur berantakan."

Menyantap Fettuccine-ku, aku meringis. "Ada trauma ya?"

"Nggak juga." Calvin menggeleng. "Cuma realistis aja. Manusia kan pada dasarnya bukan makhluk monogamis."

"Emang bukan, tapi itu kan pilihan." Selaku. Karena untuk masalah ini aku punya pendapat sendiri, yang mungkin beda dengan pikiran Calvin, Michelle, teman-teman Men's Clubku atau orang-orang kebanyakan. "Punya satu orang dan dipunyai satu orang itu. Cinta sama satu orang, ketawa sama satu orang, nangis sama satu orang, tengkar sama satu orang, pulang ke satu orang dan setia... setia sampe nggak ada ruang lagi di hati karena udah penuh diisi sama satu orang. Aku sih pengennya seperti itu. Satu orang."

     Menyudahi omongan panjang lebar, aku baru sadar ternyata dari tadi Calvin sudah berhenti makan dan lebih memilih diam mendengarkan. Menatap mukaku agak lama, dia yang sedang menopang dagu, perlahan tersenyum simpul. "Omonganmu bijak dan enak banget didengar, udah macam Buddha aja." Sindirnya. "Cuma lebih imut."

Aku dibuatnya nyengir. Imut? Dia lagi-lagi bilang aku, imut? Prett... cowok tulen mana yang mau terus-terusan dibilang imut?

"Intinya..." Lanjut Calvin lagi. "Aku menghindari patah hati."

"Kecuali kamu ketemu si 'satu orang' tadi. Yang bikin kamu hidup."

"Atau bikin aku mati."

Sinis banget sih ini orang masalah cinta? Aku saja yang hidup cintanya rumit dan nggak jelas arah, masih berharap bisa tahu gimana rasanya bahagia. Kenapa Calvin yang sebaik ini, nggak?

Apapun itu, obrolan kami siang ini lumayan enak. Topik apapun, pasti nyambung kalau diomongin sama dia. Didukung dengan situasi santai dan makanan enak, aku ngerasa nyaman banget bisa bertukar pikiran dengan seseorang yang menghargai diskusi. Lain kali kalau ada waktu, aku mau kok... mengulang lagi.

***

     Malam minggu, nggak kerasa, waktunya pacaran kata orang-orang. Jujur saja, waktu terasa lamaaa banget saat dihabiskan dengan Michelle. Mungkin cuma makan dan nonton bioskop, tapi kami hampir nggak ngobrol sama sekali karena Michelle ribut sendiri dengan hapenya. Seluruh kegiatan kami Sabtu ini, cuma buang-buang duit.

Moodku justru agak membaik setelah Michelle merengek minta pulang. Dengan semangat, aku menyetir sedan bututku masuk jalanan, rasanya nggak sabar melempar badanku sendiri di kasur dan tiduran sambil nonton siaran ulang pertandingan bola.

"Berhenti bentar." Ujar Michelle. Apalagi sekarang?

"Jalanannya gelap, kalo ada mbak Kuntil gimana?" Aku menoleh kanan-kiri.

"Berapa umurmu? 5 tahun? Masih pecaya ama Kuntilanak?"

"Kalo ada begal?"

"Nggak ada begal disini."

"Darimana kamu tahu?" Selaku rada ngotot, meski ujung-ujungnya mobil aku parkir juga di pinggiran jalan. "Di film-film, orang yang nekad markir mobil di pinggir jalan gini, endingnya bakal mati digorok ama pembunuh berantai yang kemana-mana bawa gergaji. Kalo nggak digorok- ya pasti ditusuk, ampe ususnya keluar kemana-mana kek pita tujuh belas Agustusan."

     "Yu... bisa nggak sih peka dikit?" Michelle menyibak rambut panjangnya kebelakang dan perlahan bergeser ajak maju. "Kamu tahu kan alasan aku minta kamu minggir disini?"

Otakku berpikir sebentar. "Mmm... kebelet pipis?"

"Hah?"

"Kalo pipis, di pom bensin aja. Kan ada toil..."

"Aku pengen ML, taukk?!" Bentak Michelle. "Mumpung aku pake bra yang kaitannya di depan dan mumpung aku lagi nggak pake celana dalem."

"OGAH! No! Nehi!" Tolakku mentah-mentah sampe pake tiga bahasa. Meski penampilan Michelle malam itu super seksi dengan rok ketat Leopard dan gincu merah mawar, aku tetap bersikeras menentang seks di tempat umum dengan cewek satu itu. "Polisi patroli sering lewat daerah sini. Kalo ketahuan bisa berabe nanti. Aku nggak mau masuk koran besok dengan lakban di taroh di mata, ditambah judul artikel picisan, 'teller bank tertangkap mesum di pinggir jalan angker'."

     Malas mendengar ocehanku, Michelle langsung saja bergerak maju dan menciumku paksa. Bibir menornya menempel dengan agresif, sementara tangannya mulai berani meraba-raba selakanganku. Spontan saja badanku mundur dan kedua tanganku langsung mendorongnya menjauh. "Uu... udah!"

Dengan nafas nggak beraturan, Michelle melotot marah. "Kenapa sih, Yu? Aneh! Kita sebenernya pacaran nggak sih? Kenapa kamu nggak pernah mau ciuman ato ML ama aku?! Kenapa aku selalu ngerasa cuma aku yang suka sama kamu?!"

Apa... perlu dijawab? Kalaupun perlu dijawab, enaknya jawab apa? Itu tadi pertanyaan atau cuma pernyataan sih? Aku memilih diam karena aku sendiri nggak bisa kasih jawaban pasti. Dan diamku benar-benar bikin Michelle makin jengkel, karena buktinya cewek super bawel itu sekarang malah nangis sesenggukan menghadap jendela. Apa aku kelewat jahat ya?

Liat si Mak Lampir nangis kek gitu, aku nggak tega juga sih.

"Anter aku pulang."

"Anu Cel, so... ri..."

"Pulang!"

"Ii... iya iya! Ini pulang..."

Harusnya aku lega. Aku toh merasa canggung kalau harus lama-lama berduaan dengan Michelle, tapi kasihan juga kalau dia harus pulang dengan muka bete seperti itu. Kasihan... tapi mau gimana lagi? Daripada diterkam di pinggir jalan gini? Mending pulang saja.

     Setelah antar Michelle pulang ke rumah yang gedenya segedong itu, aku pun nyetir lagi sendirian di jalan. Tapi baru beberapa menit, aku menghentikan mobil lagi cuma untuk ambil hape yang ada di kantong. Aku nggak tahu sedang kerasukan apa, tapi jari-jari secara otomatis mengetik pesan buat seseorang. Aku bener-bener nggak tahu kenapa harus orang itu, tapi yang jelas satu-satunya yang pengen aku lakukan sekarang, ya cuma ketemu sama dia. 

Dan... bing! Akhirnya ada pesan balasan masuk juga, tepat semenit setelah pesanku terkirim. Kok, aku agak deg-degan ya?

Nggak ganggu kok. Aku tunggu ya?

     "Yessss!!!" Jeritku sambil memukul setir. Sedetik kemudian, mataku spontan melirik ke atas dan tanganku melempar hape ke jok sebelah. Ngapain pake teriak 'yes' malem-malem, coba? Padahal cuma dapet balasan singkat. Tapi tetap saja... nggak mau buang waktu lagi, aku pun menginjak gas dan mulai nyetir ke arah alamat rumah Calvin. Yep... emang dia yang barusan aku kirimi pesan barusan. Nggak aneh kan? Nggak kan?

Beberapa kali ketemu dan cocok saat ngobrol, menjadikan aku dan dia masuk kategori temen baek. Mungkin. Mungkin juga nggak.

***

     Rumah Calvin, jaraknya setengah jam dari rumah Michelle. Itu adalah sebuah rumah tingkat dua dengan pekarangan bersih. Semuanya serba Calvin. Ada beberapa bangku di halaman yang dipahat dari potongan pohon tumbang, ada tanaman anggrek yang merambat sana-sini, ada jalan setapak menuju teras yang sepi dari kerikil, dan ada...

ada Calvin.

Disana menyambutku di pintu depan, dengan kaos putih, celana tidurnya yang garis-garis horizontal biru muda, sendal jepit dan senyum manisnya. Yep, ada dia.

Aneh rasanya melihat Calvin nggak tampil seperlente hari-hari biasanya dengan kemeja atau jas. Tapi dia yang sekarang, nggak tahu kenapa, malah terlihat lebih bikin hati adem. Dia yang selalu kelihatan terbang jauh di mataku, sekarang seperti manusia biasa yang bisa diraih kalau saja aku mau berjinjit.

     "Darimana?" Sapanya, bukan dengan nada sapaan, lebih seperti khawatir. Dia membantuku menutup pintu mobil dan bahkan mengusap-usap lenganku, seolah tahu kalau aku sedang agak kedinginan karena hawa malam.

"Malam mingguan ama Michelle. Tapi udah aku anter pulang."

"Kenapa?"

"Tengkar."

"Kenapa lagi..." Calvin menghela nafas. "Udah makan belom?"

Aku menggeleng. "Tadi di restoran Seafood, Michelle pesen kepiting. Dia nggak pernah inget kalo aku alergi ama kepiting. Bisa bengkak semua mukaku, trus mulutku jadi memble segede bokongnya Kardashian. Kadang bisa pingsan malah."

Calvin memircingkan bola mata renggangnya, sebelum kemudian menyeret tanganku dengan pelan. Kakiku bergerak ngikut begitu saja. "E eh... mau kemana?"

"Beli martabak. Kalo martabak nggak alergi, kan?"

"Nggak."

"Deket kok, cuma di perempatan sana."

Anehnya, kalau sudah Calvin yang suruh, aku seperti nggak berkutik sama sekali. Seperti yang dulu... kemana kaki Calvin pergi, aku ngikut saja seperti anak kecil yang nggak pernah punya keputusan sendiri. Mungkin karena aku tahu, hampir semua hal yang diperbuat Calvin, selalu buat kebaikanku.

     Beneran... Calvin bener ngajak aku ke Abang kumis yang jual martabak dan terang bulan di perempatan jalan, depan blok rumahnya. Karena udah hampir tengah malam, cuma ada sisa beberapa orang yang nongkrong makan martabak disitu. Jalanan gelap dan sepi, tapi lampu kedai martabak bikin cahaya remang-remang yang sukses bikin kerasan.

Kami pesan seporsi martabak jumbo isi daging sapi dan dua teh panas. Calvin cuma ambil dua potong, sementara sisanya diberikan semua ke piringku.

"Pelan-pelan makannya." Calvin menarik nafas. "Lain kali kalo mau pergi kemana-mana, makan dulu di rumah. Jangan sampe perut kamu kosong, bisa asam lambung nanti."

Dengan mulut penuh martabak, aku manggut-manggut. "Hamu hak falem hingguhan?"

"Hah?"

"Hamu ho... hak haem hihuam?"

"Telen dulu itu, Yu." Lagi-lagi Calvin mengomel.

     Kukunyah martabakku dengan cepat. "Kamu tadi nggak malem mingguan? Sama temen-temenmu mungkin?"

Calvin menggeleng. "Nggak. Sebelom kamu dateng, aku malah lagi asyik tiduran dan ngelamun di genteng."

"Di genteng lagi? Semalem ini, nggak takut kesurupan?"

"Nggaklah. Malahan... il est confortable."

"Bahasa Perancis ya?"

"Hmm..."

"Coba ngomong lagi deh, enak banget didenger di kuping."

"J'ai un abcés."

"Apa itu artinya? Romantis ya buat cewek... pasti romantis."

Calvin tersenyum. "Artinya, aku bisulan."

"Kurang kerjaan banget sih." Mulutku nyengir sendiri. "Kalo ngajarin itu yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa, apa coba pentingnya bisul? Eh... di Perancis, ada orang bisulan ama korengan juga ya? Aku pikir cuma di Indone..."

     "Makannya jangan celemotan, kenapa? Kek anak kecil." Nggak sabar, Calvin mengangkat jari-jarinya dan mengambil rempahan martabak yang ada di pinggir bibir bawahku. Lalu dengan muka santai, dimasukkannya rempahan tadi ke mulutnya sendiri. Dikunyah beberapa detik, trus ditelan.

Aku dibuat diam seketika. Aa... apaan barusan? Kok... nggak jijik sih? Makan bekas celemotanku? Mataku terus saja menatapnya, sebelum tiba-tiba perhatianku disita oleh setetes air misterius yang jatuh ke dahiku. Satu tetes... dua tetes... merembet sampe hidung dan dagu. Aku perlahan mendongak ke atas dan ganti memperhatikan langit malam. Rintik gerimis, datang begitu saja.

"Calvin, lihat..." Tudingku ke atas. "Pleuvoir..."

***

     Eh, di tempat biasa ya? Aku yang traktir.

Enam kali makan siang sama kamu, aku terus yang bayar. Tumben mau nraktir, ada apa nih...

Dapet duit lembur.

Ditabung aja. Biar aku yang traktir lagi.

Jangan! Aku juga punya duit, pokoknya aku yang traktir.

Aku lagi pengen makan steak tenderloin di resto Santiago.

Oke, kamu yang traktir.

Dasar...

     "Eh kremi... gilak ya? Dari tadi cengingisan sendiri." Sindir Ruben, tiba-tiba saja datang ke gudang arsip dengan muka culunnya yang menyimpan kepoisasi. Aku buru-buru memasukkan hape lagi ke kantong dan kembali konsentrasi dengan kardus-kardus arsip nasabah.

Ruben mendekat. "Chat ama Michelle?"

"Bukan." Jawabku.

"Bukan apa?"

"Bukan urusanmu, mie goreng."

"Sombong kali kau." Ruben melempar gumpalan kertas ke mukaku. "Dipanggil ama si botak, tuh."

Si botak berarti Pak Graha, Papanya Michelle. Ngapain sih, kurang kerjaan mau ketemu pas jam istirahat gini? Aku melirik jam tangan dan mengambil nafas berat. Kan... udah mau makan siang? Mana perut udah makin melilit pula.

***

     Dengan kaki diseret-seret malas, aku berjalan menuju kantor pribadi Pak Graha. Kuketuk pintu dua kali, cuma berharap kalau omelannya kali ini nggak bertahan lama. Aku nggak mau kalau harus telat makan siang sama Calvin. Dia pasti udah nunggu.

"Masuk." Undang Pak Graha dengan suara seraknya.

Aku melangkah masuk dengan senyum sesopan mungkin, berdiri canggung di tengah kantor dan menatap muka bulat Pak Graha yang sekilas mirip donat kentang. "Manggil saya, Pak?"

Si botak itu menoleh, mengangguk. "Duduk, minum kopinya."

Waduh... ada dua cangkir kopi, alamat lama nih. Tapi karena ngeri dengan si boss, tetap saja aku duduk dan menarik cangkir kopiku sendiri- mendekat ke sisi meja. "Ada apa ya, Pak?"

"Abis ini mau kemana?"

"Makan siang."

"Bareng Michelle?"

"Bukan." Jawabku pelan. "Sama temen."

     "Alasanku suruh kamu kesini, sebetulnya mau ngomongin masalah Michelle juga." Pak Graha menatapku serius. "Kapan hari Michelle pulang sambil nangis. Dia nggak mau cerita, tapi aku yakin ada hubungannya sama kamu?"

Dengan gugup, aku menelan ludah. "Cuma tengkar biasa, Pak."

"Aku harap nggak serius. Karena kalo sampe dia kenapa-kenapa..." Si botak beranjak dari kursi empuknya, berdiri dan memandangku dengan posisi kepala songong. "Dia itu putriku satu-satunya, jadi apa yang dia mau pasti dia dapat. Dia cantik, berpendidikan, fashionable dan masa depannya cerah. Sedangkan kamu? Cuma teller bank yang muka dan gajinya pas-pasan, mobil aja cicilannya belom lunas. Siapa yang mau pake jasa sedan bobrokmu itu, kecuali burung-burung yang cuma numpang buang tai di kaca depannya?"

Kampret... mobilku kesayanganku dibawa-bawa.

Mengatasi emosi yang mulai muncak ke ubun-ubun, aku mengambil cangkir kopiku dan menempelkannya ke mulut. Kuminum pelan-pelan sambil terus saja dengerin ocehan nggak bermutu si botak sialan itu.

"Aku heran kenapa Michelle bisa pilih kamu!" Ujarnya. "Sebetulnya aku lebih setuju dia sama Ryan, anak temenku, yang sayangnya keburu mati dimakan Anaconda di pedalaman sana. Ato sama Arifin, kalo aja dia nggak mendadak ilang dan dicurigai ikut geng teroris."

Sinting. Jelas aja Michelle nolak mereka semua, mana mau dia dikawinin sama menu sarapan Anaconda dan penjahat?

"Calvin, sahabatnya dari Paris itu juga lumayan." Nah... si botak mulai masuk akal sekarang. "Anak itu udah ganteng banget, pinter cari duit, badannya bagus dan sopan ama orang tua. Aku bakal seneng punya mantu seperti Calvin, kalo aja dia bukan gay."

     "Bhuekkk!!"

Saking shocknya, aku sampe kesedak dan kopiku jadi muncrat kemana-mana. "Ukhuuk hukk!" Meletakkan cangkir ke meja, aku noleh lagi ke Pak Graha dengan masih batuk-batuk. Dalam hati aku terus berdoa, moga aja kupingku yang budeg dan mungkin salah denger. "Ta... tadi Bapak bilang apa?"

"Apa? Yang mana?"

"Calvin... gay...?"

"Lah emang iya. Kenapa emangnya? Aku pikir kamu udah tahu. Bukannya kalian udah kenal?" Pak Graha dengan santai terus saja membeberkan sesuatu yang sukses membuat aku merinding nggak karuan. "Jadi kalo liat mereka dekat, nggak usah cemburu. Dijamin dia nggak bakal naksir Michelle, lebih masuk akal kalo dia naksir kamu. Meskipun kamu cuma teller melarat."

Untuk pertama kalinya, bahkan ejekan Pak Graha nggak bisa masuk ke kupingku. Aku terlalu konsentrasi dengan rasa kagetku sendiri. Badanku lemes seketika, selama beberapa detik cuma bisa duduk diam dan menatap kosong ke arah nggak jelas. Beneran... Calvin gay? Ini nggak salah info, kan? Dia... suka sama cowok?

     Ini parah banget. Jadi selama ini aku temenan sama gay? Jenis makhluk yang nggak pernah berani aku lirik atau dekati dimanapun juga. Nggak, nggak boleh lagi! Aku nggak boleh lagi ketemu dengan Calvin untuk acara atau urusan apapun! Nggak boleh dan nggak mau!

Aku sudah nggak lagi memperdulikan jarum jam yang terus saja bergerak, melewati jam makan siang. Calvin pasti sudah menunggu di tempat makan. Dia pasti sedang duduk diam, nggak pesan makanan dan cuma memandangi pintu restoran... yang mungkin beberapa kali terbuka, tapi nggak pernah mengantarku datang. Cewek-cewek cantik pasti sedang memperhatikannya, tapi dia terlalu sibuk menungguku muncul. Dia juga, pasti nggak akan butuh waktu lama untuk ambil hape dan mencoba menelfonku. Telfon... yang nggak akan mungkin aku angkat lagi. Pesan-pesan, yang mulai sekarang... nggak akan mungkin aku bales lagi.

***

Men's Club...

Ngakak mereka. Ngakak sampai kepingkal-pingkal, ada yang batuk-batuk juga. Lima cowok bebal itu berkerumun sampe keringetan dan nahan sakit perut karena kebanyakan ketawa.

"Si Cabin ho... homo! Bhuahahaha! Yussa temenan ama homo!" Bobi ngakak sampe jatuh kebelakang, tiduran terlentang dengan dua kaki yang nendang-nendang kegirangan. Pengen rasanya ambil jarum pentul dan ngempesin perut gembrotnya itu. Apa ini namanya solidaritas? Ngakak di atas penderitaan temen sendiri?

"Kalian udah ciuman belom?" Tanya Angga.

"Udah diraba-raba?"

"Pernah pegang anumu, nggak?"

"Ato jangan-jangaaan..."

Mulai deh, hobi para kembar ini. Sahut-menyahut dan membuat cerita yang tadinya singkat, jadi melenceng dan didramatisir.

     "Kamu tahu sendiri kan, masalahmu apa?" Sahut Alex, mendekat meski tekhnisnya dia sudah duduk tepat disebelahku. "Kamu itu magnet ampuh buat gay, karena selain mukamu kelewat manis kek es serut... kamu juga rada lembek."

Aku menoleh sinis. "Lembek darimananya? Aku punya cewek, kan?"

"Yang nggak pernah kamu pegang."

"Salah kalo aku nunggu waktu yang pas?"

"Nggak salah. Cuma... mencurigakan."

"Tau ah..." Dengan muka masam, aku menumpuk kartuku dan kartu anak-anak yang lain ke dalam satu dek. Hari ini Angga yang menang, jadi dia yang dapat semua barang yang terkumpul di tengah lingkaran. Ada se-pak Malboro, voucher makan, dasi, dan lain-lain.

      Angga mengangkat salah satu hasil upetinya. "Siapa yang taroh korek-kuping disini? Mana ada ceritanya menang kartu, hadiahnya korek-kuping?! Siapa, ngaku?!"

Dasar. Cuma butuh waktu singkat buat mereka semua untuk melupakan topik pembicaraan dan rame sendiri masalah lain. Ceritaku seperti kentut buat mereka, nggak berat dan nggak penting. Sekarang malah ribut saling menuduh masalah cotton bud.

     Mereka nggak tahu kalau beberapa hari ini insomniaku jadi makin parah. Bukan hanya sulit tidur, tapi aku juga jadi sulit konsentrasi. Di acara kumpul-kumpul kali ini, aku memutuskan curhat ke mereka karena pengen sekali saja dihibur selayaknya teman lama. Tapi harusnya aku nggak banyak berharap dari curut-curut ini.

Kusandarkan punggungku di kursi sofa, sedikit mundur dan menjauh dari mereka. Malam ini, terlewatkan begitu saja dengan beberapa kaleng bir dan permainan kartu penuh kecurangan. Malam santai yang nggak ada artinya apa-apa.

Terbiasa dengan seseorang, trus mendadak berjauhan... itu sama sekali nggak enak. Apalagi kalau orang itu mungkin satu-satunya manusia di dunia ini yang bisa membuat mood-mu ringan. Karena jujur saja, moodku yang sekarang, serasa super berat. Tapi bagaimanapun, ini pasti bisa dilalui. Seperti biasa, aku akan pilih jalan lurus dan menghindari adanya resiko belokan. Aku harus konsen ke kerjaan, memperbaiki hubungan sama Michelle, tetap bergaul dengan geng goblokku dan yang jelas... menghapus Calvin 100% dari keseharianku. Bisa. Pasti bisa! Iya... kan...?

***

Bab 3. Koneksi yang Manis

     Akhir pekan. Buat kali ini aku nggak mau menghabiskannya dengan Men's Club atau Michelle, kali ini adalah waktuku sendiri jauh dari kekonyolan mereka.

     Dua jam menyetir, aku sampai juga di salah satu tempat favoritku.

"Ma..." Panggilku, menyapa seorang wanita separoh baya yang sedang sibuk menjemur baju di pekarangan rumah. Wanita dengan daster hijau muda itu menoleh dan tersenyum lebar melihat kedatanganku, buru-buru meninggalkan jemuran basahnya cuma untuk berjalan menghampiriku.

"Bocah bagus..." Dia mengusap keningku sebelum memelukku erat. Ini Mamaku, orang yang paling menyayangi aku di dunia meski hidupku serba amburadul seperti sekarang. Setidaknya dua hari ini aku mau dekat dengan Mama, makan masakannya dan ngobrol santai dengannya.

      Rasanya tanpa beban saat kembali ke rumah lama. Aku bisa bernostalgia lagi dengan masa kecilku. Mama nggak merubah sama sekali letak benda-benda di kamarku, semua serba penuh kenangan, salah satu alasan kenapa aku selalu kangen rumah.

"Masih insomnia, kamu? Udah jam 11 gini, buruan tidur." Tegur Mama seraya masuk ke kamarku, yang memang jarang aku kunci. Wanita itu datang sambil membawakanku segelas susu putih hangat, meletakkannya di meja sebelum duduk di sebelahku.

"Kepalaku pusing, Ma." Keluhku, memijat kepalaku sendiri sambil bersandar di belakang. "Pikiranku banyak. Masalah kerjaan, masalah Michelle, masalah teman-teman, masalah masa depan juga. Aku nggak tahu apa atau siapa yang harus aku prioritaskan."

Mama tersenyum, perlahan membelai rambutku. "Makin dewasa, makin banyak tanggungan dan beban pikiran, itu wajar Le. Sejak kecil, kamu memang jagonya hidup teratur. Jadi kamu bisa gampang stress kalau ada sedikit aja hal yang nggak berjalan sesuai rencana."

"Semuanya berjalan sesuai rencana." Sahutku. "Kecuali satu hal."

"Apa?"

"Sesuatu, yang bisa buat aku jauh dari sosok anak sempurna yang selama ini bikin Papa sama Mama bangga."

"Kamu anak kami, anakku. Apapun keputusanmu, Mama pasti bangga dan mendukung. Almarhum Papamu juga." Mama merendahkan nada suara, terdengar lebih lembut. "Kalau masih bingung menentukan prioritasmu, merem aja. Merem dan coba santai, ingat saat-saat kamu bisa tertawa dan nangis. Ingat saat emosi kamu meluap-luap, dipenuhi rasa marah tapi juga rasa damai yang tulus. Trus... dalam gelap pandangan kamu, coba cari satu titik putih.

Di titik itu, apa atau siapa yang kamu lihat disana... itulah prioritasmu. Itu yang harus kamu kejar."

      Kamu, Ma. Aku bergeser mendekat dan memberikan ciuman penuh sayang di pipi Mamaku. Wanita cantik itu tersenyum dan balik lagi mengelus-elus rambutku. Setidaknya untuk kali ini, Mama yang jadi prioritasku.

***

      Pleuvoir.

Nggak tahu udah berapa lama aku nggak lagi mendengungkan kata itu di dalam otak bodohku. Aku ingat, tapi karena frekuensi waktunya udah lama, aku jadi jarang menggumamkannya di mulut. Tapi tetap disana. Tetap disana dan nggak pernah pergi.

Hujan yang membawa air dengan banyak makna, mungkin nggak ditakdirkan buat aku. Cinta dan keberuntungan dalam bentuk seseorang, mungkin sebenarnya nggak ada dan nggak patut ditunggu. Aku harus mulai belajar menjalani apa yang ada sekarang dan berhenti mengharapkan yang bukan-bukan.

     "Ngelamun lagi?" Tegur Michelle, mencubit tanganku sampe aku memekik sakit. Udah jadi hobinya, menyiksaku meski kami sedang ada di tempat umum. Malam minggu itu kami sedang ada di Mall ngomong-ngomong, dan Michelle merengek berhenti di depan toko khusus asesoris. Matanya langsung melotot dan kakinya langsung belok tanpa minta ijin dulu.

Cewek dengan rok terusan merah menyala ber-bahu terbuka itu, menggandengku lebih erat lagi waktu kami masuk ke dalam toko. Mukanya dibuang ke kanan dan ke kiri, melirik cewek-cewek yang ada di sekelilingnya, seolah pamer dan bangga bisa berjalan denganku sebagai pacar. Cewek gila... apa coba yang bisa dibanggain dari aku?

Hampir dua jam kami di Mall dan Michelle nggak kapok juga. Dia menikmati melakukan kegiatan paling romantis saat nge-date malam mingguan, yaitu belanja. Aku cuma dibuat pajangan, obyek untuk digandeng sekaligus disuruh-suruh membawakan tas-tas toko yang berlapis-lapis.

     "Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun. Mikir apa sih?" Tanyanya sambil berhenti di rak etalase yang memajang dompet-dompet kulit penuh manik-manik.

Aku diam sebentar. "Mikirin kamu lah..."

Michelle menoleh, mengerut, trus tersenyum lebar. Sulit dipercaya gombalan sependek itu bisa membuat moodnya berbunga-bunga.

"Oh Lord..." Pupil mata Michelle melebar begitu melihat beberapa dompet di deret sebelah kanan. "Givenchy... Salvatore Verragamo... Valentino..."

Ugh mulai deh. Kesetanan dia. Aku memilih mundur, kalau terlalu dekat aku bisa khilaf nimpuk kepalanya sama tas-tas belanjaan ini.

Semua merk yang ada, terasa seperti racun buatku. Kenapa sih kebanyakan orang suka banget pake barang branded? Kenapa dengan yang biasa aja? Bukannya sama? Kalo pintar milih, dipakai juga sama bagusnya, kan? Lebih murah pula.

Berdiri menunggu sambil bawa banyak tas, nggak ada yang lebih apes daripada yang kegiatanku sekarang. Setidaknya itu sampe Michelle tiba-tiba berteriak kenceng dan bikin aku kena serangan jantung dadakan.

      "Ya ampun!! Calviiin!!"

Kampret. Bisa lebih apes gimana lagi? Kenapa dari sekian banyak Mall dan toko, aku harus dengar nama itu lagi sekarang dan disini?? Tapi intinya, itu Calvin.

Aku nggak bisa menahan diri untuk nggak menoleh dan melihat Calvin disana, melambaikan tangan menyapa Michelle. Cowok itu bahkan lebih bening dibanding terakhir kami ketemu. Dengan kaos hitam panjang Louis Vuitton dan jeans gelap, dia terlihat jauh lebih mahal dibanding seluruh barang merk yang ada di toko.

Rambut lurusnya yang tersisir penurut- mengelompok rapi, kulit terangnya yang halus, matanya yang menyipit karena tulang pipinya yang naik saat dia memutuskan buat melempar senyum. Aduh. Mati aku.

Gimana sekarang? Aku menunduk, melirik kanan dan kiri, harus kabur kemana aku? Kenapa jadi gugup dan serba salah gini?

Kaki panjang Calvin berhenti tepat di depan Michelle, sementara dua tangannya langsung memberikan cewek itu sebuah pelukan hangat. Aku yang melihat, sekarang merasa biasa aja. Mungkin karena aku tahu kalau kedekatan mereka, nggak lagi bisa mengintimidasi aku.

"Kebetulan banget!" Seru Michelle. "Lagi shopping ya?"

"Nambah koleksi aja." Calvin tersenyum.

"Beli apa?"

"Ikat pinggang."

"Saint Laurent?"

Calvin menggeleng pelan. "Dolce & Gabbana, buckle klasik."

      Setelah jawaban terakhir itu, mata renggangnya ganti melirik ke arahku. Pandangannya terasa kurang bersahabat. Aku bisa maklum sih. Aku nggak menepati janji makan siang dengannya dan selama ini bahkan nggak memberi kabar sama sekali.

Berapa minggu berlalu udah? Hampir sebulan?

"Hai." Sapanya pendek, dengan suara yang jadi makin rendah.

"Hh... hhai." Jawabku grogi, nggak tahu kenapa tenggorokanku jadi tercekat seperti habis nelan biji salak. Begitu dapat balasan, Calvin langsung buang muka gitu aja, menghindari tatapanku.

Rasanya... aneh. Melihatnya setelah lama nggak ketemu aja aneh, apalagi sekarang dicuekin seperti itu. Nggak tahu kenapa tapi seperti ada sakit di dada. Karena meski aku tahu aku pantes diacuhin, tapi rasanya aneh aja dibenci oleh satu-satunya orang selain keluarga, yang tadinya begitu perduli sama aku.

      Michelle malah terus mengoceh, sepertinya nggak sadar kalau situasi antara aku dan Calvin sedang canggung banget. Dia terus saja mendongeng tentang koleksi sepatu baru dan juga toko-toko baru yang buka di dekat rumahnya. Calvin berdiri di sebelah Michelle, mendengarnya ocehannya dengan penuh perhatian. Meski jarang menjawab, tapi dia dengan tulus memberi respon dengan anggukan kepala dan senyum simpul.

Kenapa? Kenapa cowok sesempurna dia bisa jadi gay?

Nggak tahu mereka ngobrol apa seterusnya, yang jelas si Michelle lalu dengan semangat ngacir gitu aja ke rak di ruangan sebelah tempat mereka memajang scarf. Calvin diam di tempat, tapi nggak seberapa lama menoleh menatapku.

     Aku spontan menunduk.

"Ngapain nunduk?" Tanyanya, membuatku merinding.

"Eeh... anu... tali sepatuku lepas."

"Sepatumu Pantofel tanpa tali."

Ohh iya ding, lupa. Kampret, mau ditaroh dimana mukaku ini?

Calvin mengganti posisinya, sekarang malah langsung berhadapan denganku. Face to face, membuat jantungku serasa berhenti berdetak dan tanganku keringetan.

"Gimana kabar kamu?" Tanyanya pelan.

"Ba... baik."

"Hapemu rusak?"

"Nggak. Kke... kenapa?"

"Gapapa." Dia masih aja setenang biasanya, ciri khas dari Calvin yang membuat lawan bicara bisa merasa aman sekaligus terancam di saat yang bersamaan. Dia bukan tipe yang mudah emosi, meski udah disakiti seperti apa juga. "Tempo hari... apa kamu jadi datang ke Santiago buat makan siang?"

Aku memberanikan diri angkat kepala. "Kamu?"

Dia menggeleng. "Nggak."

"Beneran?"

"Aku berusaha telfon kamu buat ngebatalin, tapi nggak diangkat."

"Ooh... syukur deh. Soalnya aku juga nggak datang."

"Kenapa?"

"Rapat ndadak."

"Baguslah. Kalo nggak ada yang datang, berarti nggak ada pihak yang nunggu."

Dengan kikkuk aku mencoba tersenyum. Pahit, tapi lega tahu kalau Calvin ternyata juga nggak datang siang dulu. "Iya ya..."

      Untung aja saat sedang terjebak di suasana canggung, suara cempreng Michelle terdengar buat jadi penyelamat. "Calvin, kesini dong! Butuh saran nih!" Panggilnya, memecah kekakuan antara aku dan Calvin.

Tanpa diperintah dua kali, Calvin pun langsung membalikkan badan dan berjalan menghampiri Michelle. Aku akhirnya bisa menarik nafas lega, bebas juga dari interogasi Calvin. Kupilih sebuah sofa single untuk menunggu, menghempaskan badan gugupku disana.

Sementara Calvin sedang asyik memilih belanjaan dengan Michelle disana, aku dibiarkan bengong sendirian. Dulu... biasanya nggak seperti ini. Dulu Calvin selalu menyempatkan waktu untuk sekedar menghampiri dan mengajakku ngobrol panjang lebar. Tapi sekarang, buat menoleh ke arahku aja- dia malas. Aku, si teller bank yang nggak ngerti fashion dan yang jelas... sama sekali nggak ngerti balas budi.

*

      Michelle menunjukkan scarf pilihannya. "Bagus nggak yang ini? Aku jarang pake Burberry soalnya."

Calvin mengambil scarf lainnya, kain halus dengan motif lembut yang kemudian dipakaikannya di leher Michelle. "Kenapa nggak Chanel yang biru ini aja? Lebih cocok buat kamu. Bisa bikin kamu terlihat makin anggun dan dewasa."

Michelle cekikikan. "Masa'?"

Muka bandel Michelle perlahan berubah, perlahan meneliti dengan teliti- mimik wajah Calvin yang terlihat berbeda malam itu. "Calvin, bien?" Tanyanya khawatir.

Calvin mengangkat bahu. "Moodku agak kacau, itu aja."

"Kenapa? Apa pacarku baru aja nyindir kamu?"

"Nggak."

"Ngomong aja. Apa Yussa kasar ama kamu?"

"Nggak. Kok kamu bisa ngomong gitu?"

     "Dia hetero, Calv." Jawab Michelle sinis. "Dia dan teman-teman geng gobloknya itu seratus persen hetero. Dan kamu tahu sendiri kan reaksi hetero ke gay pada umumnya?"

"Sebelumnya sikap Yu biasa aja kok sama aku."

"Itu sebelum dia tahu kalo kamu berpotensi horny ama dia."

"Hah?"

"Iya, dia mungkin jadi ngeri deket-deket kamu."

Calvin masih terjebak di rasa kagetnya. "Bentar bentar. Jadi... sejak awal kamu belum pernah cerita ke Yussa, kalo aku gay?"

Michelle menggeleng, sambil melepas scarf di lehernya. "Belum. Nggak penting juga kan? Nggak ada yang tanya. Intinya kamu itu sahabatku, titik. Sayangnya, Papa yang lebih dulu bilang ke Yussa. Kira-kira sebulan lalu, Papa panggil Yu ke kantornya dan cerita semua. Saking kagetnya, hari itu Yu ampe lewatin waktu istirahat dan lupa janji makan siang ama temennya."

Sebentar, Michelle mendadak diam. "Tapi kenapa dia respon kagetnya gitu banget, ya? Kalian kan nggak kenal deket..."

      Rahang Calvin mengeras, hidung mancungnya bernafas lebih cepat dan tangannya mengepal erat. Dia baru tahu alasan kenapa aku membatalkan janji makan siang dengannya, juga alasan kenapa selama sebulan aku terus aja menolak angkat telfon atau balas pesan di handphone.

Cowok perlente itu menghela nafas, menoleh ke Michelle dan mendekat untuk memberinya ciuman pipi yang singkat. "Je suis désolé, mon amour. Aku harus buru-buru pergi."

"Eh... kenapa?"

"Ada urusan."

"Oh... oke. Hati-hati ya."

Dengan langkah tergesa-gesa, Calvin berjalan menjauh dari Michelle. Terus aja berjalan lurus dan bahkan mau melewatiku yang sedang duduk memandanginya. Aku beranjak berdiri dengan muka tanggung. "Mau kemana? Udah mau pulang?" Tanyaku, antara basa-basi dan nggak rela.

     Calvin menoleh cepat dan menudingku. "Nggak usah sok ramah."

Aku sedikit mundur, agak kaget mendengar omongannya barusan. Sikapnya yang semula dingin, sekarang berubah kasar. Aku sendiri nggak tahu kenapa, meski otakku sedikit bisa menebak.

Dia tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasanya aku lihat, tapi senyum sinis yang benar-benar menusuk. "Jadi apa jarak segini cukup? Atau mungkin kurang jauh?" Sindirnya.

Aku mengerut bingung. "Jarak apa? Aku nggak ngerti."

"Itu alasan kamu nggak datang saat makan siang? Itu alasan kamu bahkan nggak mau angkat telfon atau bales pesenku? Cuma gara-gara aku gay?!" Nada bicaranya jadi keras dan meninggi. "Aku pikir kamu beda dengan homophobic diluar sana yang penuh dengan kebencian dan pikiran tertutup. Ternyata sama aja. Jijik ya, deket gay? Jijik banget sama aku?"

"Aa... aku..."

"Kamu tahu berapa lama aku nunggu kamu siang itu?"

"Mm...maksudnya?"

"Dua jam!" Sentaknya. Nggak perduli dengan muka bingungku, Calvin terus aja menatapku dengan tajam. "Dua jam, Yussa. Aku nunggu kamu selama dua jam penuh disana!"

Setelah membentak, Calvin langsung aja membalikkan badan dan pergi meninggalkanku yang cuma bisa berdiri mematung. Mataku berkedip pelan, memandangi punggungnya... menjauh. Makin aku berharap dia menoleh kebelakang, makin dia berjalan cepat, menghilang dari pandangan.

     Apa maksud Calvin tadi? Dia nunggu dua jam? Jadi dia beneran datang siang itu... datang dan menunggu.

Aku nggak begitu paham kenapa tadi dia sempat berbohong bilang nggak datang ke Santiago, padahal sebenarnya dia dengan sabar nunggu aku disana. Tapi aku lebih nggak paham lagi dengan perasaanku sekarang. Perasaan bersalah yang bikin dada sesak ini, seperti memakanku hidup-hidup dari dalam. Seharusnya aku lega bisa jauh dari gay itu.

Seharusnya. Tapi kenapa nggak?

***

      Musti gimana ini?

Aku memutar posisi tidurku, sekarang berbalik ke kanan. Kenapa insomnianya tambah parah? Udah hampir subuh tapi aku tetap aja nggak bisa tidur. Tekhnik apapun udah aku coba, minum susu atau ngitung domba sampe nggak bersisa, tapi tetap nggak ada perubahan. Mataku tetap melek lebar dan nafasku makin berat. Padahal masih harus berangkat kerja pagi.

Pikiranku jadi kemana-mana. Apa ini gara-gara kejadian di toko kemarin malam? Apa cuma gara-gara seorang gay ngambek, trus aku jadi nggak bisa merem sama sekali? Apa ya harus aku telfon buat minta maaf? Tapi kenapa aku harus minta maaf ke dia? Bukannya itu malah membuat masalahnya jadi makin rumit lagi?

"Aargh kamprett!" Umpatku, kejang-kejang sendiri di kasur.

Kubenamkan mukaku di bantal dan berteriak seperti orang gila disana, mumpung kedap suara. Setelah beberapa kali teriak dan badan mulai lemas, aku perlahan mengangkat muka dan ganti menoleh ke sebuah arah. Ke arah sebuah handphone kecil yang tergeletak di atas meja. Mataku berkedip lemas memandangi benda elektronik polos itu. Aku benci benda jelek itu, aku benci serentetan kejadian sial yang udah dibuat olehnya.

***

Tiga hari kemudian...

"Yu."

Aku diam aja.

"Yu!" Ruben nyenggol lenganku, membuatku terjaga sebentar.

"Hm?"

"Mesin fotokopinya seksi ya? Sampe dipelototin gitu."

Aku diam sebentar, badanku mungkin ada di kantor tapi pikiranku jauh diluar sana. Jadi alih-alih memperlama obrolan dengan Ruben, aku langsung aja meletakkan kopiku di meja dan berjalan pergi. Nggak kuperdulikan lembaran laporan yang harusnya aku fotokopi, dan aku lebih memilih menyendiri di pojok koridor demi waktu pribadi dengan hapeku. Oke...

     Aku menarik nafas panjang-panjang.

Aku cuma mau mengirim pesan minta maaf ke Calvin, bukan berarti minta dinikahin. Lagian, tali silaturahmi antara sesama manusia emang seharusnya dijaga- kan? Iya kan? Aku harus kirim segera. Karena udah berhari-hari setelah kejadian di Mall kapan hari, aku nggak bisa makan dengan tenang, tidur dengan tenang atau buang hajad dengan tenang.

Dengan konsentrasi penuh, aku mulai menekan-nekan hapeku.

Sori. Sori banget. Aku emang brengsek. Kamu berhak marah, tapi... marahnya jangan lama-lama ya?

Terkirim.

Dimaafin atau nggak, yang pasti aku udah mencoba dengan hati dan pikiran yang tulus. Sekarang tinggal diserahin ke Calvin sendiri dan takdir yang menentukan hubungan pertemanan kami.

*

      Beberapa jam berlalu dan pesanku belum juga dibales. Aku makin nggak niat kerja, fokusku buyar kemana-mana. Bahkan saat jam makan siang, aku lebih memilih tetap duduk di kursi kerjaku sambil memandangi hape yang sunyi sepi. Apa segitu dendamnya Calvin sama aku?

Kepalaku pusing, aku nggak tahu lagi harus ngapain. Badanku kosong dan lemas, tapi aku masih terlalu kuat untuk pingsan. Nyawa masih ada, tapi nggak terasa. Tahu kan maksudku?

Blip blip... nyala lampu mungil itu membuatku hampir jatuh dari tempat duduk. Hapeku nyala!

     Seperti kilat, kusambar hapeku dari atas meja dan buru-buru kulihat apa alasannya nyala. Ada pesan masuk! Pesan balesan! Dari Calvin!!

Traktir makan kalo gitu. Belakangan kalo siang selalu sibuk, jadi makan malam aja. Hari minggu jam delapan, tentuin tempatnya.

Mataku melotot nggak percaya. Dia beneran bales pesanku! Ngajak makan pula!

"Wuhuu!!" Aku hampir aja berdiri dari kursiku dan melompat kegirangan, kalau aja Ruben nggak keburu datang dan melirikku dengan tatapannya yang keheranan. "Sinting." Ejeknya, komat-kamit. "Kenapa girang banget? Abis nonton AV, ya?"

"Apaan? Balapan?"

"Bokep Jepang."

"Kamu yang sinting." Kulempar muka mesum Ruben dengan gumpalan kertas, sebelum kembali mengatur posisi dudukku sesopan mungkin. Kubuka lagi nomor antrian untuk nasabah dan kuletakkan hape di meja. Aku mencoba untuk konsentrasi kerja lagi, tapi jadinya malah lebih sulit. Karena sekarang mukaku nggak bisa berhenti senyum. Dipaksa jaga wibawa pun, udah terlambat. Senyum karena efek pesan Calvin tadi, terus ada.

***

      Alex memandangiku mulai dari atas sampe bawah, mulai dari kemeja yang sedang kubetulkan kerahnya... sampe celana kain yang pas banget di kaki panjangku. Businessman satu itu lagi repot menemaniku belanja sepulang kerja, menghabiskan waktu hampir satu jam di Mall.

"Apa liat-liat?" Tanyaku dengan mulut monyong.

Alex menggumam. "Sejak kapan penyakit gila belanjanya Michelle nular ke kamu? Masa' dari tadi milih kemeja satuuu aja, nggak kelar-kelar?"

"Yang ijo aneh, Lex, kek lemper. Yang kuning kek tai."

"Kamu lagi punya selingkuhan, ya?"

"Nggak."

"Trus ngapain belanja baju?"

"Nggak boleh?"

"Boleh." Alex menghela nafas. "Tapi nggak segitunya juga."

      Nggak lama, Alex menjentikkan jarinya dan meringis. "Aha! Ruben kriwul itu cerita sama aku, kalo dia lihat kamu lagi hape-an ama orang. Orang yang jelasnya bukan Michelle. So... siapa? Cewek baru? Tapi kamu belom mutusin Michelle, kan?"

"Aku nggak punya cewek selain Michelle, karena aku bukan tukang selingkuh seperti kamu ama temen-temen se-geng kita yang lain. Kalopun mau putus, aku pasti pilih cara baik-baik." Jawabku.

"Tapi... kamu emang kelihatan beda sih." Gumam Alex, masih aja berusaha meneliti raut mukaku. "Ini hampir aja akhir bulan, tapi kamu nekad beli baju. Biasanya kamu kan ngirit banget. Kalo ada kondangan aja, paling cuma pinjem jasku atau si Angga. Aku juga nggak pernah lihat kamu se-antusias ini. Kek orang yang lagi jatuh cinta. Sama siapa sih?"

"Nggak sama siapa-siapa! Apaan sih!"

"Kita udah temenan sejak kecil, masa' pake rahasia?"

"Bukan rahasia, tapi aku emang nggak lagi jatuh cinta."

     "Ngaku deh, Yu. Kamu mau kencan kan? Itu sebabnya kamu heboh belanja kemeja baru." Tuduh Alex, langsung menempelkan jari telunjuknya ke ujung hidungku, trus memencetnya sampe aku bersin. "Hatchuu!!"

Alex memircing jijik. "Iiuhhh... pilek ya?" Diusapkannya jari bekas hidungku ke salah satu kemeja yang dipajang di badan boneka manekin toko. "Belakangan ini sering mendung, sering ujan deres. Hati-hati kena flu, pilih kemeja yang kainnya tebel biar anget dipakenya. Biar enak buat kencan ama cewek rahasia itu."

"Bukan kencan!" Bentakku sambil memukul kepala Alex dengan hanger kemeja. "Udah kubilang bukan kencan! Ha.. hh... hatchii!!"

***

Minggu malam, jam 8 kurang 2 menit...

Harusnya sih nggak telat, tapi tetap aja aku berlari buru-buru masuk ke dalam restoran. Le Blanc, sebuah restoran Perancis yang aku khusus pilih dengan pertimbangan kalo Calvin bakalan suka karena dia pernah tinggal disana. Aku sendiri, belom pernah makan masakan Perancis. Tahu harganya apalagi.

Resepsionist menyambutku, dengan jas hitam yang kelihatan lebih mahal dibanding jas yang aku pake. Padahal aku yang jadi tamu di restoran. Dan padahal, jasku baru.

"Yussa Januar." Ujarku dengan senyum canggung.

"Oh iya, Pak. Sudah ditunggu." Jawabnya. "Silahkan..."

Kok ditunggu? Bukannya datangku udah tepat waktu?

      Aku diantar berjalan melewati meja-meja lain, sampai ke sebuah meja di ujung, meja nomor 22. Disana, Calvin udah terlihat duduk menunggu tenang, dengan posisi tegak dan berwibawa. Gantengnya maksimal banget, auranya membaur pas dengan suasana restoran Le Blanc yang mewah. Makin dekat dan dekat, makin jantungku berdetak lebih cepat.

"Silahkan, Pak. Waiter kami akan segera datang dengan menu."

"Ah... iya."

Nggak menghiraukan sama sekali resepsionist yang berjalan pergi itu, aku cuma bisa fokus ke cowok di depanku. "Hai..."

Calvin memandangku agak lama, menungguku duduk dan meneliti ekspresi gugupku. Perlahan, secara ajaib dia menunjukkan senyum manisnya menyambutku. "Hai."

Senyum itu... lama nggak aku lihat.

      "Kamu nunggu berapa lama?" Tanyaku, kikkuk.

"Setengah jam."

"Kan janjiannya jam delapan? Kenapa datangnya awal banget?"

"Gapapa. Yang penting kamu datang."

Aku dibuatnya diam. Kenapa dia masih bisa sebaik ini meski aku udah memperlakukannya macam sampah? Perasaan bersalahku kambuh lagi, seperti menjalar sampai ke ujung kuku dan membuat badanku sedikit menggigil. Ini karena grogi, atau karena flu?

Padahal sebelum kesini tadi, udah minum obat flu yang beli di warung depan rumah. Trus mandi air anget sampe lama, nyisir rambut juga lama, dan dandannya lama pula. Persiapan pergi ke restoran ini, aku seperti jadi emak-emak yang mau pergi arisan.

     "Mikir apa?" Tegur Calvin, tahu kalo aku melamun. "Waitressnya udah datang. Buruan pesen."

Kuambil daftar menu, meliriknya sebentar, sebelum menutupi mukaku dan berbisik pelan banget ke Calvin. "Aku... nggak bisa bacanya."

"Apanya?"

"Menunya, semua pake bahasa Perancis."

Calvin tersenyum kecil. Dengan santai, dia mengambil daftar menuku dan mengembalikannya ke tangan waitress. "Kami pesan Aligot dan Cassoulet. Appetizernya Croissant aja dan dessertnya Little Mussel Cakes."

"Minumnya, Pak?"

"Frontignan Muscatel."

"Baik, Pak. Silahkan ditunggu."

"Merci."

Mulutku menganga seperti orang udik, melihat kelihaian Calvin memesan menu-menu Perancis tadi buat kami berdua. Setelah waitressnya pergi, aku balik lagi berbisik. "Dulu di Paris, apa kamu sering makan di restoran mahal kek gini juga?"

      Dia menggeleng kepala, mencoba mengalihkan topik dengan berganti melirik jas dan kemejaku. "Baru, ya?"

Aku menunduk kaget, memperhatikan sendiri penampilanku. "Kok kamu bisa tahu?"

"Nggak ada kusutnya sama sekali. Dan, bau tokonya masih ada."

"Bagus nggak?"

"Apa yang nggak bagus di kamu..."

Aku meringis. "Mahal tapi."

Calvin menggumam. "Kalo mahal kenapa dibeli?"

Karena mau ketemu kamu... jawabku dalam batin, tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Berhenti dan mati disana.

      Dan seperti dia yang biasanya bisa membaca isi pikiranku sekaligus segala kecemasanku, Calvin tersenyum. "Lain kali nggak usah beli-beli lagi. Datang ke Pleuvoir, ntar aku buatin kemeja, jas, celana atau pakaian jenis apapun yang kamu butuh."

Mataku melebar. "Diskon berapa?"

"Gratis." Jawabnya kalem. Aku cuma bisa manggut-manggut. Sebenarnya nggak enak juga merepotkan Calvin, tapi saat ini apapun yang bisa membuat sikapnya kembali akrab lagi denganku, pasti aku turuti.

*

      Eh~ suara apa itu?

Makanan akhirnya datang, tapi perhatianku udah lebih dulu tertuju ke suatu sudut dimana sebuah Grand Piano putih dimainkan begitu merdunya oleh seorang pianis bayaran di Le Blanc. Dentingan itu begitu familiar, membuat badan dan jiwaku seolah jadi ringan dan dihisap kesana.

Johannes Brahms 6 Klavierstücke op.118... potongan yang bisa menguras emosimu meski dengan ketukan lembutnya. Perasaan yang ditimbulkan ini, perasaan ketidak-tenangan abstrak yang membuatmu menyerah pada kondisi.

      Jari Calvin meraih daguku, merebut perhatianku dari piano, dan memaksaku buat kembali fokus pada wajah sempurnanya. Dia memandangku dengan bisikan lirih. "Makan dulu."

Dia tahu. Dia tahu isi pikiranku. Dia tahu betapa aku ingin kembali ke piano. Tahu keputus-asaanku karena piano.

Alunan melankolis karya Brahms yang kudengar sekarang, ditambah dengan sosok Calvin di hadapanku... membuatku benar-benar sadar bahwa kehidupan ternyata nggak seburuk yang aku semula pikir. Aku seperti terhipnotis. Dulu sebelum tahu kalau dia gay, perasaanku nggak sekacau ini. Trus kenapa sekarang aku justru seperti anak kecil yang terpesona melihat mainan baru yang mengkilat?

Situasi canggung seperti ini baru kualami pertama kalinya. Meski ini cuma makan malam bareng antar teman, tapi debaranku seperti menyatakan sebaliknya.

      Sambil makan, dia memandangku. "Yu..." Ujarnya. "Aku udah nggak marah tentang kejadian tempo hari. Aku coba ngerti rasa kaget kamu dan aku paham. Yang aku pengen tahu, apa kamu nggak ngerasa aneh makan bareng gini? Kata Michelle, kamu paling ngeri deket sama gay."

"Kalo sama kamu, nggak." Jawabku pelan.

"Kamu nggak perlu takut." Sahutnya. "Meski aku gay, tapi aku nggak gampang suka sama sembarang cowok. Aku nggak akan melanggar batas pertemanan kita, jadi kamu bisa lega. Karena aku, nggak akan mungkin jatuh cinta sama kamu."

      Nggak akan mungkin jatuh cinta sama aku, katanya. Nggak mungkin cinta... nggak mungkin... nggak...

Kulahap makananku lebih cepat, nggak tahu karena emang dari tadi lapar atau karena emosi dadakan yang mendadak memuncak sampe ke ubun-ubun. Harusnya aku lega kan dengar dia bilang seperti itu? Tapi kenapa jatuhnya justru aku ngerasa tersinggung?

Memangnya ada yang salah sama aku? Badanku tinggi dan lumayan proporsional, rambutku lurus sehat, mukaku cenderung di atas rata-rata banget dan otakku juga nggak bego-bego banget. Trus...trus kenapa aku nggak layak dicintai?

Pikiran itu terus mengganggu aku, bahkan sampe kami udah kelar makan malam dan dia mengantarku di parkiran.

*

      Calvin berhenti di depan mobil bobrokku. Kepalanya ditundukkan untuk menengok ekspresi mukaku yang sedang asyik cemberut. "Kenapa? Nggak suka karena aku yang bayar makan lagi?" Tanyanya, sama sekali nggak sadar alasanku tiba-tiba ngambek. "Lain kali aja ya? Kalo tempat makannya lebih enakan, giliran kamu yang bayar. Gapapa, kan?"

"Nggak pa-pa."

"Hidung kamu merah."

"Udah aku bilang nggak paaa...ahhhaa hatchuu!!"

Keparat dasar flu ini. Masa' meler di depan Calvin sih? Nggak tahu malu banget aku.

      Calvin mengangkat tangan kanannya, dan dengan jari-jarinya yang lembut, diusapnya hidung merahku tanpa rasa jijik. Udara malam sedingin ini, nggak tahu kenapa kulitnya terasa hangat banget. Badanku jadi meriang semua.

"Buruan pulang, jangan mampir kemana-mana." Ujarnya.

"Hmm."

"Nyetirnya ati-ati, jangan ngebut."

"Ho oh."

"Kalo udah nyampe, text aku."

Aku manggut-manggut aja. Begitu dia membukakan pintu mobil depan, aku langsung masuk dengan lambaian tangan singkat.

Kunyalakan mesin mobil, menginjak gas sepelan mungkin dan melaju pergi meninggalkan Calvin sendirian di parkiran. Bahkan sampe ujung, mataku terus aja menatap spion dan melihatnya berdiri... memandangiku.

Satu bulan berjauhan, bisa tergantikan dengan satu malam.

***

      Sampe di rumah pun, rasanya seperti belum benar-benar pergi jauh dari Le Blanc. Sosok Calvin yang berdiri mengantar kepergianku, masih aja ada di ingatan. Matanya yang nggak rela, sentuhan jarinya, suaranya yang berat, aku masih hafal. Sebenarnya kalo dipikir-pikir lagi, pertemuanku dengan Calvin tadi lumayan masuk kriteria Alex akan apa yang disebut... kencan.

Seperti sedang kesurupan, wajahku lagi-lagi tersenyum sendiri. Seperti orang sinting, meski dipaksa buat diam, tapi aku nggak bisa menghilangkan senyum aneh ini.

Kenapa makan malam sekali aja udah segirang ini? Padahal sebelumnya aku sering makan malam sama Michelle, nggak pernah tuh efeknya sampe sebeda ini.

Kuhempaskan badanku di kasur. Tanganku memegang hape dan mataku kedip-kedip sendiri memandangi langit-langit kamarku. Apa ini wajar dilakukan seorang cowok straight di hampir jam sebelas malam? Apa wajar ngetik pesan buat cowok gay, semalam ini?

Aku udah sampe rumah. Kamu... udah tidur belom?

***

Bab 4. Reuni dan Janji

       Akhir-akhir ini semua jadi lebih enakan. Setelah baikan dengan Calvin, hari-hari berjalan semakin menyenangkan. Kami seperti sedang melanggar hukum alam, yang mengatur batas hubungan antar cowok heteroseksual dan homoseksual. Buktinya, kami hampir setiap hari selalu bareng. Kami makan bareng, nonton bareng, jalan bareng. Rumahnya jadi rumah kedua buatku dan begitu juga rumahku yang jadi tempat tongkrongan rutin buat Calvin. Semua, berjalan jauh lebih baik dari yang aku harapkan.

    "Baunya kambing." Hidungku kembang kempis, duduk nggak sabar di meja makan sambil terus aja memperhatikan Calvin yang sedang asyik masak di dapurku. Cowok itu sudah menghabiskan hampir satu jam disana, dengan celemek polkadot yang ditali menutupi separoh badan jangkungnya.

    "Itu karena aku masak gule, yang biasanya pake daging kambing. Tapi ini aku ganti ayam." Celoteh Calvin, sambil terus aja masukin bahan ini itu ke dalam panci yang aku bahkan nggak pernah tahu aku punya. "Lambungmu peka, nggak baik makan kambing."

    "Lama." Dua kakiku aku angkat ke atas kursi. "Laper."

        Ini bukan sekalinya Calvin pakai dapurku, sejak kami akur, dia nyaris memiliki ruang itu. Dia memenuhi isi kulkasku yang semula isinya cuma air putih, melengkapi dapurku dengan barang pecah belah baru dan bahkan mencuci semua yang kotor.

    Setelah menyiapkan semuanya di meja, Calvin pun akhirnya duduk tepat di depanku. Nggak butuh menit buat aku untuk menyantap hasil masakannya, yang menurutku selalu lebih enak dibanding menu apapun di restoran manapun.

    "Yu..."

    "Hm."

    "Besok kerja, aku antar-jemput aja. Nggak usah bawa mobil. Aku mau ajak kamu ke dokter syaraf yang direkomen salah seorang pelanggan butik. Kita daftarin kamu buat ikut terapi syaraf, mengobati jari-jarimu...biar bisa maen piano lagi."

        "Hah?" Aku mengangkat kepala dan berhenti makan di suapan gule kelimaku. "Nggak usah! Apaan sih? Kan udah aku bilang kalo sejak kecelakaan, tanganku nggak pernah bisa balik normal. Kalo kamu paksa aku kesana tapi nggak ada hasilnya, kan percuma."

    Calvin bersikeras. "Kita nggak tahu kalo nggak dicoba."

    "Aku nggak mau!"

    "Kamu takut apa?"

    "Takut gagal lah! Bisa tambah stress aku ntar." Gerutuku.

    "Kita tetap pergi, oke?" Calvin merendahkan nada bicaranya, cara khas buat membujuk dan memaksa kepalaku buat ngangguk pada setiap ide-idenya. "Aku tungguin di setiap sesi terapimu, sampe selesai. Mau nggak mau, aku tetap bakal seret kamu pergi."

    Males menjawab, aku selesaikan saja makan malamku dengan muka cemberut. Calvin memang terkenal kalem dan sabar, tapi kalo sekali punya kemauan, dia nggak pernah bisa ditentang. Mengenalnya lebih lama, aku jadi hafal sifat-sifat barunya.

        Kami makan bareng dengan suasana diam selama beberapa saat, sampe Calvin kembali lagi buka omongan untuk memecah ketegangan. "Yussa, dengerin aku..." Ujarnya, balik lagi dengan suara lembutnya. "Pertama kali dengar kamu ngomongin masalah piano, aku tahu itu berarti banget buat kamu. Aku percaya kalo kamu nggak cuma ditakdirkan jadi teller bank yang duduk dibelakang meja dan nuruti perintah orang. Dunia itu tempat yang luas, Yu. Dan kamu layak keluar."

    Makanku agak melamban, menyadari kalo omongan Calvin ada benarnya juga. Selama ini, hal itu yang jadi impianku. Pergi keluar sana dan menikmati dunia dengan piano. Tapi...

    "Aku pengen denger lagi cerita tentang dunia musikmu yang nggak pernah dipahami orang-orang disekelilingmu. Termasuk aku. Aku pengen denger mimpi kamu." Calvin fokus memandangiku dengan serius. "Aku pengen tahu semua tentang kamu. Bahkan di batas dimana aku udah kenal banget tentang kamu, aku masih aja pengen tahu."

    Kutarik nafas panjang. Terbuka pada seseorang itu nggak gampang. Piano, adalah hal sakral dalam pikiranku yang nggak pernah bisa aku bagi dengan siapapun termasuk orang tua, pacar atau teman-teman dekatku sendiri.

    Tapi Calvin. Dia beda. Posisinya apa untukku, aku sendiri bingung.

       "Komposer kesukaanku... Beethoven. Dia menguasai piano, biola dan juga banyak komposisi-komposisi sulit. Karya-karyanya dan kerja kerasnya, banyak memberiku inspirasi." Ujarku dengan kepala menunduk. "Hidupnya susah, Ayahnya alkoholik dan Ibunya meninggal karena sakit keras. Bahkan ketika bikin tiga sonata buat Pangeran Franz, dia masih belom dibayar. Dia kasih les les piano buat keluarga bangsawan, permainannya diakui banyak orang, termasuk Mozart. Di akhir hidupnya meski masih terus berkarya, tapi Beethoven jadi tuli total... dia meninggal sendirian tanpa keturunan. Tapi namanya, tetap hidup."

    Perlahan aku angkat kepalaku, melirik muka Calvin yang ternyata masih konsentrasi ke arahku. Mata coklat tuanya memircing, bersamaan dengan senyum simpulnya yang perlahan muncul.

    Dengan cepat, aku nyengir. "Apa liat-liat? Naksir ya?"

    Calvin tersenyum makin lebar. "Kalo iya, kenapa?"

    "Gulemu nggak enak."

    "Ngomongin naksir, kenapa larinya ke gule?"

    "Ayamnya alot."

    "Homo satu ini naksir kamu, emang kenapa?"

    "Pok ame ame belalang kupu-kupu... siang makan nasi lalala."

    Melihatku grogi, Calvin malah ngakak sendiri. Melanjutkan makan malam, muka gantengnya nggak bisa berhenti tertawa.

    ***

        Ceng ceng ceeeeng! Si botak Graha dengan seringai mautnya, siang esoknya mengundang aku ke kantor pribadinya lagi. "Duduk Yu. Duduk dan minum kopimu."

    Mampus dah. Kopi lagi. Bakal selamanya ngendon disini nih.

    Aku duduk di kursi panas, mengambil cangkir kopiku dan mengamatinya berdiri sambil garuk-garuk kepala botaknya yang mengkilat mengerikan. "Alasan aku panggil kamu kesini..."

    Michelle, batinku.

    "Adalah karena Michelle."

    Nah, kan.

    "Putri kecilku itu sering mengeluh belakangan karena waktumu yang makin jarang dihabiskan sama dia. Memangnya kamu pikir siapa kamu? Presiden? Superhero penyelamat dunia? Kok bisa cacing kremi kek kamu, nggak punya waktu buat anakku?"

       Kampret. Aku dipanggilnya cacing kremi.

    "Tapi sebagai Papa yang baik, aku mencoba berpikir dengan keras dan akhirnya aku ngerti. Oke... cinta ternyata emang katarak. Dan udah nggak bisa disangkal kalo Michelle bener-bener terjebak sama kamu. Jadi, demi kenyamanan Michelle, aku pengen kalian berdua buru-buru diiket." Ujar Pak Graha.

       Diiket??

    "Maksudnya, Pak?" Kuminum kopiku dengan super gugup.

    "Maksudnya, dodol. Aku pengen ketemu sama orang tuamu. Minggu depan, ajak Mama kamu datang makan malam di rumahku. Mungkin rumahku cuma menyajikan masakan elit yang sulit dicerna sama perut orang-orang sejenis kamu sama Mamamu, tapi aku akan berusaha... bikin semuanya lancar." Pak Graha terus saja mengatur rencana dan mengacuhkan ekspresi bengongku. "Dan buat sementara, aku harap kamu bisa jauh-jauh dari temen-temen nggak bergunamu di Men's Club itu. Bawa masalah aja..."

       Sebenarnya masalah makan malam udah pernah dibahas Mama juga. Beliau pengen banget temu akrab dengan keluarga Michelle, tapi aku nggak pernah ngangguk setuju. Karena aku tahu, kalau endingnya nggak akan berakhir dengan sekedar ramah tamah. Di umur kami yang sudah dewasa, tentu saja yang orang tua mau cuma hubungan yang resmi. Alias pernikahan. Alias... borgol.

    Pertanyaannya... apa aku siap?

    Apa aku siap memulai komitmen permanen dengan Michelle? Aku bahkan nggak pernah yakin dengan perasaanku ke cewek itu. Aku jelas perduli dengan Michelle, tapi selama ini cuma itu. Hal serumit ini, mungkin ada untungnya kalo aku bawa ke forum Men's Club.

    ***

        Hari Minggu malam itu, Men's Club ada jadwal aktifitas diluar rumah. Kami mencoba berperilaku seteratur mungkin sebagai sekelompok orang dewasa, tapi buntutnya aku ngerasa kami lebih mirip seperti segerombolan anak-anak pramuka yang kesasar.

    "Strike!" Angga melompat-lompat kegirangan, langsung putar badan dan melakukan high-five dengan Ruben. Tim mereka jago banget, sementara timku payah diluar batas nalar. Kami cuma bisa pegang bola dan melempar, tapi kalo urusan ketepatan arah... itu lain lagi.

    Ngomong-ngomong, sekarang giliranku. Kuambil satu bola hitam dan berdiri serius dengan ancang-ancang penuh. "Aku bener-bener belom siap kalo endingnya disuruh tunangan, guys."

       "Apapun yang ada hubungannya ama Michelle, kamu mana pernah siap?" Sindir Angga, mendorong pundakku.

    Ruben yang sibuk ngupil, ikut menyela. "Si Yussa kan udah punya selingkuhan, Ngga. Di kantor sukanya mojok di pentri sambil pegang hape, trus cekikikan sendiri."

    "Iya tuh." Angguk Alex. "Jadi makin sering beli baju-baju baru. Mana bayarnya masih ngutang, pake kartuku pula."

    "Kan aku udah bilang temen. Temen ya temen." Jawabku seraya melempar bola bowling seakurat mungkin, meski tetap aja berakhir di selokan.

    Ruben nyengir. "Temen kok doyan."

    Ron manggut-manggut. "Kamu udah berapa kali bolos malam Men's Club demi pergi ama temen misteriusmu itu? Dia nggak mungkin temen biasa, sampe kamu bisa tega nelantarin kami semua. Pasti cantiknya tingkat Miyabi jaman-jaman keemasan dulu, dan seksinya tingkat Aoi Sora kalo pake hak tinggi 20 cm."

    Omongan mereka. Kalo nggak masalah rokok, bokep Jepang pasti dibawa-bawa lagi.

       "Cowok! Oke?" Sahutku jengkel. "Temen misteriusku yang kalian ributin itu, cowok. Gay malah. Si Calvin."

    Kelima temanku saling menoleh. Bobi yang baru aja ambil bola dan udah niat melempar, sampe langsung tersandung dan menggelinding di lantai bareng bola pilihannya.

    Badan gembulnya baru selesai menggelinding, setelah aku dan teman-teman yang lain spontan terjun dan menarik kaosnya beramai-ramai. Begitu aman, hal pertama yang dilakukan Bobi, langsung saja mencengkeram kerah kaos bowlingku. "Aku nggak salah denger kan? Kamu beneran jadian sama si Cabin manusia pecinta sosis yang hobinya maen jarum pentul itu?!"

    "Oke, serius deh. Nggak tahu otakmu yang rusak ato kuping kamu yang budeg akut... namanya Calvin!"

    Bobi melet. "Calvin itu nama tupai cempreng di film."

    "Itu Alvin."

    "Sama aja, kan?"

    "Beda! Bedaaa!!" Kutepis tangannya di kerahku, kuusir jauh-jauh sebelum aku sendiri berdiri tegak dan menjauh. "Dan kami nggak jadian. Dia temenku. Temen baek."

    Dengan susah payah, sisa keempat anak membantu Bobi buat berdiri lagi. Si gendut itu belum nyerah juga. "Kenal gay aja udah salah, Yu, apalagi temenan. Kamu mikir apaan sih sampe bisa deket sama Cabin? Gilak apa? Gimana kalo dia chori-chori chupke-chupke ke kamu? Akhirnya kan jadi Kuch-kuch hota hai!"

    Oke... abis bokep Jepang, sekarang dia lari ke film India. Kalo nggak itu, berarti bukan Bobi. Dia pintar ngubah segala sesuatu yang kesannya sepele, jadi masalah skala perang dunia.

       "Ini bahaya, Yu..." Bobi melihat ke atas, nggak jelas apa yang sedang dia lihat. "Gimana kalo dia ngeraba-raba badan kamu? Dan gimana kalo karena kamu tolak, dia ngamuk, bunuh kamu dan memutilasi alat kelaminmu jadi gantungan buat spion mobilnya? Bayangin Yu...! Burung kamu dijadiin gantungan spion! Ditempeli manik-manik swaroski pula!"

    Sementara yang lain pasang muka tegang dengar teori konyol si Bobi, aku justru memutar bola mataku. Apa cuma aku yang waras?

        Aku memandangi muka bego temanku satu per-satu. "Calvin bukan orang seperti itu, dia temen yang baek. Lagian... aku kan nggak lagi mau bahas tentang dia! Aku butuh saran kalian tentang rencana makan malam keluargaku dan Michelle, cuma itu."

    "Cemas kami, Yu..." Ron geleng-geleng kepala.

    "Aku yang cemas sama kalian! Yakin kalian bukan alien ato makhluk mutan?!"

    "Bukan gitu..." Ron menghempaskan badan, duduk di sebelah Angga yang lebih dulu bersantai di kursi tunggu pemain. "Jangan-jangan kamu mulai menikmati kedekatanmu ama Cabin, sampe nggak sadar kalo kehidupan cintamu mulai terganggu. Aku punya tetangga yang jadi homo karena terpengaruh temannya."

    Angga ikutan mengangguk. "Homo dadakan itu mungkin lho."

    Aku menarik nafas panjang. "Tapi aku straight, guys. Aku masih bisa ereksi kalo lihat majalah bokep."

    "Emang kamu pernah baca majalah bokep?"

    "Misalnya. Misalnya sih..."

    "Kalo gitu buktiin aja." Ron jadi makin serius. "Buktiin kalo kamu emang masih normal. Datang ke acara makan malam keluargamu dan keluarga Michelle minggu depan. Dan kalo emang ada obrolan masalah pertunangan... setujui aja."

       Aku spontan diam mendengarnya, nggak bisa berkutik sama sekali mendengar tantangan yang diajukan Ron. Seperti biasa, Men's Club nggak bisa menemukan jalan keluar buat masalahku. Malam ini, mereka malah mendukung pertemuan keluarga Graha-Januar. Mereka sama sekali nggak perduli dengan kekhawatiranku. Gimana dengan perasaan Pleuvoir yang belom pernah aku alami? Apa aku harus bener-bener nyerah? Apa aku harus belajar lupa?

    ***

       Seperti kapal yang terombang-ambing di lautan, aku nggak bisa lagi menentukan arah mana yang harus diambil. Tersesat dan nggak tahu jalan pulang atau jalan pergi. Nasibku sudah ditentukan dari awal, aku harus jadi cowok sempurna yang penurut. Dan mengingat betapa senangnya Mama mendengar kabar undangan makan malam dari Pak Graha, aku pun nggak berkutik.

    Aku harus apa? Apa akhirnya emang harus seperti ini? Apa aku harus terus berjalan lurus, mendahulukan kemauan orang lain daripada mauku sendiri?

    Tapi... sebenarnya apa mauku?

    ***

       Calvin masih memegang jaketku, meletakkannya di pangkuan saat dia duduk sopan di hadapan Dokter Seno. Berada di ruangan praktik kerja dokter, dia memastikan aku masih terlalu sibuk mengomel pada timbangan berat badan yang ada di ruang tunggu. Pintu ditutupnya sedikit demi privasi. "Gimana, dokter?"

    "Ini terapi yang ketiga, kan?" Dokter Seno duduk dan mengulurkan sebuah file terbuka ke depan Calvin. "MRI sudah keluar dan saya nggak melihat ada hasil yang mengkhawatirkan. Tadinya saya pikir ini mungkin Carpal Tunnel Syndrome, tapi ternyata bukan."

    "Trus... kenapa dengan jari-jarinya?"

    "Nggak ada apa-apa."

    "Maksudnya?"

    "Itu cuma di pikirannya saja." Jawab Dokter Seno. "Dulu mungkin memang jari-jarinya nggak bisa berfungsi normal karena luka kecelakaan, tapi itu lamaaa sekali sebelum jaringan baru dan kedewasaan menyembuhkan semuanya. Jadi... dia nggak apa-apa, cuma belum terbiasa saja. Pikirannya masih terjebak di trauma kecelakaan itu. Dengan terapi dan dukungan, dia bisa pulih."

       Mendengar kabar melegakan, Calvin berterima-kasih berkali-kali pada Dokter Seno sebelum meninggalkan ruangan. Dia lalu menghampiriku yang berdiri bosan menunggunya. "Aku nambah berat badan karena masakanmu. Masa' naik tiga kilo? Mulai besok aku diet." Sapaku sambil garuk-garuk mata.

    Calvin memberikan jaket jeansku. "Mau diantar pulang langsung, atau masih mau mampir?"

    "Mampir ke Pleuvoir dulu."

    "Pleuvoir? Kenapa?"

    "Anu... mau cari jas."

    "Udah aku bilang, nggak usah beli. Tapi buat acara apa?"

    "Makan malam..." Jawabku ragu-ragu, nggak jelas juga kenapa aku menelan ludah dan berkedip canggung saat menjawab pertanyaannya. "Pak Graha ngundang aku sama Mama untuk makan malam di rumahnya, lima hari lagi. Ada kemungkinan mau bahas masalah pertunangan."

    Calvin diam, nggak bereaksi. Ada sesuatu yang spontan tersirat di raut mukanya, yang aku sendiri nggak tahu apa artinya. Dia cuma berdiri disitu selama beberapa detik, mematung dengan kepala berat. Dia butuh waktu mengumpulkan kesadarannya dan kembali memaksakan diri buat tersenyum memandangku. "Oh... oke."

    Oke? Maksudnya apa? Oke untuk apa? Dia setuju aku mau tunangan?

    ***

       Di parkiran, di dalam mobil dan di sepanjang perjalanan... Calvin terus aja diem. Matanya memandang fokus ke depan, tapi aku punya perasaan kalo otaknya lagi melayang kemana-mana. Daripada mengganggunya, aku lebih memilih pura-pura sibuk sendiri. Kuraba-raba setiap detail barang-barang mahal yang dipasang di dalam Chevrolet Camaro milik Calvin. Kursi, jendela, dashboardnya, bahkan lobang ACnya...

    Sampe di Pleuvoir dengan suasana kaku. Dan meski moodnya jelas jelek, tapi Calvin tetap saja dengan sabar menunggu jalanku yang selambat keong. Dia juga membukakan pintu butik buatku dan menuntunku masuk ke kantor pribadinya, meninggalkan beberapa karyawan butik yang repot menangani pelanggan. Begitu di dalam, dia langsung sibuk sendiri menyiapkan peralatan mengukur.

    "Cal..."

    "Kita ukur sekarang ya?"

    "Calvin..."

    "Yussa, diem." Ekspresi Calvin mengeras, menatapku langsung ke mataku dan seperti memberi perintah jelas tanpa perlu mengucap kata-kata lebih banyak. "Mulai dari lingkar leher. Berdiri tegak."

    Nggak ada pilihan selain menurut, aku pun berdiri dengan tegak dan membiarkan cowok jangkung itu mengukurku.

       Bau ini...

    Aroma badan Calvin tercium pekat, merayu dan menyiksa hidung secara bersamaan. Ini parfum favoritnya Calvin, One Million- Paco Rabanne. Ada sekilas kayu, rempah, mawar dan rasa rendah hati yang bercampur... merefleksikan sosok si penggunanya dengan sempurna banget. Kalo dihirup lama-lama, bisa bikin kepala pusing dan kaki serasa melayang dari lantai. Satu inchi... dua inchi...

    "Dua tangannya dibuka dulu, Yu. Aku mau ngukur lingkar pinggang." Tegur Calvin, mengembalikan lagi posisi otakku yang sempet miring.

    Tapi sekarang jadi lebih parah lagi. Calvin mengambil satu langkah lebih dekat, dan praktisnya hampir aja nempel ke badanku. Kedua tangannya memegang pinggangku, mengukurnya dengan hati-hati banget dengan meteran jahit. Aku bisa saja jatuh pingsan karena gugup, kalo nggak buru-buru berpegangan di lengannya.

    Calvin melirik ke depan, dengan mata yang setara tinggi dengan alisku. "Kenapa?"

    "Kk... kenapa apanya?"

    "Kenapa pegangan?"

    "Ini hehe, mau jatoh. Licin lantainya."

    Alasan yang aneh memang, tapi Calvin sepertinya nggak terlalu ambil pusing dan melanjutkan pekerjaannya dengan santai.

       Ini orang tinggi banget ya, aku terpaksa sedikit mendongak buat bisa mengamati wajahnya. Kulit semua. Mataku... dipenuhi pemandangan kulit kuning langsatnya.

    Silau... tapi aku nggak rela berkedip, nggak bahkan sekali pun.

    Deg... deg... deg deg deg deg... jantung tololku, berdetak seperti balap marathon. Lebih kencang sedikit lagi, mungkin udah bisa mencelat keluar dan keinjek kaki. Kedengaran nggak ya?

    "Selesai..." Setelah beberapa lama ngukur, akhirnya Calvin bergerak mundur dan menjauh dariku. Sambil merapikan peralatan mengukurnya, dia duduk bersandar di meja kerjanya. "Kalo aku dan anak-anak lembur, jasmu bisa kelar sebelom makan malam di rumah Om Graha."

    Anak-anak... karyawannya maksudnya? Aku menyeret kursi empuk kantornya dan duduk disana dengan dua kaki dilurusin. "Kan jas bisa disewa aja. Nggak perlu pake diukur dari awal segala."

    "Acara sepenting itu, masa' pake baju sewaan?"

    "Penting buat mereka, buat aku nggak."

    "Penting buat kamu."

    Calvin memandangku dengan jengkel. "Kalo memang ada pertunangan, itu artinya komitmen. Kamu musti belajar serius, ini bukan cuma tentang kamu, ini hidup Michelle juga."

       Aku berdecak protes. "Pusing kepalaku kalo ngomongin yang serius gitu. Kenapa kita nggak ngomongin yang lebih santai? Kek... enaknya abis gini makan dimana? Ato kamu ke rumahku lagi aja? Kamu yang belanja lagi, yang masak lagi."

    "Hari ini nggak bisa."

    "Kenapa? Sibuk ya? Kalo gitu besok."

    "Besok juga nggak."

    "Hah? Trus kapan? Lusa?"

    "Yussa..." Calvin memelan. "Karena kamu mau tunangan sama Michelle, aku pengen kita sementara nggak ketemu dulu."

    "Kenapa?" Tanyaku panik, diikuti dengan alis yang naik dan dahi yang mengerut kuat. "Karena kamu mau ngelembur jasku? Ya udah, nggak usah! Dibilangin, aku sewa aja biar kamu nggak perlu repot-repot. Ngapain aku pake jas baru, kalo akhirnya malah nggak bisa makan siang bareng kamu? Pokoknya besok harus ketemu."

    Mulut Calvin diam terkunci, kehabisan kata-kata buat menolak atau membela diri. Dia cuma membuang muka sembari beranjak dari mejanya, berjalan ke arah pintu.

    ***

       Aku menguntitnya keluar dari kantor, tapi berpisah di tengah ruangan karena dia lebih memilih menghampiri para karyawannya. Dikumpulkannya mereka semua, diberi briefing singkat tentang segala sesuatu buat keperluan jas pesananku. Ribet banget dah.

    Eh? Aku menoleh ke arah jendela dan dibuat kaget dengan gerimis yang datang gitu aja. Kapan mendungnya?

    Genangan air yang semula membasahi area parkiran Pleuvoir, sekarang udah rata menutupi aspal disana. Gerimis juga dengan cepat jadi hujan deras yang membuat kedap suara di sekitar. Kalo hujannya sederas ini, artinya siang ini aku terjebak di Pleuvoir.

       Setelah kelar urusannya, Calvin berjalan menghampiri dan duduk di dekat jendela butik, tepat disebelahku. Mata coklatnya ikut mengamati riak-riak air diluar. "Hujannya deres, kita nggak usah keluar ya? Makan siangnya delivery aja."

    "Terserah."

    "Yang kering ato yang berkuah?"

    "Terserah." Jawabku lagi dengan singkat. "Pokoknya makan sama kamu. Besok juga harus makan siang sama kamu lagi. Besoknya besok juga. Besoknya besok besok juga."

    Calvin tertawa kecil, mencubit hidungku dengan dua jarinya.

    Mengalihkan topik pembicaraan, dia trus lebih kelihatan konsentrasi ke pemandangan hujan deras diluar butik. "Dulu... pas masih tinggal sama keluargaku, aku sering seperti ini. Duduk di dekat jendela ruang tamu, ngelihatin hujan di halaman." Ujarnya, bercerita lagi tentang masa lalu dia rindukan. "Dua adekku, selalu aja memaksaku lari keluar rumah. Maen hujan-hujanan di jalan. Tertawa ngakak, teriak nggak jelas, nendang air kemana-mana, berdiri dan diguyur pipa genteng, renang di kubangan kotor, trus jatoh dan lecet. Waktu itu, rasanya... ajaib."

    Wajahnya serius banget saat bercerita. Ini pertama kali aku mendengarnya bicara panjang tentang keluarganya, yang hampir nggak pernah dia sebut karena trauma masa lalu. Trauma yang aku harus tahu.

    "Kapan terakhir kali kamu ketemu mereka?" Celetukku.

       Calvin menoleh. "Tujuh? Delapan tahun? Udah lupa... dulu aku diusir begitu mengaku gay. Sejak itu aku lebih memilih hidup jauh, meski tiap bulannya aku coba mengirim separoh gajiku buat bantu pendidikan adek-adek dan keperluan keluarga."

    Telinga dan mataku fokus terus sama cerita hidup Calvin, tapi kenapa tanganku jadi pengen ngelus-elus rambutnya ya?

    "Aku sering kangen mereka. Kangen makan bareng, ketawa bareng dan kebingungan bareng sama masalah keluarga. Tapi aku juga tahu kalo mereka nggak akan bisa melihatku secara sama lagi. Di mata mereka, aku ini cuma sebuah kesalahan yang kotor dan menjijikkan..."

    Apa boleh? Boleh nggak membelai rambutnya sekali aja? Aku pengen merasakan apa yang dia rasakan sekarang ini, pengen meresapi kesedihan yang udah dipendamnya sampe selama ini.

    "Hei..." Bisikku, menyita perhatiannya. Calvin menoleh memandangku, membaca perhatian yang tersimpan di pandangan mataku. "Buat aku, kamu bukan kesalahan sama sekali. Kamu sebenar-benarnya... kamu sebetul-betulnya..."

       Mendengarku menghiburnya, Calvin tersenyum. Dia mengangguk pelan, seolah ngerti apa maksud mau aku sampaikan. "Udah nggak pa-pa kok. Duduk disini ngelihatin hujan sama kamu, cukup bisa gantiin tahun-tahun jauh dari mereka. Asal bisa deket sama kamu, aku nggak pa-pa..."

    Hujan diluar makin deras, makin berat, bersamaan dengan ikatan persahabatanku dengan Calvin yang menguat dan terasa makin nggak jelas batasnya. Tenagaku melemah buat melawan, hatiku juga. Sesuatu dalam kedekatan kami siang itu, yang dengan ajaib membuat udara musim hujan yang seharusnya dingin... mendadak terasa hangat. Kehangatannya sampe merasuk ke setiap pori-pori kulitku.

    Perlahan, aku tersadar. Saat-saat seperti inilah, yang selama ini selalu aku pengen alami. Saat yang mungkin sederhana, tapi berkesan dan berarti. Saat yang belum pernah aku alami dan rasa sebelumnya. Baik dengan Michelle, teman-teman atau orang lain.

    ***

       Masih aku ingat muka merah Pak Graha yang seperti bokong Babon, waktu dengar aku nekad ambil cuti tiga hari. Si botak itu pasti stress karena nggak punya korban untuk diajak minum kopi sambil dibentak-bentak. Sebagai pelampiasan, dia mungkin akan mencoba menggantikanku dengan Ruben. Kalo Ruben cukup sial.

    Aku ambil cuti karena sebuah alasan penting. Sebelum aku datang ke makan-malam keramat yang mungkin menentukan nasib kehidupan asmaraku, aku putuskan buat menjalani sisa hidup lajangku jadi manusia yang berguna. Saat ini aku mau melakukan sesuatu yang berarti buat orang lain, dan hal itu sudah aku rencanakan matang-matang. Aku sendiri nggak percaya bisa melakukannya, tapi... kita lihat aja nanti.

        "Ii... ini dimana?" Tanya Calvin, menoleh kanan-kiri dan mencoba cari tahu lewat suara. "Yussa, kita masuk tol, ya? Ini mau kemana sih? Pake acara tutup mata segala..."

    Sambil nyetir, aku cekikikan sendiri. "Kamu sedang diculik."

    "Jangan bercanda deh, pekerjaanku masih banyak."

    "Kan desainnya udah digarap karyawanmu."

    "Iya, tapi..."

       "Diem." Kusela omelannya. "Bentar lagi nyampe. Kita pokoknya mau pergi ke tempat favoritmu sepanjang masa."

    "Dufan?"

    "Ngapain ngajak kamu ke Dufan? Mo maen Bom-Bom Car?"

    "Mall?"

    "Neraka belom buka pagi-pagi gini."

    "Hotel?"

    "Hah...?" Aku noleh, spontan menjitak kepalanya. "Aku turunin kamu di tengah jalan biar dimakan wewe gombel, baru tau rasa!"

    Aku memilih mengacuhkan pertanyaan demi pertanyaan konyol yang diucapkannya di sepanjang perjalanan. Untungnya setelah melalui beberapa kilometer, Calvin capek sendiri dan ketiduran. Bahkan ketika sudah sampe di tempat tujuan, si muka pucat itu masih juga pulas di jok depan.

    ***

       Sebuah pagar besar bercat putih terbuka lebar-lebar begitu mobilku mendekat, seolah pemilik rumah sudah tahu kalau aku mau datang. Mobil kusetir masuk, melalui beberapa pepohonan cemara raksasa juga rerumputan yang terpangkas rapi dan memadati pekarangan. Melihat sekeliling, aku nggak bisa berkata apa-apa lagi kecuali... wow...

    Kebun depan yang luas, dengan sebuah rumah gede dua lantai yang didekor menyerupai rumah-rumah jaman dulu. Tempatnya agak jauh dari perumahan penduduk lain, dan justru cenderung dekat dengan hutan kecil yang mengitar seperti lingkaran.

    Seperti rumah yang terpencil dan terabaikan, tapi terlihat super nyaman. Mawar bermekaran disana-sini, warna-warninya menyolok mata dan menentramkan hati. Di ujung kebun ada sebuah gazebo yang berhiaskan tanaman anggrek berbunga yang merambat, sementara di tengahnya dipasang ayunan dari ban bekas yang di-cat merah muda terang.

    Sungguh rumah yang cantik dan hangat banget, mirip dengan kepribadian Calvin. Dan disana... di teras rumah, berdiri satu keluarga yang sedang menunggu kedatangan kami. Seorang wanita paruh baya tampak menangis tersedu-sedu meski wajahnya menyungging senyum lebar. Begitu melihatku turun dari mobil, beliau-lah orang pertama yang langsung melambaikan tangan setinggi mungkin untuk menyambut.

   Rumah ini, adalah rumah Calvin. Dan keluarga disana itu, adalah keluarga Calvin. Sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu bahkan sebelum Calvin curhat tentang keluarganya, aku lebih dulu mencari tahu. Dengan nekad tanya sana-sini, akhirnya aku bisa juga dapat informasi tentang nomor telfon dan alamat rumah. Orang yang pertama komunikasi denganku adalah Mamanya, dan diluar dugaan ternyata wanita itu sama cengengnya seperti Mamaku. Di telfon dia menjelaskan tentang penyesalan dan rasa kangen seisi keluarga pada Calvin.

Itu yang membuatku yakin, kalau ini adalah saat yang pas untuk mempertemukan Calvin dan keluarganya. Agar mereka bisa saling ketemu dan meluruskan semua permasalahan.

   Aku membantu Calvin yang baru bangun tidur, untuk turun dari mobil dan berjalan pelan menuju ke teras rumah. Dengan nada bingung, cowok yang siang itu memakai kemeja biru garis-garis itu, terus bertanya. "Yu, aku cape. Ini kita dimana? Sampe kapan mau maen-maen terus?"

"Bentar."

"Tutup matanya boleh dibuka sekarang, nggak?"

"Boleh..." Aku menggumam dan membantunya melepas ikatan kain yang menutupi kedua mata.

*

   Calvin membuka mata pelan-pelan, melawan terik matahari siang yang datang tanpa permisi. Dia menyipitkan mata untuk menatap ke orang-orang yang berdiri beberapa meter di depan, ke wajah-wajah yang dalam hitungan detik mulai tampak familiar. Rumah itu juga, kebun itu juga... semua dia kenal dengan baik.

"Calvin..." Wanita cantik yang nggak bisa berhenti menangis tadi, melangkah terbata-bata menghampiri Calvin. Dia nggak bisa lagi berjauhan dari putra tersayangnya, yang sudah menghilang selama bertahun-tahun. "Calvin..."

Calvin terdiam di tempat, mematung dengan mulut terkunci rapat. Badannya seperti beku dan waktu berhenti seketika. Satu-satunya yang terasa cuma beratnya nafas dan sakit yang menyayat sampe ke ulu hati. Begitu wanita tadi memeluknya, menyandarkan kepala di dadanya dan merangkul erat badannya...

Dia memandang dengan bibir gemetar. "Ma... Mama..."

   Tangan Calvin terangkat buat membalas pelukan Mamanya, menunduk dan menahan tangis yang terisak-isak. Didekapnya wanita itu dengan erat, seolah enggan melepasnya untuk alasan apapun. Aku memilih untuk mundur beberapa langkah dan membiarkan anggota keluarga yang lain, menyusul untuk memberi Calvin pelukan secara bergantian. Semua terlihat kangen dengan Calvin, bahkan termasuk Papanya yang dulu jadi pembenci nomor satu. Suasana siang itu, dipenuhi dengan tangis haru dan juga perasaan yang lega. Tujuh tahun lebih, bukan waktu yang singkat. Tapi mereka akan bisa mengejar ketinggalan dengan pelan-pelan.

***

   "Sini kamu." Tegur Pak Liem, memanggilku saat seluruh anggota keluarganya sedang berkumpul di ruang tengah untuk lepas kangen. Aku yang sedang nongkrong sendiri selepas parkir mobil, otomatis jadi korban. Mau apa orang itu? Mau ceramahkah?

Serasa dipanggil Pak Graha deh. Mana auranya sama pula. Bedanya cuma... yang ini Papanya Calvin dan yang sana Papanya Michelle. Yang ini punya rambut dan yang sana botak. Yang ini perokok aktif dan yang sana peminum kopi kelas kakap.

   Beliau ngomong-ngomong, berhenti di gazebo kebun dan duduk santai dengan rokok kreteknya yang makin lama makin pendek.

Aku berdiri di ujung, memilih duduk di batas penyangga biar gampang kabur kalo-kalo orang itu mulai ngomel. Diperhatikan sekilas, Pak Liem memang terlihat galak. Badannya tinggi seperti Calvin, tapi jauh lebih kurus dengan dekorasi kumis lele di atas bibir tipisnya yang berwarna kecoklatan karena terlalu banyak merokok. Gantengnya Calvin pasti dapet dari Mamanya, bukan dari orang ini.

"Makasih..." Ujarnya. "Udah bawa Calvin pulang."

Eh?

Pria berkaos Polo polos itu menghisap rokoknya satu kali, sebelum mulai bicara lagi. "Aku masih belum paham kenapa Calvin bisa jadi seperti itu, dan mungkin sampe kapanpun nggak akan bisa paham. Tapi dia anakku, dan aku mau dia dekat dengan keluarga. Aku pukul atau marahi, tapi aku Papanya sendiri, jadi aku tahu batas. Aku nggak rela kalo harus orang lain yang melukai anakku..."

Mendengar omongan Pak Liem, aku pun spontan merubah jalan pikiranku. Beliau, mungkin nggak seserem kelihatannya.

Dari tatapan mata dan helaan nafas, terlihat banget kalo dia benar-benar menyesali tindakan masa lalunya dan perduli tentang keselamatan Calvin.

   "Coba aja ngobrol ama Calvin, Om..." Ujarku, memberanikan diri untuk bicara dan membuatnya menoleh. "Kalo ngobrolnya santai, pasti bisa lebih ngerti. Kualitasnya sebagai manusia, sama sekali nggak ditentukan dari orientasi seksualnya. Om dan Tante bukan orang-tua yang gagal kok. Buktinya Calvin sekarang jadi orang yang pinter, sukses dan baek banget."

Pak Liem mengangguk. "Aku baru ngerti itu setelah dia jauh."

"Sekarang dia deket, kan?"

"Karena kamu."

"Ehehehe..."

   Pak Liem beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat. Dia berhenti sebentar di depanku. "Siapa namamu? Mamanya anak-anak udah kasih tahu, tapi aku kok gampang lupa..."

Aku menunduk penuh hormat. "Yussa, Om."

"Yussa ya..." Beliau manggut-manggut seraya menepuk pundakku, sebelum berjalan pergi melewatiku. "Kamu calon istri yang baik..."

Aku diam sebentar. Otak goblokku berusaha meresapi maksud omongan barusan. Butuh waktu beberapa detik sampe mataku melotot dan kepalaku otomatis menoleh kebelakang. "Ma...maksudnya apa, Om?! Ss... saya bukan! Bukan saya! Om!"

***

   Terlepas tanggapan salah Pak Liem, atau Om Liem sekarang aku panggilnya, suasana di rumah Calvin terasa begitu hangat setelah kepulangannya. Mereka merayakannya dengan cara sederhana, makan siang rame-rame dan mengisi obrolan dengan cerita mengenai pengalaman-pengalaman hidup yang terlewatkan. Dalam waktu singkat, aku pun jadi kenal masing-masing dari anggota keluarga Calvin.

Selain Om Liem dan istrinya, ada juga Fay, anak pertama sekaligus kakak perempuan Calvin. Fay nggak tinggal lagi dengan mereka karena sudah menikah beberapa tahun yang lalu, dan sekarang tinggal dengan suaminya di rumah yang nggak seberapa jauh dari kedua orang-tuanya. Siang itu Fay datang dengan Bagas suaminya, dan juga balita cantik mereka- Claritta.

Ada Leah, adik perempuan Calvin yang jadi pebisnis EO dan kadang pulang saat akhir pekan. Trus yang paling bontot... ada Nicholas, atau yang biasa dipanggil Nicky. Masih anak SMA dan sudah jelas mewarisi kegantengan Calvin. Kulit putih, rambut lurus, badan tinggi dan muka manis... semua level dewa.

Kalo dipikir-pikir lagi, mungkin aku yang paling jelek disini. Paling jelek dan paling nggak modis.

   Asyik melamun, aku sampe nggak sadar kalo Calvin ternyata sedang memandangiku yang duduk disebelahnya. Aku buru-buru menoleh dan meringis lebar. "Enak sayurnya... masakan Mamamu lebih enak dibanding masakanmu. Soalnya kadang kalo makan masakanmu, aku sering nemu sobekan bungkus Masako di dalam kuah. Hehehe..."

Calvin tersenyum geli, mengangkat tangan untuk menyisir poni lemparku dengan jari-jarinya. "Makasih. Udah mau repot ngatur semua ini buat aku. Kek mimpi, terlalu bagus buat jadi nyata."

Aku manggut-manggut. "Berarti seneng, kan?"

"Seneng."

"Seneng apa?"

"Seneng sama reuni ini." Jawab Calvin. "Seneng sama kamu..."

   "Ko!" Nicky mukul sendoknya ke piring, alhasil menciptakan suara nyaring yang bikin kuping pekak. Si bungsu itu melirik kakaknya sendiri dengan judes, trus melirikku lebih judes lagi seperti benci banget. "Kalo lagi makan, ga boleh pacaran."

Mataku melotot. "Ss... siapa yang pacaran? Aku ii..."

"Nicky, yang sopan dong." Tante Liem menyela ucapanku dan mengelus kepala anak cowoknya dengan lembut. "Kak Yussa yang udah berjasa bawa pulang Kokomu ke rumah ini, kumpul sama kita lagi. Meskipun mereka belum boleh menikah secara resmi, tapi mulai hari ini... dia sudah jadi bagian dari keluarga kita."

Aa...apa-apaan sih?! Menikah? Siapa yang belom boleh nikah? Sementara aku menoleh kanan-kiri dengan panik, si Calvin malah keasyikan tertawa ngakak sendiri mendengar ocehan Mama dan adiknya. Sepertinya seisi keluarga udah salah paham semua. Tapi... gimana cara meluruskannya, ya?

***

   Membuka pintu kamarnya untukku, Calvin membiarkan aku masuk lebih dulu sebelum menyusul. Aku meletakkan tasku di lantai, langsung tertarik dengan isi kamar Calvin. Kamar luas itu bener-bener minimalis, cuma diisi dengan perabot penting seperti tempat tidur, lemari pakaian, meja belajar, sofa jari dan sebuah rak yang dipenuhi buku-buku juga foto-foto Calvin semasa kecil.

"Wah! Ini lukisan kamu waktu masih TK, kan? Ngelukis apa? Kebo ya? Jelek banget, corat-coret kok dipajang sih?" Ejekku sambil menuding sebuah lukisan gede yang di-frame dan dipajang di tengah dinding kamar.

Calvin menutup pintu dengan senyum simpul. "Itu replika Picasso. Bukannya kamu tahu juga tentang lukisan?"

"Lho... masa'? Kok belom pernah lihat yang ini ya..." Kuputar kepalaku sendiri. Deh... bego banget sih! Masa' mantan pianis, nggak bisa bedain mana lukisan replika Picasso ama gambar kebo?

   Sebodo. Aku langsung disibukkan mengagumi foto-foto masa kecil Calvin yang lucu-lucu. Tapi dari kecil, gantengnya emang udah kelihatan. Dari kecil sudah menonjol dan sempurna.

"Aku udah telfon anak-anak di Pleuvoir, mereka kusuruh lembur ngerjain setelanmu. Begitu kita pulang darisini, sisanya baru aku yang pegang sendiri." Calvin melepas lelah dengan duduk santai di kasurnya. "Mama minta kita nginep dua malam disini. Aku udah nolak, tapi dia maksa."

Aku tetap aja pegang-pegang foto Calvin. "Takut ngilang lagi kali."

"Kamu nginep juga. Tidur disini sama aku."

"Hah?" Perhatianku baru teralihkan. "Nggak ada kamar tamu?"

"Dulu ada, tapi sekarang jadi gudang."

"Tapi ini... kasurnya cuma ada satu."

"Emang kenapa?" Calvin menatapku dengan kepala dimiringkan dan ekspresi tersinggung. "Kalo emang takut ama aku, ntar malem kamu taroh aja guling di tengah-tengah. Setiap aku pegang kulit kamu dikit, kamu boleh mukul mukaku."

   Aku dibuatnya diem. "Tapi aku nggak mau mukul kamu..."

Calvin berbaring di kasur, memejamkan mata dan menopang kepalanya dengan dua tangan. "Tapi awas ya? Kalo kamu yang pegang kulit aku, aku bakal cium kamu. Sekali pegang, sekali cipok..."

Mukaku nyengir sendiri dengernya. "Kampret. Calvin kampret."

***

   Jadi... begini ini rasanya hidup dengan keluarga lengkap? Karena Papa meninggal sudah lama dan aku juga anak tunggal di keluarga, aku nggak pernah mengalami situasi serame seperti ini dalam satu rumah. Menjelang makan-malam, semua serba gotong-royong menyelesaikan tugasnya sendiri-sendiri. Bahkan Calvin yang baru saja pulang setelah ngilang bertahun-tahun pun, seolah hafal dengan kewajibannya.

Aku... kebagian tugas menyiapkan meja bareng Nicky. Mengatur letak piring, mangkok, gelas, sendok dan garpu.

Itu sebelum Nicky melirikku dengan cengiran licik, sembari menjatuhkan satu sendok dengan sengaja. "Maa! Istrinya Koko jatuhin sendok kesayangan Mama!!"

   Hah? Apa? Sendok apa? Aku buru-buru menoleh ke Tante Liem dan menggeleng-gelengkan kepalaku panik. "Nggak kok Tan, bbu... bukan saya..."

"Maa!! Sendoknya diinjek-injek!"

"Siapa yang nginjek sendok?!"

"Kakinya kotor Maaa!"

"Diem, anak celeng!"

"Maaa! Mama dikatain celeng!"

Salah apa aku sampe harus berhadapan dengan bocah sebengal ini? Yakin ini adek Calvin?

    Beruntung banget saat makan-malam kami duduk berjauhan. Aku dan adek Calvin satu itu, nggak ada cocok-cocoknya sama sekali. Muka gantengnya, jauh berbanding terbalik dengan sifatnya yang seperti iblis. Aku lebih memilih konsentrasi dengan obrolan hangat Om dan Tante Liem tentang kelucuan-kelucuan Calvin saat masih remaja. Menu makanan yang enak, pembicaraan yang seru, orang-orang yang ramah dan Calvin di sebelahku...

Makan-malam seperti ini yang aku mau.

***

    Selesai makan-malam, sementara yang lain berkumpul di ruang tengah, Calvin malah mengajakku lebih masuk lagi ke bagian rumahnya. Rumah ini luas banget, jarak satu ujung ke ujung lain terasa jauh dan lumayan buat olah raga betis. Calvin baru berhenti ketika sampe di sebuah ruangan dengan pintu ukiran, yang di-cat merah menyala. Dibukanya pintu perlahan-lahan. "Ini dulu tempat latihan Om Wijaya, adeknya Papa."

"Latihan apa?"

"Lihat sendiri..."

Begitu pintu dibuka dan begitu mataku bisa melihat ke dalam, aku dikejutkan dengan sebuah Grand Piano hitam yang ada di tengah ruangan. Tertutup kain putih... beraromakan debu...

Calvin menggumam. "Setelah Om meninggal karena kanker, piano ini ditinggalkan disini. Buat kenang-kenangan."

"Almarhum Om kamu... pianis?"

"Bukan ahli. Cuma hobi."

"Apa ada keluargamu yang laen, yang bisa maen piano?"

"Nggak ada." Jawab Calvin seraya menarik kain putih penutup pianonya, melipat rapi dan meletakkannya di pojok ruangan. Dia meraih tangan kananku, menariknya dan memintaku untuk duduk di kursi piano. "Coba main."

    Aku menoleh. "Nggak bisa..."

"Bisa. Dicoba dulu, kamu udah ikut terapi kan?"

"Tapi baru beberapa kali."

"Itu udah cukup."

***

"Sini..." Calvin duduk disebelahku, di kursi piano yang sempit dan mengambil kedua tanganku. Dengan lembut, dia mengusap-usap dan memberi pijatan untuk telapak juga jari-jariku. "Mulai dengan lagu yang paling sederhana. Lagu yang manis."

"Yamko Rambe Yamko?"

"Jangan lagu daerah."

"Balonku ada lima?"

"Jangan lagu TK."

"Trus lagu apa dong?"

"Lagu buat aku." Calvin membuka piano, lalu meletakkan kedua tanganku di atas tutsnya. "Mainkan lagu buat aku. Cari satu lagu di pikiranmu, lagu sederhana yang cocok buat aku."

        Terlalu sering memainkan lagu klasik, membuatku kurang referensi lagu-lagu modern. Tapi melihat keseriusan Calvin dalam membantuku kembali ke piano, otakku dengan cepat mencari dan menemukan satu lagu yang paling sesuai dengan mood. Lagu ini... mungkin tepat untuk Calvin. Bukan mungkin. Pasti.

"Samick..." Bisikku, meneliti Grand Piano hitam yang menyita minatku seperti mesin udara. Ujung jari-jariku yang menyentuh tuts piano, perlahan membuat tekanan ringan dan menciptakan suara nyaring dari satu nada balok. Satu nada... dua nada... disusul dengan serentetan nada dan membentuk alunan bait lagu.

Bisa... aku bisa main lagi meski masih terbata-bata. Ada sumbang disana-sini, tapi lagunya cukup bisa didengar telinga. Calvin yang duduk disebelah, terus memandangi gerakan jari-jariku dengan senyum bangga. Senyuman lebar yang seiring dengan menit permainan pianoku, perlahan-lahan menghilang dan berubah menjadi ekspresi serius. Sekarang matanya, hanya bisa terfokus pada wajahku, menyisir detail porsi mata, hidung dan bibirku.

   Jari telunjukku reflek jadi tegang dan kaku, membuatku buru-buru berhenti melanjutkan permainan pianoku. Betapapun keras aku berusaha menetralkannya lagi, tapi jariku terlanjur gemetaran. Aku menatap Calvin sambil meringis kikkuk. "Sori... nggak bisa lagi..." Ujarku serba salah karena menghentikan permainan piano di tengah jalan. "Udah ya? Segitu aja dulu."     

Calvin mengangguk pelan, kembali lagi meraih jari-jariku dan memegangnya. Disembunyikan kedua tanganku, dilindunginya di dalam kedua tangannya yang kuat dan hangat. "Tadi... lagunya Des'ree, kan?"

Aku manggut-manggut. "Iya."

"Apa judulnya?"

"I'm Kissing You."

"Kenapa pilih lagu itu?"

"Anu..." Mulutku cedut-cedut sendiri. "Nggak tahu..."

Liriknya, pasti sudah buat Calvin curiga. Jangankan liriknya, dari judul saja sudah benar-benar aneh kalau harus ditujukan untuk dia. Tapi mau gimana lagi? Sudah terlanjur.

Mata Calvin nggak bisa berhenti memandangi mukaku, membaca setiap ekspresi yang tersirat. Pipiku menebal tanpa alasan, jadi perih dan memerah seperti tomat matang. Karena gugup, aku memilih menunduk dan menghindari kontak mata.

    "Begitu sampe disini, keluargaku udah salah paham tentang hubungan kita. Anehnya... sampe sekarang baik aku atau kamu, belom ada yang meluruskan salah paham itu. Dan aku nggak mau tanya kenapa, atau cari tahu kenapa." Ujar Calvin panjang lebar dengan suara seraknya yang makin berat dan pelan.

Dan dia terus saja bicara, tanpa memperdulikan raut mukaku yang sudah amburadul. Calvin yang biasanya nggak terlalu ekspresif, malam itu malah mengungkapkan isi pikirannya dengan gamblang. "Kalo boleh... aku pengen tetap melanjutkan salah paham ini. Sisa satu hari disini, mulai besok, di depan keluargaku... aku mau kamu tetap dianggap sebagai pacarku."

"Hah? Apaan sih?"

"Aku serius."

"Tapi aku bukan gay, dan aku bukan pacarmu..." Selaku.

"Satu hari aja." Dia balas menyela, dengan mata dan suara yang penuh keputus-asaan. "Satu hari dan udah. Satu hari dan kamu nanti bisa kembali ke Michelle dan rencana pertunangan kalian. Aku cuma minta satu hari memiliki kamu, dan dimiliki sama kamu."

   Apa ada alasan buatku menolak permintaan Calvin? Melihat dia memelas seperti ini, aku jadi nggak tega sendiri. Lagipula, ini Calvin. Dia bukan orang yang kurang ajar atau orang yang akan mau menanggung resiko membuat hidupku rusak. Bukan. Jadi apa salahnya setuju jadi pacarnya selama sehari? Apa sih hasil paling parah selain cuma nambah pengalaman? Toh setelah ini aku juga akan langsung pulang dan melanjutkan hubunganku dengan Michelle, kan?

Cuma sehari aja, nggak akan ada hal-hal yang aneh kan?

    "Yussa..." Panggil Calvin.

Aku mengangkat kepalaku dan memberanikan diri memandang langsung ke dalam mata tajamnya. "Hmm..."

"Yussa Januar."

"Apa..."

"Mau kan, jadi pacarku?" Bisik Calvin. "Mau ya?"

Dengan pikiran yang pusing karena terlalu hanyut dalam suasana aneh malam itu dan karena wajah sempurna Calvin yang memenuhi pandangan mataku, aku membiarkan otak dan hatiku menyerah. Perlahan, di antara sisa alunan piano dan jantung bodoh yang nggak mau berhenti berdegup kencang, aku pun menggerakkan kepalaku untuk mengangguk lirih. "Mau..."

***

Bab 5. Mal de Mer

          Mau??

Mikir apaan aku? Ngapain bilang mau, coba? Kalo bukan gay, meski demi alasan kasihan dan penasaran... kenapa sampe sejauh itu aku bilang mau atas usulan Calvin untuk jadian selama sehari? Sekarang sudah telat. Setelah keluar dari ruang piano dan masuk ke kamar tidur, aku tahu semua sudah telat bin terlambat. Ini nggak lain nggak bukan, karena salah mulutku yang asal jawab.

     Duduk di kasur empuk kamar Calvin, mataku terus kedip-kedip seperti orang kesetanan, gugup sendiri. Tanganku meremas-remas guling dan kakiku gerak jalan di tempat, sama sekali nggak bisa diem.

Pintu kamar mandi mendadak dibuka dari dalam.

"Eh curut!" Badanku agak sedikit meloncat.

"Mana ada curut, Yu?" Calvin keluar dari kamar mandi sambil geleng-geleng kepala. Dia mengenakan dua handuk putih, satu sedang dipakainya untuk kibas-kibas rambut dan satunya membalut menutupi badan sebatas pinggang bawah. Sisanya... wurrr terekspose nyata. Malam ini pertama kalinya aku melihat badan Calvin. Dada dan lengan dan perut, kulit semua. Kulitnya mulus dan terang seperti bohlam yang baru dibeli dari toko listrik.

"Ka... kamu ngapain nggak pake baju?" Tanyaku grogi.

"Kan abis mandi. Masa' mandi pake jas hujan?"

     "Ya udah kalo gitu... bb...buruan pake baju sana."

"Kenapa?"

"Mma... masuk angin ntar."

"Kan ACnya dimatiin."

"Pokoknya pake kaos ato apa kek! Sakit mataku ini!"

Melihatku mengomel, Calvin malah tertawa. Dia membuka lemari pakaian dan mengeluarkan kaos sama boxers. "Ganti juga gih."

Aku buru-buru menggeleng. "Nggak usah makasih."

"Mau dipake sampe kapan bajumu itu?"

"Masih wangi kok."

     Aku memandang bingung waktu Calvin menutup pintu lemari lagi dan bersiap ganti baju. "Kamu mau ganti disini?"

"Mau dimana lagi?" Jawab Calvin. "Kan ini kamarku."

"Masuk aja lagi ke kamar mandi, ganti disana."

"Kamu aja yang masuk kamar mandi."

"Nggak mau!"

"Ya udah, kalo gitu disitu aja liatin aku telanjang."

Bingung kan gini ini! Muter kanan muter kiri, pada akhirnya muter badan dan hadap tembok. Dengan masih deg-degan, aku alih fokus ke cat tembok kamar Calvin yang agak luntur. Kalo dilihat teliti, bentuk luntur catnya kok jadi mirip sama gajah ya? Itu bagian matanya, itu belalainya, trus itu kaki-kaki gedenya.

***

     Apa sudah cukup lama? Harusnya sih sudah, aku hampir tiga menit duduk bengong menghadap tembok. Pasti sudah.

Mulutku cedut-cedut sendiri, otakku mikir keras dan badanku pelan-pelan kubalikkan dengan harapan menemukan Calvin yang tadi berdiri di dekat lemari sana, sudah memakai pakaian lengkap. Tapi begitu aku memutar pinggang, yang kudapati malah...

"Bha!!"

"CURUT!!!"

"Ahahahaha...!!" Calvin yang ternyata sudah selesai ganti dari tadi, sengaja pengen bikin shock dengan duduk tepat dibelakangku dan nunggu aku menoleh. Sekarang dia malah ketawa ngakak sampe jatuh di kasur dan mukul-mukul guling. "Pacarku lucu banget sih!"

Dengan jengkel, kulempar satu bantal paling gede dan tebel ke muka bandelnya. "Siapa pacarmu? Ogah jadi pacarmu! Males!"

Memindahkan bantal dari mukanya, tawa Calvin agak reda. Cowok berbadan atletis itu lalu meringsut naik sendiri dan berebah santai, bersiap tidur. "Oke oke sori... udah ah, sini tidur sini."

"Aku... melek aja. Kamu tidur duluan."

"Kenapa?"

"Gapapa, kek acara kemping-kemping gitu." Jawabku memberi alasan seadanya. "Kamu merem aja, biar aku yang jaga. Biar aman, siapa tahu ada macan lewat. Kan bahaya, bisa dicaplok, aohrmm!"

     "Yussa..." Calvin menghela nafas. "Meski pengen pun, aku nggak mungkin macem-macem. Aku orang terakhir yang tega ambil kesempatan dari kamu. Ngerti?"

Aku diam, malu jadinya. Badanku bergeser, masuk ke selimut dan berbaring di sebelah Calvin. Karena takut membuat tersinggung, aku mencoba untuk nggak terlalu memperlihatkan rasa gugup.

"Lagian ngapain tegang, kan cuma dua cowok tidur sekasur? Kamu ama Michelle, pasti lebih mesra lagi." Sindir Calvin.

Aku diam, nggak menjawab. Dan masalahnya, diamku bisa dibilang sejenis jawaban juga. Buktinya Calvin langsung melotot. "Ah yang bener? Belom pernah?!"

Aku cemberut. "Nggak usah lebay reaksinya."

"Masalahnya kalian udah pacaran lama, dan Michelle itu hot!"

"Bukan gitu, belom siap aja..."

"Kapan siapnya?

"Nggak tahu, jangan maksa." Gerutuku. "Kadang ada saat-saat aku ngerasa Michelle itu emang pacarku, dia gandeng aku dan ngatur hidupku kek orang sinting. Tapi saat-saat itu, cuma jadi saat-saat biasa. Nggak ada yang spesial."

Calvin menggumam, seperti separoh nyawa hilang karena kantuk tapi tetap dipaksa karena nggak mau stop ngobrol. "Kalo sama aku... saat-saat sama aku gimana rasanya?"

          Aku menatapnya. Seperti otomatis terseret, fokusku masuk ke tatapan mata coklat tuanya yang teduh. Saat-saat bareng dia...

Harus gimana jelasinnya? Hampir setiap waktu yang aku habiskan bareng dia, tersimpan lekat di otak seperti kilasan-kilasan memori dalam frame. Memori yang bisa aku keluarkan satu persatu tiap kali aku butuh obyek penyemangat, dalam hari-hariku yang super membosankan. Aku harap ada kata untuk ini, tapi nggak ada. Satu kata yang bisa menjelaskan arti senang dan sedih yang dirasa secara bersamaan, karena itu yang aku rasa setiap kali aku dekat sama dia. Satu kata itu, berlaku buat semua saat-saat tadi.

"Lama banget sih mikirnya." Calvin terkekeh sambil mencubit daguku dengan gemas. "Udah ngantuk ya?"

Aku nggak begitu merespon, Cuma diam melihatnya menguap dan menarik selimut. Dia yang ngantuk, tapi aku yang dituduh. Tapi ngomong-ngomong... kok bisa ya dia santai gitu? Abis nembak aku di ruang piano tadi, kok bisa ya dia bertingkah sesantai sekarang?

     Insomnia keparat ini menyerang lagi tanpa tolerir. Setengah jam kemudian aku memang sudah lebih santai, tapi mataku tetep melek memandangi Calvin yang sudah pulas tidur. Kecapean pasti.

Ini aneh. Dia yang gay, tapi kok aku yang salah tingkah ya?

Itu alis kenapa melengkung naik seperti pendekar-pendekar Samurai jaman dulu? Itu bulu mata kok bisa panjang lentik mirip anak-anak Arab di film Independen? Orang ini kelihatannya super dewasa dan bijak, tapi kalo tidur mirip banget kek bayi. Polos dan nggak ada dosa.

Nggak sadar, aku terus memanjakan mataku, mengamati detail wajah Calvin. Jatuhnya rambut, dahi, alis, kelopak mata, pipi, hidung, sampe akhirnya bagian bibir. Bibirnya sedikit punya warna merah muda dan oranye, bercampur dan membawa sapuan warna aneh yang sulit dijelaskan mata. Berbentuk sudut, terjebak antara tipis dan penuh. Bibir bantal... bibir Calvin sejenis bibir bantal yang kalo dicium, mungkin terasa lembut.

Jari telunjukku perlahan terangkat, bergerak ke wajah Calvin. Nggak tahu juga aku sedang kesurupan apa, tapi jariku seperti punya otak dan bergerak sendiri. Permukaan bibir bagian bawahnya yang kenyal, kusentuh dan kusisir dari ujung ke ujung. Kuciumkan jariku disana, lama bertahan sampe lenganku mati rasa.

     Jangan bangun.

Makhluk paling sempurna sedunia yang tidur dengan nafas berat di depanku, please... jangan bangun. Biar saja jariku menetap disana buat sementara waktu tanpa diganggu siapapun, nggak aku dan nggak bahkan kamu. Saat ini, adalah saat milik jariku dan bibirmu.

***

     Sudah pagi dan mataku terasa lengket, nggak bisa dibuka sama sekali. Tapi aku sadar sedang menginap di rumah orang dan rasanya nggak sopan kalo harus bangun kesiangan. Ini bukan tempat dimana aku bisa ngiler dan kentut seenaknya.

Badanku yang linu, kupaksakan buat bangun. Mataku melirik ruang kosong di sebelah, Calvinnya sudah nggak ada...

Kuseret kakiku ke kamar mandi, dimana disana sudah ada sebuah note kecil yang ditempel di wastafel. Pagi! Sikat gigi baru yang hijau muda.

Kulirik dua sikat gigi yang ada dalam mug dekat kran. Yang satu hitam dan satunya hijau muda, masih utuh bertutup transparan. Menghela nafas panjang, aku menutup pintu dan bersiap mandi. Dasar tukang ngilang, pake sok bangun pagi dan sempet siapin sikat gigi pula. Kenapa nggak bangunin aku sekalian sih?

     Setelah mandi, aku nekad buka lemari baju Calvin. Meski kemaren rada gengsi, tapi hari ini mau nggak mau aku harus ganti pakaian juga.

Gila ini orang... selera pakaiannya sejak masih remaja ternyata sudah high class ya? Semuanya bermerk, jenis yang nggak mungkin dipake remaja ibukota kelas kaos obralan seperti aku. Kalo aku pinjem trus ketumpahan saos, gimana? Mampu nggak gantinya?

     Aku keluar kamar memakai kaos lengan panjang hitam motif Eropa punya Dolce & Gabbana dan satu Levi's belel warna gelap, bahannya enak banget di kulit dan nggak bikin gatel. Aku berasa jadi Calvin... cuma lebih pendek, lebih jelek dan lebih udik aja.

"Pagi, Mas..." Sapa seseorang yang menyambut pertama kali diluar pintu, seorang wanita setengah baya berdaster batik yang sedang membawa kemoceng warna-warni. "Saya Mbok Dharti, pembantu disini. Mas Yussanya udah ditunggu buat sarapan."

Aku manggut-manggut. "Kemaren si mbok nggak ada."

"Kemaren ijin, anak saya sakit gigi."

"Oh..."

"Jadi harus saya anter ke THT."

"Oh..." Aku diam sebentar. "Hah?"

Mbok Dhar memperhatikanku dari ujung kepala sampe kaki, terus berdecak-decak sendiri mirip cicak. "Byuh byuh... bocah kok nggiianteng tenan. Kulite putih resik, untune apik, lambene abang. Nggantenge ngene kok yo senengane pedang-pedangan..."

Eeh kampret, si mbok mulutnya sekotor kemocengnya. "Mbok... keluarga saya dari Jawa, jadi saya ngerti arti omongan barusan."

Mbok Dhar diam sebentar, sebelum meringis serba salah dan pura-pura bersih-bersih tembok pake kemocengnya. Dasar orang aneh, tembok kok dibersihin...

     "Calvinnya mana?" Tanyaku, menoleh kanan-kiri.

"Koko lagi nemenin Tuan ke gudang. Nyonya lagi belanja sama Pak Suryo, Cece Fay baru pulang, Meme Leah lagi ada meeting sama orang dan... Sinyonya pramuka." Mbok Dharti lengkap banget jawabnya, padahal yang ditanya cuma satu orang.

"Lah... saya ditunggu sarapan sama siapa?"

"Sama sendok dan garpu."

Dipikir ini Beauty and The Beast? Suruh ngobrol ama sendok?

Dengan langkah berat, aku pun berjalan ke ruang makan dan menemui teman-teman baruku... sendok sama garpu. Sekarang hampir jam delapan, lumayan hampir siang. Kira-kira sampe jam berapa Calvin harus nemenin Om Liem ke gudang? Lama nggak?

***

     Detik, menit, bahkan sampe jam berlalu gitu saja. Meski melakukan banyak kegiatan karena terus disuruh-suruh, aku juga nggak berhenti menunggu seperti orang gila. Badanku mondar-mandir kesana-kemari, tapi pikiranku sama sekali nggak fokus ke apa yang digerakkan fisik. Sesekali kalo sempet, aku berhenti dan mengintip ke jendela, berharap agar pagar terbuka dan mengantar satu sosok pulang ke rumah.

Tapi berapa kalipun pagar dibuka, sosok itu nggak juga kelihatan.

Tante Liem ada di rumah, Leah juga, bahkan si bandit Nicky akhirnya pulang pramuka tepat jam tiga sore. Cuma Calvin sama Papanya yang belom. Lama... lama banget sampe jengkel sendiri.

     "Yu..." Tegur Tante Liem, menuding semangkok bawang putih tumbuk yang disiapkan di mangkok. "Bisa tolong ambil itu?"

Aku yang sedang mengiris wortel asal-asalan, berhenti sebentar untuk mengulurkannya mangkok tadi. "Jaraknya gudang jauh ya, Tan? Om usaha apa sih? Tiap hari harus kerja, ya? Apa nggak ada supervisor ato mandor disana yang bisa gantiin?"

Meneruskan masak, wanita setengah baya cantik bercelemek ungu dan berambut aroma hair-spray itu tertawa kecil. "Tadinya Tante pikir...pasti akan sulit. Kalopun Calvin balik ke rumah, dia udah punya dunia sendiri yang nggak bisa Tante pahami. Bertahun-tahun Tante terus khawatir, gimana nanti kalo Calvin membawa pasangannya pulang ke rumah? Bukan perempuan, tapi laki-laki. Apa Tante bisa suka? Apa mungkin Tante malah benci? Tante takut buat Calvin kecewa lagi, takut kehilangan dia lagi. Tapi begitu denger suara kamu di telfon, Tante langsung yakin bisa menyayangi kamu seperti anak sendiri."

Aku berhenti mengiris sebentar dan menoleh. "Emang suara saya seperti apa?"

     Tante Liem tersenyum. "Panik..." Dia menyiapkan beberapa bahan untuk dimasukkan ke dalam panci sayur, kelihatan sibuk, tapi sesekali memperhatikan ekspresiku. "Ngomongmu banyak banget, cepet banget. Dalam satu kalimat, bisa sebut nama Calvin sampe enam ato tujuh kali berulang-ulang. Tapi justru cara panik kamu yang seperti itu, yang bikin Tante yakin kalo kamu bener-bener perduli sama Calvin."

Jujur... aku nggak bisa komentar. Aku sendiri baru tahu.

"Calvin juga sayang banget sama kamu." Tambah Tante Liem.

"Kalo sayang nggak mungkin ditinggal kabur."

"Kan lagi nemenin Om kerja, Yu."

"Tapi nggak usah sampe sore juga."

"Bentar lagi pulang..." Tante Liem menghampiriku, menepuk pipi sebelah kananku sambil tertawa geli. "Bentar lagi pulang kok."

***

     Setelah cukup membantu, akhirnya aku melempar badanku sendiri di sofa ruang tengah. Meski ada si iblis Nicky yang sedang asyik nonton TV, tapi aku terlalu capek untuk menggubris.

Memang dia pikir lagi nongkrong di warung remang-remang pinggiran jalan? Duduk sandar di sofa dengan dua kaki ditaroh di meja depan, tangan kanan pegang remote dan tangan kiri pegang jagung bakar manis. Ck ck... muka aja yang mirip Calvin, kelakukan bener-bener mirip karung sampah.

Seperti punya indera keenam, si bontot itu melirikku dengan sepasang mata sipitnya yang tajam setajam silet cukur jenggot yang baru dibeli dan belom ditiup-tiup. "Kesian... istri jablay."

Kuamprett! Aku dibilang istri jablay!

     Hidungku kembang-kempis. "Pelan-pelan makan jagungnya, kalo kesedak bisa langsung mampusss."

Dia meringis. "Koko nggak bisa cari yang bagusan dikit apa...?"

"Heh! Cacing pita! Minta ditoyor, ya?"

"Aku anak Taekwondo, kamu berani toyor kepalaku, aku tendang bokongmu sampe mencelat ke Kutub sana."

"Aku aduin Kokomu ntar."

"Bisanya istri kan gitu, maen adu mengadu."

"Aku cowok tulen! Aku yang jadi suaminya!"

Anak ingusan bercelana pendek dan berkaos Bart Simpson itu melanjutkan makan jagung bakarnya. "Kokoku lebih tinggi, lebih gede dan lebih kuat. Dilihat dari sisi mana aja, kelihatan banget kalo dia yang jadi suami."

Dahiku spontan mengerut keras. "Kokomu itu penjahit yang hobi masak dan bersih-bersih. Dia yang lebih feminin!"

     Nggak mau ngalah, aku menambahkan. "Dan asal kamu tahu, Kokomu yang ngejar-ngejar aku duluan. Dia yang selalu telfon dan kirim pesen, dia cuekin orang laen asal ada aku, dia traktir aku tiap hari, bawa aku ke dokter kalo aku sakit, beliin aku ini itu, dan ngurus semua keperluanku mulai dari atas sampe bawah. Di otak Kokomu, isinya cuma ada aku."

Mendengar ocehan panjangku, senyum Nicky malah makin lebar dan bikin jijik. Cowok berponi itu mendekat dan berbisik dengan liciknya. "Berarti bener, kan? Kokoku yang jadi suami?"

"Ya Tuhaannnn..." Gigiku lengket. "Beri hamba kesabarannnn."

     Lagi serius adu mulut, tiba-tiba saja terdengar suara derum mobil dan gerbang rumah yang dibuka. Aku buru-buru meloncat dari sofa, berlari ke jendela dan membuka sedikit kordennya buat mengintip. Datang! Om Liem akhirnya datang! Calvin pulang!

Nicky ikut menoleh. "Siapa yang datang? Suamimu, ya?"

"Ho oh, sama Papamu." Jawabku santai, sebelum aku sadar kalo kuping dan otakku telat bereaksi. "Bilang apa kamu tadi?"

     Calvin dengan santai, berjalan di sebelah Om Liem. Mereka ngobrol dengan serius di teras, menunda masuk rumah sementara waktu. Aku buru-buru membalikkan badan dan berlari ke arah kamar, tapi sebelum itu masih menyempatkan diri angkat tangan dan memberi jitakan kenceng ke kepalanya Nicky. Plakk!!

"Makan tuh! Dasar tai hamster!"

"Duhh!" Si bocah menoleh kaget. "Mamaaaaa!!!!"

***

     Calvin akhirnya masuk juga ke rumah, berpencar dengan Papanya yang masih nongkrong di depan teras dengan supir. Dia menghampiri Nicky yang masih santai di sofa, dalam proses menyantap jagung bakar ketiganya. Diusap-usapnya rambut lurus adik cowoknya itu sampe berantakan. "Yussa mana, Nick?"

Nicky bahkan nggak melirik. "Mati. Kesetrum."

"Hush."

"Tanya yang lain aja, males aku..."

Sadar nggak akan dapat jawaban serius dari adik bungsunya, Calvin lebih memilih cari sendiri. Dipanggilnya namaku berulang kali, mulai dari ruang depan, ruang tengah, kamar, dapur, sampe ke loteng. Hampir sepuluh menit cari kesana-kemari, Calvin jadi capek sendiri dan memutuskan masuk ke kamar dulu.

Si jangkung itu menghempaskan badannya, duduk di kasur dengan ekspresi nggak tenang. Seluruh badannya pegel, lengket dan lemes. Tapi pikirannya jauh lebih ruwet lagi, karena nggak bisa menemukanku dimana-mana.

     "Hatchuu!!"

Calvin dengan cepat beranjak berdiri, badannya secara otomatis bereaksi begitu mendengarku bersin. Suara bersin cemprengku, yang sampe menggema dari dalam kamar mandi.

Hampir saja pintu kamar mandi dibantingnya karena terlalu kenceng didorong dari luar. Calvin masuk dengan muka tegang dan dua mata yang pupilnya membesar. Ditariknya korden plastik shower dan dipandanginya aku yang ada di dalam, sedang duduk di bathtub seperti orang dongok.

Aku mendongak melihatnya, ngeri sendiri lihat ekspresinya. Jadi alih-alih banyak ngomong, kubuka saja dua tanganku dan kugerak-gerakkan sepuluh jariku. "Cilukk...baa..."

"Ngapain jongkok disitu?"

"Iseng."

"Nggak denger apa, aku panggil-panggil tadi?"

"Denger."

"Kenapa nggak jawab?"

"Ngapain? Toh nggak ada bedanya ketemu aku apa nggak."

"Yussa~"

"Berangkat nggak pamit, telfon nggak diangkat, pulang baru jam empat sore. Kenapa nggak sekalian nginep di gudang aja?" Dengan cemberut, aku akhirnya berdiri juga dan males-malesan keluar dari bathtub. Kalo dipikir-pikir lagi, nggak jelas juga alasanku sembunyi disana pada awalnya.

Dengan sabar, Calvin mengikutiku keluar dari kamar mandi, kembali lagi ke kamar.

     Sambil membuka lemari pakaian untuk mengambil kaos dan celana panjang kain, aku lanjut mengomel. "Kamu tahu sejak pagi, aku tadi ngapain aja? Aku bantu Pak Min siram-siram tanaman di kebun belakang, nemenin Mbok Dhar giling kacang sambel ke pasar depan, mindah-mindah tabung elpiji, gojekin adekmu di sekolah, dan masak capcay bareng Mamamu! Sampe mau copot semua tangan ama kakiku!"

Kulempar kaos dan celananya ke kasur. "Buruan mandi."

Calvin menghela nafas panjang, mendekat dan mengangkat jari-jarinya untuk menyisir rambut bagian depanku yang berpencar satu sama laen. "Sori ya... jadi ngerepotin."

"Bukannya gitu." Kutepis tangannya. "Ini udah sore!"

"Trus kenapa?"

"Trus..."

"Trus?"

"Trus..." Suaraku jadi pelan. "Kapan pacarannya..."

     Muka Calvin berubah total, seketika diem dan nggak berkutik sama sekali. Matanya nggak berkedip menatapku dan dia bahkan nggak nafas. Beberapa detik berlalu sunyi sepi, sampe mendadak saja dia menunduk dengan bahu yang gerak-gerak.

"Hmmff..." Suaranya kedengaran. "Hahahhaa...!!!!" Calvin ketawa ngakak, saking ngakaknya sampe tangan meremas perut.

Hah? Ketawa si kutu kupret ini. Dipikirnya aku bercanda? Kemaren malam dia sendiri yang serius minta aku jadi pacarnya selama sehari. Setelah aku setuju dengan pertimbangan panjang, dia malah bersikap seperti nggak terjadi apa-apa.

Kaki beteku sudah akan bergerak menghindar, ketika Calvin tiba-tiba saja mengambil tanganku. Tawanya mereda dan dia menahan aku buat nggak pergi kemana-mana. "Aku nggak lupa, oke?"

     Dengan ekspresi serius, dia mengucap. "Karena udah nggak ketemu Papa selama bertahun-tahun, aku jadi nggak bisa menolak permintaan Papa buat nemenin dia meriksa gudang. Tapi apa yang aku minta semalam, aku nggak lupa. Seharian ini, yang aku inget cuma itu. Jadi... tunggu aku mandi, abis itu kita keluar."

Aku mengerut. "Keluar kemana?"

"Kencan."

"Hah?? Kamu kan baru dateng."

"Gapapa. Kamu juga buruan ganti gih, ambil baju di lemari."

Nggak terima penolakan, Calvin santai saja masuk lagi ke kamar mandi dan ninggalin aku bengong sendirian. Jadi keluar nih? Beneran mau kencan? Beneran aku bakal pacaran ama cowok?

***

     Seperti bersiap-siap dipanggil guru buat maju ngerjain soal Matematika di papan, seperti itu gugupku, lebih parah lagi malah. Jantungku nggak berhenti berdebar sementara perutku nano-nano antara mual dan mules. Berdiri di sebelah mobilku sendiri yang selesai dipanasi, tanganku keringetan dan nafasku terus saja keluar dari mulut... bukannya hidung.

Calvin ada pas di hadapanku, tersenyum melihat penampilan rapiku yang memakai kemeja putih gading dengan dasi tali tipis berwarna hitam yang menjulur panjang sampai ke kancing nomor empat. Tangannya terulur, dengan sabar mengikat dasiku menjadi simpul pita yang manis. "Udah telat buat mundur. Nggak. Kamu nggak boleh mundur dan tarik omonganmu. Apapun yang mau aku lakuin ke kamu, kamu musti nurut. Dan kemanapun aku ajak kamu pergi, kamu musti ikut. Buat hari ini aja... mulai dari ujung rambut sampe kaki kamu, baek badan, pikiran maupun hati kamu... semua jadi punyaku. Cuma punyaku."

Mana bisa aku menjawab?

Omongan serius seperti itu, mana bisa aku merespon? Respon apapun yang keluar dari mulutku, pasti akan kedengaran konyol. Pipiku yang cukup jadi jawaban, dengan warna merah yang secara otomatis muncul begitu Calvin membukakan pintu mobil. Detik dia mempersilahkanku masuk, detik saat-saat kami dimulai.

     Di dalam mobil, aku cuma bisa duduk bersandar dan fokus memandanginya yang serius nyetir. Diiringi lagu klasik sepanjang perjalanan, mataku terus dimanjakan dengan sosoknya yang cocok dengan kehangatan sore hari.

Ada cahaya yang membias dari luar jendela, masuk ke dalam mobil dan meresap melalui celah-celah sosok Calvin. Membuat dia jadi bersinar temaram, terlihat hangat dan ajaib. Profil samping dari postur badan sampe ke wajahnya, bener-bener terpahat sempurna. Tuhan pasti hati-hati banget waktu ciptain cowok ini. Dan dia nggak bilang mau membawaku kemana. Tapi jujur saja, asal bisa terus dekat seperti ini... aku nggak perduli apa-apa lagi.

     Karena terlalu asyik meneliti, aku sampe nggak sadar kalo mobil akhirnya berhenti. Kepalaku spontan menoleh kanan dan kiri dengan bingung. Lho kok... berhenti di depan rumah?

"Ini dimana?" Tanyaku, melihatnya Calvin keluar duluan dengan santainya. "Rumah siapa?"

Calvin nggak menjawab, dia langsung membuka bagasi dan mengambil barang-barang yang ditaroh di tas-tas plastik ukuran jumbo. Diliriknya aku dari belakang. "Yussa, bantu aku bawa ini."

Hah? Begitu melihat barang bawaannya, aku spontan mengerut kebingungan. Apaan nih? Kenapa ada buku-buku bacaan, buku not balok, mainan, pakaian, snack dan makanan instant?

     Sambil membantunya membawa dua kardus plastik gede, aku mengikutinya memasuki area rumah mungil yang pagarnya dihiasi lumut itu. Tipikal rumah tempo dulu, dimana temboknya berhiaskan bebatuan dan bel pintunya terbuat dari lonceng. Halamannya rindang meski sempit dan ada banyak tempat duduk dari potongan-potongan kayu yang di cat warna-warni.

Jauh disana, di teras rumah, terlihat berkumpul anak-anak remaja berumur belasan yang asyik menikmati sore sambil bermain gitar.

"Koko!" Teriak seseorang dengan suara cempreng, bikin kuping nyeri. Seorang cewek jadi-jadian yang sedang ada di teras, melompat-lompat kegirangan melihat kedatangan Calvin. Aku bilang jadi-jadian karena kelihatan jelas kalo dia cowok, tapi kepalanya pake wig panjang pirang dan kaosnya pink menyala dipenuhi glitter. "Koko Calviiiin!!"

Waduh... gawat, lampu lalu-lintas itu lari kesini pula!

Aku buru-buru ngambil beberapa langkah mundur karena ngeri, tapi yang dia incar bukan aku, melainkan Calvin. Si siluman macan kumbang itu berlari girang dan langsung nemplok manja, bersandar di lengan Calvin.

     Setannn! Kok berani dia pegang-pegang gitu?!

Tapi Calvin malah ketawa ringan, terima saja dirangkul-rangkul sampe segitunya. Sebenarnya siapa sih si tokek jelek ini?

Jrengg!! Tiba-tiba saja dia melirikku sinis, hampir juling saking tajamnya. "Makhluk itu... siapa?" Dia menudingku dengan jari telunjuknya, dengan ekspresi sok sok jijik. "Jangan-jangan... yang namanya Yussa itu ya?"

Calvin menoleh kebelakang dan mengangguk. "Manggilnya harus yang sopan dong, Kak Yussa gitu."

"Iiih ogah, masa' aku harus manggil Kakak?"

"Kalo kamu, harus. Umur Yussa jauh lebih dewasa."

"Koko panggil dia kakak juga?"

"Koko nggak perlu." Jawab Calvin tenang. "Kan pacar sendiri."

Paaaa... pacar??!! Lebih dari aku yang kaget karena Calvin sudah memperkenalkanku sebagai pacar, si tokek malah spontan melotot dan mangap lebar. Dia melepas rangkulannya dari lengan Calvin dan hampir jatuh kalo nggak buru-buru ditangkap beberapa anak yang menyusul keluar. "Pa...carnya... Koko..."

     Sementara beberapa menggotong si tokek masuk rumah, beberapa remaja lain dengan cekatan membantuku dan Calvin untuk membawa barang-barang.

"Kaget?" Tegur Calvin, meremas pundakku.

"Ini rumah siapa?"

"Temenku, pasangan gay. Martin sama Rehza."

"Trus si tokek ama anak-anak tadi, siapa?"

     Sambil menggenggam tanganku dan menariknya pelan agar aku mau berjalan bareng, Calvin mulai mendongeng. "Ini semacam rumah singgah sederhana, buat anak-anak LGBT yang diusir dari rumah atau sebatas perlu konsultasi. Meski dikhususkan buat anak-anak LGBT, tapi secara praktek, anak-anak terlantar umum bisa juga mampir sini."

Rumah singgah? Aku menoleh sana-sini. "Mana plakatnya?"

"Belum ada." Sahut Calvin. "Semua yang berbau LGBT masih tabu banget di mata masyarakat, untuk ngurus ijinnya masih susah."

Melangkah masuk melewati pintu depan, aku bisa melihat kalo ruangan di tengah ternyata jauh lebih luas dan lapang. Semua perabotan ditaroh di pojokan, sementara isi ruangan cuma penuh dengan karpet lebar dan sebuah papan tulis untuk mengajar.

     Dan sementara anak-anak rame sendiri dengan oleh-oleh bawaan Calvin, seorang cowok muncul dari dalam sebuah kamar. Cowok berambut plontos dengan kemeja batik dan muka dihiasi brewok tipis yang memperjelas ketegasannya. Dia tersenyum lebar melihat kedatangan Calvin, langsung membuka tangannya dan memeluk Calvin dengan haru. "Calvin Nathanael Liem... rasanya nggak percaya kamu mau dateng juga. Aku pikir cuma barang-barangnya aja yang dipaket seperti biasa, nggak tahunya orangnya beneran nongol."

Cowok itu menepuk-nepuk pundak Calvin seperti sudah kenal lama. "Gimana kabarnya?"

"Baik..." Calvin tersenyum. "Rehza mana?"

"Keluar dia, lagi ada laporan. Nitip salam aja katanya."

"Anak-anak nambah ya?"

"Hm mm. Ada beberapa dari terminal, dan beberapa dari jembatan depan. Paling kecil umur 6 tahun dan yang paling gede udah 19 tahun." Martin memberi informasi sambil sesekali melirik melihat aku yang bersembunyi di balik punggung Calvin. "Ini... Yussa kan?"

     Kok... tahu namaku? Dari tadi juga, si tokek bisa langsung tahu namaku. Memangnya Calvin sudah pernah cerita tentang aku?

Martin tersenyum. "Makasih lho atas sumbangannya selama ini. Buku-buku musiknya banyak ngebantu anak-anak yang lagi belajar maen gitar. Begitu liat Calvin akhirnya bawa orang laen mampir kesini setelah bertahun-tahun, aku langsung tahu... oh ini pasti Yussa."

Hah? Buku apa maksudnya?

Masih rada kebingungan, Calvin keburu memintaku nunggu di ruang tengah sementara dia menyibukkan diri dengan Martin- mengobrol masalah perijinan usaha. Kuambil satu kursi, bersandar di tembok dan meluruskan kakiku yang rada semutan. Santai dulu.

***

     Kuamati kondisi sekitar. Rame banget. Anak-anak yang masih kecil, ribut dengan buku-buku bacaan di karpet... sementara yang remaja keasyikan dengan buku-buku musik di teras depan. Tapi ada satu anak, satu anak cowok yang masih kecil banget, yang duduk sendirian... diam dan berjauhan dengan yang lain. Anak kecil lucu dengan pipi semerah tomat dan poni rambut yang menutupi separoh dahinya.

"Hai, hallo, aloha..." Sapaku, melambai dengan senyum kecil saat si mungil itu menoleh. "Hai hai adik kecil."

Dia tetep diam, malah langsung menunduk dan menggosok-gosok bulu karpet dengan jari telunjuknya. Kaos Naruto berlobang dan celana pendek merah lusuhnya, kontras dengan mukanya yang super gemesin. Aku bukan tipe penyayang anak kecil, tapi anak itu sedikit menyita perhatianku. Jadi aku ambil hape, menekan beberapa tombol sampe ke aplikasi piano yang sudah aku install lama. Kumainkan dengan jenaka, partitur lagu Old MacDonald, demi mencoba memenangkan hati dan menarik perhatiannya.

Dan... berhasil! Si kecil jadi sedikit melirik karena suara imut piano portableku, meski matanya masih menghindari kontak-mata langsung denganku dan mukanya masih menolak buat tersenyum. Kucoba ganti lagu, tapi yang kedua pun gagal buat dia senang. Ada yang aneh dengan anak itu, tapi apa... aku sendiri belom tahu.

     "Rempong banget sih, bencong." Celetuk seseorang dengan suara cempreng yang aku nggak mau hafal, tapi otakku terpaksa menyimpannya di memori karena terlalu seram. Aku menoleh ke kanan dan berkedip kaget melihat si bunga bangke sudah duduk di sebelah, sambil tiup-tiup kukunya yang abis dikuteks pake... nggak jelas juga pake apaan.

Ini anak siapa sih? Mukanya masih kelihatan kek anak umur belasan tahun, tapi kelakuan kek siluman umur ratusan tahun. Melirikku dengan bola mata belo yang segede piring gratisan Rinso dan mencibir pake bibir menornya yang memble.

"Ko Calvin itu idola dan superhero disini." Gerutu si tokek sambil masih ngurusin kuku. "Kok bisa rakyat jelata kek kamu dapetin dia? Pasti situ pake guna-guna, ilmu pelet ama susuk."

Dasar si ondel-ondel, kebanyakan nonton film Suzanna.

Dengan cuek, aku fokus ke kukunya. "Itu kuteks kok tebel?"

"Ini tipex, tauk? Correction pen. Ngerti nggak bahasa Nginggris?"

"Hah? Mana bisa tipex buat kuteks?"

"Bisalaah... ini bisa."

"Kenapa nggak beli kuteks asli aja?"

"MAHAL!" Gerutunya. "15 rebu! Belom lagi belinya jauh."

Keinginan buat ngejek si tokek, hilang seketika. 15 ribu saja katanya mahal buat kuteks? Wahh... yang ini lebih pelit dibanding aku.

     Ting! Ting ting!

Aku menoleh kaget. Karena terlalu serius dengan kuteks gaya baru si tokek, aku jadi nggak sadar kalo anak kecil pendiam tadi ternyata sudah ada di depan dan sedang memperhatikan hapeku. Fokusku, kembali ke si anak berponi itu lagi. "Hallo hallo...bagus ya suara pianonya? Mau denger Om maen lagi?"

Si kecil perlahan mengangguk, meski masih nggak mau melihatku secara langsung. Tapi karena setidaknya dia sudah mau dan berani mendekat, aku langsung memaenkan lagu Bingo sebagai upah. Mendengarnya, si kecil mungkin masih saja nggak ketawa ato bahkan senyum... tapi aku bisa melihat ada rasa penasaran di mata lebarnya. Bola mata itu, berkedip-kedip lucu dipenuhi binar-binar semangat dan antusiasme. Mirip aku. Mirip aku waktu pertama kali ketemu piano.

Eh... abis maen, si tokek malah nempel. "Namanya Ipo."

Kudorong mukanya menjauh. "Siapa?"

"Itu, yang lagi pencet-pencet hapemu."

"Yatim piatu- kah?"

"Masih ada ortu, tapi brengsek." Si tokek bercerita dengan bibir memblenya yang mencong kesana-sini. "Umurnya baru mau 6 tahun, tapi nggak jelas juga lahirnya kapan. Dia biasanya ngamen di jembatan depan, tapi sekarang cuman di sekitaran sini." 

       Kuberikan hapeku ke si kecil Ipo biar dibuat mainan, dan biar aku bisa dengar cerita si tokek dengan lebih jelas. "Udah lama Ipo sering mampir disini?"

Tokek mengangguk. "Tahun kemaren, dia ditemuin sama Barga, salah satu anak sini juga. Si Ipo dibuang deket selokan, cuma pake kaos doang, nggak pake celana. Abis diperiksa, ternyata dia abis disodomi ama preman yang mengorganisir para pengamen daerah sana. Sempet opname berhari-hari di rumah sakit, trus Ipo dibawa kesini. Orang tuanya nggak perduli sama sekali."

Aku bener-bener dengerin, tapi terlalu shock buat bereaksi. Ini sejenis cerita-cerita tragis yang cuma aku tonton di TV atau baca di internet, jenis cerita yang menyayat hati tapi kurang begitu menarik minat. Seperti mimpi buruk, aku nggak menduga kalo akan bisa ketemu dengan sosok nyata dari karakter cerita itu.

Ada banyak pertanyaan muncul di kepala, tapi jadinya kosong saat aku menoleh lagi ke arah Ipo. Kalo sekarang umurnya masih 6 tahun, berarti waktu diperkosa dulu... dia masih... 5 tahun? Apa-apaan sih? Anak sekecil itu... bahkan bukan yatim piatu tapi ditelantarkan sampe sebegitunya. Badan sekecil itu, muka sepolos itu, jari-jari semungil itu. Kok bisa? Kok tega?

"Anaknya jadi pendiem, trauma kali." Tambah si tokek. "Tapi buku-buku gambar dan mainan dari Ko Calvin membantu banget."

     Aku menoleh. "Udah lama Calvin jadi donatur disini?"

"Udah. Kan dulu Koko juga anak sini."

"Hah?"

"Begitu diusir dari rumah, Koko pernah beberapa bulan disini."

"Kok sampe selama itu?"

"Koko nggak pernah cerita?" Si tokek mengerut. "Aku sendiri cuman denger dari anak-anak yang lebih dulu ada disini sih. Kata mereka, kejadiannya parah banget. Koko digebuki ama Bokapnya sampe babak belur. Kepalanya bocor, tangan kiri dan tulang iganya patah, mukanya bengkak dan berdarah disana-sini. Om Martin yang bawa Koko kesini buat diobati dan ikut terapi rutin, sampe dia bener-bener pulih."

Mataku berhenti berkedip, pandanganku lurus ke depan dan perlahan merabun... trus kosong. Jadi ini alasan kenapa Calvin ragu banget pulang ke rumah? Selama ini, ternyata ada kejadian separah itu di masa lalu Calvin yang nggak pernah dia bagi ke siapapun, bahkan termasuk aku. Keluhan-keluhanku jadi sepele kalo dibandingkan dengan cerita tragis Calvin.

     Dan disana... disana dia masih bisa muncul dengan senyuman manisnya, menyapaku sambil melambai singkat. Berjalan santai ke arahku, dia pun berhenti tepat di hadapan. "Ayo... pamit ke anak-anak trus cabut." Ajaknya dengan suara pelan.

Harus gimana sekarang? Aku pengen lanjutin kencan aneh ini dengan ketawa ngakak dan bercanda seperti biasanya, tapi setelah mampir ke rumah singgah punya Martin ini... moodku jadi hancur lebur. Dan pamitan ke Ipo juga nggak membantu sama sekali.

     Sementara Calvin menunggu di mobil yang sudah dia start, aku menyempatkan diri buat duduk jongkok dan mengusap-usap rambut Ipo. "Lain kali Om maen lagu lebih banyak, mau?"

Ipo kedip-kedip saja.

"Om ajari maen piano juga, mau kan?"

Perlahan, dia mengangguk.

"Anak pinter. Belajar yang rajin, makan yang banyak."

Lagi-lagi, dalam kebiasannya, dia mengangguk.

     Beranjak berdiri, aku menatap si tokek yang berdiri di antara remaja-remaja laen yang mengantar di halaman. "Aku kirim kuteks beneran ntar. Jangan pake tipex lagi, kesian kukunya."

Mata si tokek spontan melotot. "Beneran Mas?!"

Aku manggut-manggut. "Begitu gajian, aku kirim."

"Uwaaaa!! Mas Yussa baek banget! Suka deh! Moga jadi istri yang solehah buat Koko! Moga awet hubungannya! Rukun membangun keluarga yang sakinah mawadah warohmah!" Dia jadi teriak-teriak gak jelas. "Amin?"

"Aaamiiiin!" Sahut yang laen. Lah... pake diaminin rame-rame pula.

***

     Pilihan tempat kencan pertama yang aneh, sebuah rumah singgah buat LGBT dan anak-anak terlantar. Pilihan yang aneh, tapi tepat. Karena tempat itu sukses menyita minatku. Di tempat itu juga, aku bisa tahu tentang masa lalu Calvin yang misterius. Meski sekarang, aku nggak bisa melihat Calvin dengan cara yang sama.

Sambil menyetir di jalanan yang mulai dimakan remang senja, Calvin perlahan menggumam. "Lusa jangan lupa mampir ke Dokter Seno buat terapi terakhir. Jari-jari kamu udah makin membaik, kan? Terakhir aja udah bisa maen piano buat aku..."

"Hmm..." Anggukku. "Udah lebih lancar kalo dibuat maen."

"Kamu sempet maen piano lagi?"

"Tadi siang."

"Oh ya?"

"Tapi cuma dua lagu, keburu pintunya dikunciin ama adek kamu yang jahatnya kek iblis itu." Gerutuku. "Untung ada si Mbok."

"Kasihan..." Calvin tertawa kecil seraya mengambil tanganku tanpa ijin, menggenggamnya begitu saja dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk nyetir. Diberinya pijatan lembut seperti yang biasa dia lakukan untuk melemaskan jari-jariku yang sedikit kaku. Kenapa... masih bisa begitu perduli tentang jariku? Kenapa? Disaat dia justru pernah ngalami hal yang lebih parah...

     Mobil akhirnya berhenti di pinggir jalan, Calvin memarkirnya di jalanan lengang penduduk. Lagi-lagi aku dibuat bingung karena sama sekali nggak tahu tempat yang ada di pikirannya. Apa ini? Dimana? Kenapa berhenti di depan sebuah gedung tua yang sedikit kelihatan terbengkalai?

Aku turun dari mobil dan menoleh kanan-kiri. "Ini panti jompo? Ato tempat singgah gelandangan? Rumah hantu?"

Calvin tersenyum, menggeleng. "Bukan. Ini Insieme."

"Insieme? Kebersamaan?"

"Kamu penyuka lagu klasik, jadi sedikit ngerti bahasa Italia kan?"

"Hmm mm..." Aku masih bingung. "Tapi ini tempat apa?"

Calvin memandang gedung di depannya. "Insieme... tempat yang didirikan dari dana gabungan para aktor, aktris, penyanyi independen dan peminat teatrikal lokal. Tempatnya kecil tapi ada lautan seni yang bisa kamu nikmati di dalam."

Calvin meraih tanganku lagi, yang buru-buru kutepis. "Ngapain?"

"Gandengan."

"Kita bukan anak TK, ngapain gandengan segala?"

"Kita pacaran, apa salahnya?"

"Ta... tapi ntar dilihatin sama orang-orang!"

Nggak perduli dengan penolakanku, Calvin langsung saja merebut tanganku dan menggenggamnya. "Udah aku bilang, kamu musti nurut. Tanganmu, hari ini jadi punyaku juga."

Dasar keras kepala. Sebenernya bukan karena aku nggak mau digandeng, tapi lebih karena risih dilihatin orang-orang dan juga karena kinerja jantungku jadi nggak menentu kalo sudah sentuhan kulit dengan Calvin seperti sekarang. Tapi sikap tegas dan tenang Calvin yang terus menuntunku masuk ke dalam gedung, membuat aku jadi lebih penurut. Kakinya yang melangkah di depan dan pemandangan punggungnya yang kokoh...

seperti pohon, dia menaungi dan memberiku keteduhan.

     Eh... Othello? Perhatianku beralih ke sebuah papan tulis yang dicoret-coret dengan daftar pementasan malam ini. Mereka akan memainkan Othello?

"Calvin Nathanael Liem dan Yussa Januar." Ujar Calvin, memberi informasi reservasi pada seorang pria tua yang menjaga loket. Pria itu mengangguk dengan senyum ramah, mempersilahkan aku dan Calvin masuk melalui sebuah pintu kecil berwarna keemasan. Agak aneh mendengar nama kami diucapkan secara bersamaan seperti itu dari mulut Calvin. Calvin Nathanael Liem dan Yussa Januar...

Seperti sebuah gedung bioskop bercampur teater, penataan ruangan di dalam dipenuhi kursi-kursi berderet naik sementara panggung tertutup tirai merah raksasa. Bangunannya tampak tua tapi layak pakai, remang tapi terasa aura damainya. Tempat ini... tempat yang seperti ini, seperti surga buatku.

Dalam hidupku yang diisi dengan mayoritas hal-hal nggak penting, aku rasa ini adalah satu alasan aku diantar sampe umur yang sekarang. Untuk tahu tempat semacam ini.

     Alunan sayup-sayup Con te Partirò terdengar dari mulut seorang penyanyi yang sedang berlatih di balik panggung. Penontonnya mungkin sedikit, tapi pemainnya berlatih vokal sepenuh hati.

Calvin menggandengku, berjalan ke dua kursi yang ada di deret keempat dari atas. Begitu kami duduk, cahaya lampu pun padam hingga fokus tertuju penuh ke panggung. Calvin melepas gandengan di tanganku dan mengusap pipiku dengan punggung tangannya. "Mukamu serius banget."

Mulutku monyong-monyong sendiri. "Ini pertama kali aku nonton teatrikal Othello, langsung begini. Ada Pianonya pula. Trus... apa mereka pake bahasa asli ato skrip terjemahan?"

Calvin menjawab dengan nada datar. "Terjemahan."

"Apa semua karakternya lengkap? Cassio, Lago, Brabantio?"

"Mereka karakter sentral, Yu, pasti lah."

"Wahh settingnya! Ada campuran Venice ama Siprus!"

Mendengarku ngoceh histeris, Calvin jadi tertawa sendiri. Dia tahu keputusannya sudah tepat ngajak aku nonton teather seperti ini, karena begitu tirai panggung diangkat perlahan-lahan, badanku menegang dan membatu seperti patung. Woah! Mulai!

     Pementasan dimulai. Mereka bener-bener menata semuanya sedekat mungkin dengan situasi abad ke-16, dengan properti dan kostum Eropa tempo dulu. Sesekali di sela pertunjukan, pemainnya menyanyi beberapa lagu klasik yang jauh lebih depan dibanding masanya, tapi masih berkaitan dengan isi cerita. Mereka ini aktor dan aktris teather lokal, tapi suaranya bener-bener skala seriosa.

Oh! Wah! Karakter Desdemona masuk ke panggung, diikuti Othello si jenderal Moor. Mereka menyanyi Per Te bersaut-sautan, membuat panggung sederhana itu menjadi megah dan semua penonton hanyut dalam lirik. Semua, kecuali...

"Ngapain kamu?" Aku kaget sendiri begitu menoleh ke kiri dan melihat Calvin justru sedang memperhatikan aku. "Liat apa?"

"Liat kamu."

"Liat depan sana! Othellonya di depan."

"Aku lagi nggak pacaran sama Othello."

Sebenernya mau aku cuekin, tapi lama-lama terganggu juga dipelototin seperti itu. Aku jadi bingung dengan mukaku sendiri. Bibir jadi aku tipis-tipisin, posisi dagu jadi aku naikin, dan aku cemas kalo dari samping hidungku kelihatan aneh. Mataku juga jadi juling, karena muka Calvin tergambar jelas di sudut mata, seperti jerawat yang susah dipencet. "Calvin! Liat depan ah!!" Kutampar mukanya dan memaksanya kembali menoleh ke arah panggung.

     Seperti biasa, Calvin malah ketawa geli karena sudah sukses menggodaku. Meski beberapa saat kemudian, tawanya perlahan hilang dan diganti helaan nafas. "Aku ini manusia sederhana, pada dasarnya dilahirkan berselera seni mainstream. Dari semua karya Shakespeare, favoritku tetep Romeo and Juliet."     

Aku mendesis dalam bisikan. "Umum banget. Dan originalnya, itu gubahan dari Arthur Brooke, The Tragical History of Romeus and Juliet. Shakespeare cuma ngembangin plot en nambah karakter."

"Tetep aja, aku suka baris sama baitnya."

"Othello juga punya baris sama bait."

"Tapi rasanya beda."

"Beda gimana? Othello rasa coklat, Romeo-Juliet rasa kacang?"

Calvin sempat melihat ke arah panggung beberapa detik, sebelum akhirnya konsentrasi lagi melihat mukaku. Duh! Gini terus kapan bisa nontonnya? Aku mana bisa fokus dengan jalan cerita dalam kondisi segrogi ini?!

     "Ketika dia mati... bawa dia dan potong dia jadi serpihan bintang-bintang..." Suara bisikan serak Calvin membuat jantungku berhenti berdetak. Bahkan suara merdu penyanyi di panggung pun nggak bisa menetralkan sikap tegangku. Perlahan, seperti berjalan diluar batas keinginan dan akal-sehat, kepalaku menoleh dengan sendirinya menatap Calvin... yang sedang menatapku.

Bersandar di kursinya, dia berkedip lemah. "Ketika dia mati, bawa dia dan potong jadi serpihan bintang-bintang." Mengulang bait Shakespeare favoritnya, Calvin jadi lebih serius. "Dan dia akan membuat wajah dari surga, menjadi begitu sempurnanya. Hingga seisi dunia akan jatuh cinta dengan malam, dan berhenti memuja matahari meski teriknya benderang..."

Nggak bisa mengendalikan otot mukaku sendiri, aku pun dibuat tersenyum malu-malu. Kusandarkan kepalaku juga di kursi dan kuucap satu baris naskah Shakespeare. "Ajari aku... ajari aku bagaimana caranya lupa untuk berpikir."

"Apakah hatiku pernah mencintai sampai sekarang?"

"Bersumpahlah, pandanganku."

"Karena aku belum pernah..."

"Melihat kesempurnaan sejati..."

Calvin tersenyum, menyelesaikan kalimatku. "Sampai malam ini..."

     Didampingi alunan piano tua yang ditempa lirih bersamaan dengan suara syahdu Othello yang menyanyikan sonata kerinduan, kurasakan ujung jari telunjuk Calvin menyentuh permukaan bibir bagian bawahku. Diusapnya lembut dari ujung ke ujung, sama seperti yang aku lakukan kemarin malam saat dia sedang tidur.

Makin kami dekat, makin samar batasan hubungan ini, makin aku ngerasa nggak aman. Perasaan aneh ini... bertambah makin detik.

***

     Pementasan kelar sampe beberapa jam lamanya. Begitu kami keluar, matahari sudah mati dan diganti sama sepupunya, si bulan dengan warna keemasan cerah. Tangan Calvin masih saja nekad menggandengku, melengketkan jari-jariku dengan jari-jarinya dan menghangatkanku dalam hawa dingin malam. Dan karena jarak tempat makan dan pertokoan nggak begitu jauh dari Insieme, kami pun mutusin buat jalan kaki dan meninggalkan mobil di parkiran.

Berjalan di sebelahnya, digandeng tangannya, dibimbing oleh langkah kakinya, menyusuri trotoar gelap, ditemani lampu-lampu tinggi jalan dan derum kendaraan yang lalu lalang...

jadi begini rasanya kencan?

Jadi begini rasanya nyaman di samping seseorang dan berhenti khawatir tentang segala sesuatu? Begini ini... rasanya percaya.

    Menyusuri trotoar yang panjang, nggak jarang aku melihat beberapa pejalan kaki yang lewat sambil berbisik-bisik. Melihat dua cowok gandengan tangan, membuat mereka heran dan agak jijik. Kelihatan dari ekspresi muka, mereka bener-bener menganggap kami semacam kuman dan perilaku kami seperti binatang jalang. Bahwa kami ini salah... buruk... jelek...

Dan Calvin sepertinya sadar akan situasi sekeliling, buktinya dia perlahan merenggangkan tangan dan melepaskan gandengan.

     Tapi aku buru-buru menangkap tangannya yang menjauh, kutarik dan kugandeng lagi lebih erat. Calvin menoleh kaget, nggak menyangka aku yang semula terus menghindar buat digandeng... justru sekarang malah menolak buat melepas.

Aku mendekat, menempelkan lengan ke lengannya sambil senyum selebar mungkin. Calvin tertegun sebentar, sebelum tersenyum geli dan kembali mempererat gandengan tangannya.

Sekarang aku baru sadar. Buat apa menjauh?

Calvin jauh lebih baik dibandingkan orang-orang tadi. Mereka yang mengaku baik dan suci... belom tentu mau membuka mata dan belajar mengerti gimana Calvin menjalani hidupnya. Dia yang diciptakan beda, dikucilkan dan dilukai orang-tua sendiri... justru tumbuh jadi pribadi positif dan nggak pernah berhenti menyebar kebaikan ke orang laen. Calvin yang aku tahu...

adalah yang seperti sekarang. Yang memilih restoran nyaman dilengkapi Piano, yang membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu, yang menarik kursi buatku dengan sopan dan baru duduk setelah aku terlihat nyaman. Calvin yang membaca sederet menu, memeriksa apa ada campuran bahan yang sekiranya bisa membuatku alergi.

     Tapi Calvin setahuku... juga adalah magnet buat cewek-cewek dan cowok-cowok di sekitarnya. Duh!

"Rekomen Appetizernya apa?" Tanya Calvin ke waitress yang berdiri di meja kami, cewek berkemeja putih dan berambut ekor kuda yang punya muka semanis apel. Ditanya begitu saja, waitress tadi sudah senyum-senyum sendiri. "Bruschetta olahan koki disini lumayan diminati. Kata customers, rasanya ajaib."

"Oh ya?"

"Meski nggak se-ajaib anda."

"Haha..."

Ih kampret, sempet-sempetnya dia nggombal ke Calvin. Tugasnya cuma nganter buku menu, nunggu pesenan dan nganter makanan, bukannya ketawa-ketiwi nggak jelas dan ngerayu pacar orang.

Ini bukannya sekali dua kali kejadian, dan aku lagi-lagi harus berhadapan dengan situasi nyebelin gini. Situasi dimana manusia-manusia haus belaian di sekeliling kami, sibuk ngelirik Calvin dengan tatapan genit. Mereka bahkan nggak menghiraukan aku yang ada di depan Calvin. Dasar... jablay massal!

     "Aku ke belakang." Ucapku ketus, beranjak berdiri dan melempar serbet makanku ke meja. Calvin yang lagi sibuk dengan buku menu, melirikku singkat. "Appetizernya, Cannellini Bruschetta?"     

"Terserah."

"Mau pake ekstra krim?"

"Bodo amat."

"Yussa..."

     Dengan dongkol, aku berjalan ke toilet cowok. Sebenernya kebelet kencing juga nggak, apalagi kebelet boker. Aku sendiri nggak tahu mau ngapain di toilet. Begitu masuk, kerjaanku cuma mondar-mandir di depan wastafel dan sesekali betulin rambutku yang jatuh berantakan kesana-sini. Susahnya punya rambut lurus yang nggak punya pendirian, lemes kalo nggak pake gel rambut.

Tapi... ngapain aku disini? Kok bisa aku sejengkel ini? Kurang kerjaan banget. Kurapikan kemeja dan celanaku, sebelum perlahan buka pintu dan berjalan keluar. Sampe di ujung koridor, kakiku berhenti sebentar. Siapa lagi itu??

Sekarang bukan lagi waitress yang ngendon di meja Calvin, tapi seorang cewek seksi dengan rok terusan merah yang bagian belah dadanya rendah banget. Mana dia rada nunduk pula! Sepertinya sengaja pamer aset yang sedege semangka. Nggak tahu ngobrol apa, tapi cewek itu sampe beberapa kali ketawa ngakak sendiri.

Calvin murahan banget sih! Cewek ini cewek itu diladenin semua!

***

     "Hai..." Tegur seseorang, mendadak muncul seperti setan. Aku menoleh kaget, baru sadar ternyata ada cewek disebelahku. Cewek dengan gaun hitam panjang dan rambut ikal yang terurai seperti putri duyung. Kulitnya putih terang dan senyumnya punya potensi bikin iman goyah. Tapi intinya... ini adalah cewek yang aku nggak kenal sama sekali. "Siapa ya?" Tanyaku dengan mood angus.

"Kamu yang duduk di meja 22, kan?" Tanyanya, menunjuk ke arah mejaku. "Kamu temennya si ganteng yang pake jas Armani abu-abu itu, kan?"

Kenapa lagi cewek satu ini? Masa' yang ini juga naksir Calvin, sih?

"Trus?" Tanyaku dengan nada ketus.

"Dia sukanya minum wine merk apa? Putih apa merah?"

"Kenapa?"

"Mau aku kirim ke meja kalian, buat kenalan aja..."

"Dia nggak suka wine. Sukanya arak oplosan." Jawabku asal saja mengarang dengan indahnya. "Jadi arak beras itu, kamu campur sama setengah gelas bensin, lotion anti-nyamuk, spiritus, sedikit racun tikus, sedikit oralit dan beberapa butir upil. Nah..."

     Si cantik mengerut jijik. "Masa' sih? Gantengnya kek gitu kok sukanya minum yang jorok gitu?"

"Itu karena gantengnya nggak asli." Selaku, mencoba meyakinkan dengan memintanya menatap Calvin seteliti mungkin. "Yang kamu lihat itu cuma ganteng fatamorgana. Seperti air di padang gurun yang abis kamu deketin, ternyata bukan air zam-zam tapi malah air kobokan sisa pecel lele yang nggak dicampur ama daun kemangi. Butek. Gantengnya temenku itu... ganteng palsu, hasil operasi di sana-sini. Hidungnya dulu pesek, bibirnya memble, matanya juling dan pipinya segede bakpao Chik Yen."

"Iiih... ngeri." Dengan muka miris, cewek itu melangkah mundur.

Satu orang menjauh dan kabur pergi, tapi gimana dengan sisa jablay-jablay yang laen? Aku nggak mungkin pake trik ngejelek-jelekin Calvin lagi, karena nggak semua segoblok putri duyung tadi. Mana si Calvin ramah pada semua umat pula! Bikin bete!

       Seperti orang yang hilang kendali atas otak dan gerak badan, kakiku reflek berjalan ke arah panggung kecil di ujung restoran. Kuhampiri pianisnya, yang asyik memainkan Prelude E-Minor op.28 nomor 4, Chopin. "Maaf, boleh saya gantikan bentar?"

Dia menghentikan permainan. "Anda pianis?"

"Saya mau maen buat seseorang."

"Ah... iya iya, tentu. Silahkan..." Dengan sopan, pianis setengah baya tadi minggir dan membiarkan aku ganti duduk. Dan dengan helaan nafas panjang, kuraba permukaan Essex Grand Piano hitam di hadapanku, seolah-olah memberinya perkenalan sebelum jari-jariku menyentuh tuts.

     Dimulai dengan nada-nada tinggi, sebelum disahut dengan alunan penuh... mengantar permainan ke sebuah sonata penuh rasa marah dan ketegangan.

Si pianis yang berdiri di dekatku, meringis serba salah. "Pak... itu kan lagu Prodigy-nya The Omen. Mana bisa anda main tema horror saat suasana makan-malam begini...?"

Biarrr. Biar pecahhh semuanya!

     Permainan horrorku mengundang perhatian seisi restoran, nggak terkecuali Calvin dan cewek barunya yang sibuk ngobrol. Si cewek seksi gaun merah tadi, langsung menoleh ke arah panggung piano dan menyibak rambut panjangnya dengan judes. "Siapa sih yang maen lagu horror di restoran bersuasana seromantis gini? Nggak tahu moment banget!"

Calvin terdiam, dibuat kaget sendiri dengan tindakanku yang nggak bisa diprediksi. Cowok klimis itu bersandar di kursinya buat sementara waktu, mengamati permainanku dengan senyum geli. Diperhatikan caraku main Piano yang kelewat serius. Dengan muka tegang, alis ditekuk, dahi mengerut dan mulut cemberut.

Suasana makan-malam romantis di restoran mewah itu, otomatis berubah tegang dengan lagu horror yang kumainkan.

Sambil geleng-geleng kepala, Calvin lalu beranjak berdiri dan berjalan menghampiriku. Diacuhkannya cewek genit di meja yang terus memanggil namanya agar dia balik lagi. Itu Calvin yang aku tahu...

Calvin yang demi aku, jangankan cewek itu... seluruh hingar-bingar dunia bisa dia tinggalin begitu saja. Seperti sekarang, dia memilih berdiri di sebelahku dengan sepasang mata teduh yang nggak bisa berhenti memandangiku. Senyum manisnya melebar, bersamaan gerak tangannya yang dengan sabar menyisir poni lemparku.

     Kepalanya menunduk sedikit. "Yussa... berhenti maen lagu horror gitu, orang-orang pada takut tuh."

"Biarin takut, biar pulang semua."

"Kan kasihan yang belom makan."

"Aku juga belom makan, nggak ada yang kasihan."

"Ya udah buruan makan." Calvin meraih tanganku, menjauhkannya dari tuts piano. "Itu makanannya udah datang."

Kurebut lagi tanganku. "Gimana mau makan kalo kamu terus aja dikerubutin cewek-cewek? Si waitresslah, si baju merahlah, si putri duyunglah, belom yang antri nunggu giliran pengen kenalan sama kamu. Berderet panjang kek iklan sinetron."

"Kalo kamu disana, nggak mungkin mereka deketin aku."

"Oooh jadi ini salah aku?"

"Bukan gitu..."

"Harusnya kamu yang sadar diri, nggak perlu pake diingetin."

Dan harusnya Calvin jengkel dengan sikap kekanakanku, tapi dia justru nggak bisa nahan diri buat tersenyum lagi.

     Calvin Nathanael Liem... belom pernah seumur hidup dibuat gemas sampe separah ini oleh seseorang. Diletakkannya salah satu tangan di Piano, sambil membungkuk sedikit.

Aku spontan melotot. "Mm... mau ngapain kamu?"

"Mau cium pacar." Jawabnya dengan nada menggoda.

Kugaruk muka gantengnya yang bandel. "Jangan aneh-aneh! Minggat sana jauh-jauh."

Calvin menggeleng. "Biar nggak diganggu, mereka harus tahu dulu kalo aku udah ada yang punya."

"Calvin! Nggak."

"Dikit aja."

"Nggak. Eh itu liat... ada Mbak Inul."

Calvin menghela nafas sambil menyisir poni lemparku ke belakang dan menahannya dengan jari-jari tangan kanan. "Cuma satu kali cium. Satu detik. Di kening sini."

      Aku diam, cuma bisa kedip-kedip bingung. Mau jawab apa kalo sudah gini? Cuma di kening kan? Ciuman di kening kan artinya universal. Kek Bapak cium anak, Mbah cium cucunya, majikan cium anjingnya... kek sentuhan sederhana saja. Nggak berbahaya kan?

"Yy... ya udah..." Mulutku kesetanan, mengiyakan gitu saja tanpa pikir panjang. Tapi meski kelihatannya santai, sebenernya di dalam aku sudah kebelet muntah. Grogiku sudah sampe ke ubun-ubun. Dengan badan Calvin membungkuk di sebelah saja, tanganku sudah gemeteran sendiri. Apalagi kalo sampe beneran dicium.

Kudongakkan kepala, siap buat dicium. Tapi begitu nafas Calvin terasa di kulitku, makin lama makin deket, aku buru-buru melek lagi. "Bentar bentar! Aku... berdoa dulu."

Calvin menahan sebisa mungkin buat nggak ngakak denger omonganku barusan. Dibiarkannya aku merem dan komat-kamit mengucapkan sederetan doa misterius. Beberapa detik berdoa, aku akhirnya kembali melek. "Kalo ntar jidatku agak becek gimana, itu bukan keringet, oke? Itu air bekas cuci-muka di wastafel."

Calvin manggut-manggut. "Hmm mm..."

"Siap? Oke...aku siap." Aku tanya dan jawab-jawab sendiri.

     Jantungku berdebar kencang saat dia kembali membungkuk dan mendekatkan bibirnya di dahiku. Satu... dua... ti...

Eh...? Lho...apa ini...

Ada sesuatu yang nempel, tapi bukan di jidatku deh kelihatannya. Ini nempel kalem di kulit bibirku. Nempel sedikit, trus pelan-pelan ditekan dan memenuhi keseluruhan bibir atas dan bawah. Awalnya cuma diam saja, tapi perlahan bergerak... memaut dan membuat bibir keringku seketika jadi lembab.

Bersamaan dengan kedua mataku yang nekad kubuka, debar jantungku berhenti seketika. Deg! Wajah Calvin, mendadak sudah menempel dengan wajahku. Pembohong lihai itu, ternyata sedang mencium bibirku!

     Aku... musti gimana...

Ini mimpi apa bukan? Aku terlalu shock buat bereaksi. Badanku mematung seperti es dan urat-uratku menegang. Ini... gimana...

Aku bisa saja jatuh kebelakang karena lemes dan kehilangan keseimbangan, kalo tangan Calvin nggak buru-buru menangkap punggungku dan mengembalikanku ke posisi duduk semula. Dia melepas ciuman perlahan-lahan, menjauhkan bibirnya beberapa centi sebelum mengakhiri dengan satu kecupan singkat di ujung hidungku. "Ribuan kali..." Bisiknya. "Ribuan kali aku udah cium bibir kamu dalam mimpi. Rasanya sama persis. Sedikit manis gula, sedikit masam lemon, sedikit dingin November. Trus juga sedikit... pleuvoir."

Ucapannya seperti hawa yang menenangkan. Membuatku yang masih diserang shock, perlahan bisa sedikit tenang. Lagipula menatap mata coklatnya sedekat ini, aku sudah nggak bisa perduli apa-apa lagi. Nggak bahkan seisi restoran, yang heboh sesudah nonton pertunjukan ciuman gratis di panggung piano barusan.

     Calvin tersenyum dan berdiri tegak lagi. "Sekarang dijamin, nggak bakal ada lagi cewek atau cowok yang masih mau sama aku. Apalagi sama kamu..."

Heh? Ekspresi terlenaku berubah jadi linglung. Maksudnya apaan? Apa cuma gara-gara itu dia cium aku? Bukan karena dia ada rasa atau apapun yang khusus, tapi beneran cuma buat ngusir para jablay di sekeliling kami? Cuma itu aja?! Apa dia nggak sadar, aku hampir muntah saking groginya? Itu kan ciuman pertama kami! 

     Melihat Calvin yang begitu selesai menepuk ringan pundakku, kemudian dengan santainya berjalan pergi... aku dibuat terpaku di tempat. Apa ini hal biasa buat dia? Apa nggak ada efeknya sama sekali? Kenapa masih bisa tebar senyum ke orang lain, seolah-olah nggak terjadi apa-apa barusan?

Apa dia beneran nggak sadar? Apa cuma aku yang ngerasa duniaku sudah dibuat goncang sedemikian hebatnya karena sederetan kejadian di kencan malam ini?

Masih duduk di kursi Piano, dengan mata yang terus memandangi Calvin, jari-jari yang gemetar karena reflek, dan bibir yang mati rasa... nafasku terhela lemas. Seperti berada di lautan, terombang-ambing di sekoci kecil yang ringkih... aku mengalami mabuk laut yang berkepanjangan. Rasa mual di perutku, makin lama makin menyiksa. Apa bener... cuma aku?

***

Bab 6. Prioritas Siluet

    Pak Suryo membuka pintu mobil untuk aku, menyambutku dengan senyum ramah sebelom menoleh ke Calvin. "Mobilnya langsung saya taruh garasi, Ko?"

Calvin memberikannya kunci mobil. "Pagi besok jangan lupa dicuci ya, Pak? Sama... sekalian tolong bilangin Mbok Dhar buat bikin segelas susu putih anget."

"Buat Koko?"

"Yussa."

"Oh... iya iya."

Calvin menghampiriku yang sudah nunggu di teras, sambil tersenyum simpul- dia menyentuh ujung hidungku dengan jari telunjuk. "Sepanjang perjalanan pulang kok diem aja? Capek ya?"

Aku diem saja, membiarkannya menggandengku masuk bareng ke dalam rumah. Suasana sepi banget di ruang tengah, semua orang pasti sudah ngorok di kamar masing-masing. Tinggal kami yang kek maling, diem-diem berduaan masuk kamar. Calvin pun kelihatan jauh lebih capek daripada aku, mukanya agak pucet dan nafasnya lebih berat dibanding biasa. Wajar sih... nemenin Om Liem kerja seharian, trus pulangnya masih ngajak aku kencan.

Gitu masih sempet cerewet nyuruh aku habisin susu putih yang dianter Mbok Dhar, sementara dia sendiri ribet nyiapin air anget buat aku mandi.

     Meski males, tapi setelah giliranku tiba, pada akhirnya aku malah berlama-lama di kamar mandi. Sibuk ngelamun sambil berendam sampe jari-jariku keriput. Barang-barang disini, semua punya aroma Calvin. Baik odol, sabun, shampo sampe krim cukur. Semua bikin nyawa melayang dan mulut senyum-senyum sendiri. Kalo misalnya aku curi satu atau dua, kira-kira ketahuan nggak ya?

Begitu keluar, pemandangan pertama yang aku lihat adalah Calvin yang sibuk beres-beres di dekat lemari pakaian. Dia sedikit melirikku, sambil masih melipat-lipat baju. "Baju yang udah kering, tadi aku masukin tas." Ujarnya teliti. "Tas lamamu ditinggal disini aja, ini aku ganti pake punyaku. Louis Vuitton edisi lama sih, tapi masih kuat dan awet kalo buat travel pendek."

Aku yang bermahkotakan handuk, berkaos dan bercelana kolor hasil minjem... mendekat dengan muka males-malesan dan duduk di kasur. "Besok... jadi pulang?"

Calvin menutup tas. "Pagi-pagi. Aku masih ada urusan."

"Urusan apa? Kerja?"

"Bukan, urusan pribadi."

"Aku ikut."

"Nggak bisa." Gelengnya. "Ini sesuatu yang mau aku kerjakan sendirian, nggak boleh dibantu orang. Penting banget."

     "Apa buat rumah singgah?" Tanyaku, masih saja nggak bisa nahan penasaran. "Aku ikut nyumbang dikit, boleh kan?"

"Boleh." Calvin menoleh. "Mau nyumbang apa?"

"Buku musik buat Ipo, sama kuteks buat si tokek."

"Siapa tokek?"

"Bocah yang dandanannya kek kue lapis."

"Ah... panggilannya Deborah."

"Cuih... berat banget, pasti dia ngarang sendiri." Ejekku.

"Iya." Calvin tersenyum. "Umurnya masih 16 tahun, remaja transgender yang suka mangkal di terminal. Buat anak transgender seperti Deborah, susahnya lebih terasa. Sejak kecil udah makan bully-an dari temen-temennya sendiri, dilempar batu dan sampah. Untung aja mentalnya kuat."

*

     "Si tokek... kesian juga." Ekspresi jutekku, otomatis berubah jadi campuran antara simpatik dan sedih. "Oh ya, sampe lupa. Sejak kapan kamu pake namaku buat nyumbang ke rumah singgah?"

Calvin menjawab, tapi nggak noleh. "Sejak kita deket."

"Kenapa?"

"Kamu tahu kenapa."

"Nggak tahu."

"Kamu tahu." Celetuk Calvin. "Tahu tapi nggak mau tahu."

Itu kan kesimpulannya sendiri. Kenyataannya, aku memang bener-bener nggak tahu. Apapun yang diucap dan diperbuat Calvin, kadang bener-bener sulit diterka maksudnya.

     Calvin menghela nafas, melepas handuk dari rambutku dan meletakkannya di gantungan. "Yang penting... kamu tahu tentang duniaku. Dan kamu bahkan ikut nolong anak-anak disana."

"Aku nggak bisa bayangin penderitaan mereka..."

"Mereka bisa bertahan, Yu."

"Iya, tapi...anak-anak sekecil dan semuda itu..."

"Semua anak, punya kisah sendiri-sendiri." Ujar Calvin sambil bersandar di lemari. "Kisah yang orang laen mungkin nggak mau dengar, karena terlalu pedih. Dunia mereka rusak dan jahat, tapi saat dilewati bareng-bareng... beban terasa lebih enteng. Lubang kosong dan trauma di hati mereka, bisa kita isi dengan buku-buku, mainan dan perhatian. Itulah untungnya jadi anak kecil."

Trus...

Aku menggumam dalam batin. Trus gimana dengan lubang dan trauma di hati kamu sendiri? Apa dan siapa yang bisa sembuhin luka separah itu? Dipukuli, diusir, dikucilkan, diejek...

     Dengan ragu, aku beranjak dari kasur dan melangkah mendekati Calvin. Aku berdiri sebentar di depannya, terdiam ragu-ragu selama beberapa detik sebelum perlahan masuk ke dalam dekapannya begitu saja. Dibandingkan dengan keraguanku, rasa haru atas kisah hidup Calvin jauh lebih besar.

Dan memeluk dia seperti ini... terasa benar buat dilakukan.

Kusandarkan kepalaku di bahunya dan kurangkulkan kedua tanganku di pinggangnya. "Sori..." Bisikku pelan, membenamkan mulutku ke bidang pundaknya. "Sori karena selalu ngerepotin."

Calvin yang sedikit kaget, mencoba memproses situasi. "Ngomong apa kamu..."

"Juga, makasih."

"Buat apa?"

"Buat malam ini." Gumamku. "Jalan di trotoar panjang, ngobrolin musik, makan enak, nonton teather musikal, dan terus gandengan tangan sampe keringetan... semua terasa enak kalo sama kamu. Cuma sama kamu, aku baru bisa ngerasa senyaman ini."

     Bisa kurasakan tangan Calvin, sedang membalas pelukanku. Dia mendekap erat banget dan membuatku kehilangan kata-kata. Perasaanku saat ini, nggak bisa dijelaskan dengan kata atau kalimat. Ingatan tentang sosok Calvin yang menyetir dan diterpa sinar senja, lambaian perpisahan anak-anak di rumah singgah, hangat gandengan tangan Calvin, derita yang dialami Ipo kecil, lembut permukaan kulit bibir Calvin, dan juga lagu nada tinggi yang dinyanyikan Othello...

nggak ada satu pun bahasa yang layak mewakili semua itu.

Calvin mengerutkan kening heran. Dia perlahan merenggang, menjauhkan wajahnya sesaat untuk bisa memandangku lebih jelas.

Nafas berat dan gerak bahuku membuatnya curiga, jadi dia merasa perlu memastikan sendiri. "Yussa, hei...?" Calvin kaget melihatku. "Kenapa nangis?"

Tenggorokanku tercekat, nggak ada suara yang bisa keluar kecuali serak dari hidung. Kebingungan dan kepastian perasaanku, dalam bentuk kata dan kalimat, sudah diwakili dengan air mata.

     "Yussa..." Bisik Calvin dengan helaan nafas panjang, cemas melihat air-mata yang bersautan keluar dari kantung mata dan membentuk rute goyah di pipiku. "Sayang..."

Aku bukan cowok yang cengeng, bukan jenis yang mudah kebawa perasaan dan membiarkan rasioku kalah. Tapi sederetan kejadian hari ini sudah membuat sedihku meledak-ledak. "Aku nggak tahu diri banget." Gerutuku. "Aku punya hidup yang jauh lebih enak dan beruntung dibanding anak-anak di tempat Martin, tapi aku selalu ngeluh. Aku malu sama mereka, malu juga sama kamu."

Calvin tersenyum. "Kenapa malu sama aku?"

"Karena kamu..." Kuhentikan nangis tololku. "Kenapa nggak pernah cerita? Kenapa nggak pernah kasih tahu, kalo kamu dulu pernah dipukuli sama Om Liem sampe masuk RS? Kenapa nggak pernah berbagi trauma segitu parahnya? Kenapa nggak pernah cerita ke aku? Pasti sakit banget, kan? Dipukuli ditendang sampe patah tulang sana-sini. Pasti sakit..."

Calvin tersenyum. Melihatku mengkhawatirkannya, membuat senyumnya makin lama melebar. Tapi melihat wajah bego campur ketulusanku, lama-lama membuat senyum manis itu memudar. Dengan satu tarikan nafas, dia tiba-tiba saja maju dan mengecup bibirku. Satu kali. Dengan kecepatan kilat.

*

     Maling! Mataku mendelik kaget, bibirku panas seketika. Aku menutup mulut pake dua tangan, memblokir celah dimana dia bisa saja kesurupan dan ambil kesempatan.

Tapi sorot matanya sudah terlanjur beda. Kelembutan mata coklat itu, sudah berganti dengan sinar tajam yang membuat jantungku berdebar kencang. Kepalaku pelan-pelan menunduk ke bawah dan kakiku bersiap-siap kabur, tapi dengan cepat Calvin menangkap kedua tanganku dan menghempaskan badanku ke lemari.

"Yussa..." Dia memojokkan, menempelkan badan kuatnya ke badanku yang mematung nggak berkutik. Sesekali aku berusaha berontak, tapi tenagaku masih saja kalah. "Yussa, sayangku..."

Ada yang aneh sama badanku. Otakku jelas-jelas menentang situasi ini, tapi nggak tahu kenapa aku mengalah waktu Calvin meringkuk meraih bibirku sekali lagi. Bibir basahnya menempel, menekan dan bergerak penuh nafsu... jauh lebih memaksa dibanding ciuman pertama di restoran tadi. Dua tangannya mencengkeram leherku seperti mangsa, menahanku dari resiko penolakan.

Aku nggak membalas, tapi sama sekali nggak menolak. Bisa kurasakan bibirku perih, karena dipaut berulang kali tanpa diberi waktu istirahat. Badanku makin ringan dan tanganku seolah secara otomatis terangkat untuk berpegangan di lengannya, sebelum aku jatuh pingsan.

     "Yussa, bibir kamu..." Bisiknya lirih, berhenti menciumku sebentar seraya menjilat permukaan bibir bawahku dengan lidah basahnya. "Bibir macam ini, harusnya sering dicium. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik..."

Omongan macam apa itu? Kenapa omongan senakal dan sepanas itu bisa keluar dari mulut malaikat seperti Calvin? Dan kenapa pula aku yang mati-matian bersikeras kalo aku bukan gay, malah mengangkat daguku dengan sendirinya saat dia balik mendekat?

Mungkin karena rayuannya, mungkin karena suasana malam, mungkin karena efek kesempurnaan wajah ganteng Calvin dan hangat suhu badannya...

Aku seperti tersihir.

Ini sudah bukan lagi masalah cowok atau cewek, sama sekali bukan. Ini karena Calvin. Justru karena Calvin, makanya aku nggak bisa menolak. Karena cuma sama Calvin, ini serasa seperti ciuman pertama. Seperti ratusan kupu-kupu di perut akhirnya terbang bebas dan kembang api terdengar meletup-letup di atas kepalaku.

     Merasakan badanku yang limbung, tangan Calvin menyangga punggungku. Aku mencoba membalas seadanya, tapi dia jauh lebih ahli mencium dibandingkan aku. Bibirnya seperti punya metode sendiri, setiap lengkungan berarti, setiap celah, setiap nafas yang terantar...

Lidahnya... lidahnya yang terbiasa menggumam kata-kata sopan, kali itu bergerak kasar. Benda lunak itu memaksa menerobos ke dalam mulutku, menjelajahi ruang dan menikmati rasa gigi, gusi, hingga akhirnya menemukan lidah pasifku.

Dengan ahli, lidahnya membalut dan menggoda lidahku di dalam, meliuk-liuk mengirimkan sengatan listrik yang membuatku lemas seketika. Ini bahaya... kalo diterusin, aku bakalan kehilangan kontrol! Detik ngagetin disaat Calvin tiba-tiba menarik air liurku dalam ciumannya dan menelannya mentah-mentah, adalah detik dimana aku spontan mendorongnya mundur. "Uu... uddahh..."

Kakinya mengantar badan tegapnya melangkah mundur, tapi matanya tetap terfokus tajam menatapku. Nafasnya terengah-engah, hampir kehabisan seperti nafasku sendiri. Badan tingginya menengang hebat, mati-matian menahan keinginannya buat maju lagi menyerangku. Berusaha kabur, aku langsung melompat ke atas tempat tidur dan sembunyi masuk selimut. "Ayo tidur aja!" Seruku. "Ntar digigit macan!"

Jantungku nggak mau diajak kompromi, debarannya kenceng banget sampe terdengar telinga. Bahkan di dalam selimut, tangan dan bibirku masih gemetar dengan hebatnya. Efek ciuman tadi, nggak akan mungkin bisa mudah hilang.

     Calvin melangkah pelan, dengan sabar naik lagi ke atas kasur dan duduk di sebelahku. Aku memang nggak bisa melihatnya, tapi bisa kurasa dan kudengar kalo nafasnya sekarang jauh lebih teratur.

Yakin situasi sudah kembali aman, aku membalikkan badanku biar bisa memandangnya langsung. Masih dibuntel selimut yang cuma dibuka di muka, aku yang seperti pocong, memandang Calvin yang duduk dan menatap kosong ke arah nggak jelas.

"Jangan marah." Tegurku. "Aku... bukannya nggak mau ciuman."

"Aku tahu."

"Aku cuma takut aja."

Calvin menoleh dan tersenyum. Sorot mata seremnya sudah berubah sekarang, balik kalem lagi. "Aku ngerti. Dan yang kamu lakukan tadi bener. Kalo kamu nggak nolak aku, kamu akan lihat sisi jelekku dan masalah bisa jadi lebih ruwet lagi. Cuma karena iseng jadian dan satu kesalahan, malah ngerusak semua hubungan. Hubunganmu sama Michelle, hubunganku sama Michelle dan juga hubungan temenan kita."

     Tapi aku bukan temenmu... batinku. Aku pacarmu.

Meski cuma sisa sebentar, bukannya statusku masih pacar Calvin? Kebersamaan selama sehari ini tadi, apa nggak berkesan apa-apa buat dia?

Kenapa dia tega banget bilang kalo jadian kami cuma iseng dan ciuman tadi cuma satu kesalahan? Aku memaksakan mataku buat merem, karena perihnya sudah mulai nggak tertahankan lagi. Rasa perihnya sama seperti yang dirasakan oleh hidungku, juga hatiku.

Memiliki Calvin dan dimiliki sama Calvin, meski beberapa jam saja... aku nggak menyesal sama sekali. Tapi, kenapa cuma aku? Kenapa cuma aku yang ngerasa seperti itu?

*

12.37 pagi...

Capek rasanya, tapi Calvin belum juga bisa tidur. Dia masih duduk dan memperhatikanku yang nyenyak di dalam selimut. Dia tahu aku pasti capek karena seharian sudah disuruh-suruh keluarganya buat bantu-bantu, trus sore sampe malamnya masih harus keluar kencan. Melihatku akhirnya istirahat, membuatnya sedikit lega.

"Dua, Mas..."

Hah? Calvin mengerutkan kening mendengar suaraku barusan. Dia menunduk dan mencoba mendengarkan lagi, gigauan anehku dalam tidur. "Yang ada telor puyuhnya..." Erangku dengan mulut monyong-monyong. "Pake... saos kacang..."

     Calvin tertawa kecil, nggak bisa menahan diri buat langsung meringsut turun dan berbaring tepat di sebelahku. Tangannya menyisir dan merapikan rambutku, menyingkirkan poni lemparku yang menusuk-nusuk kelopak mata. "Mimpi makan apa kamu?"

"Ranger ijo... sana! Bunuh monster Curutnya..."

"Jadi Power Ranger?"

"Gan... dalf... kembang apinya satu... dong."

"Sekarang jadi Frodo?"

"Eh Bob! Pesawat lewat, Bob!" Ngingauku tambah ngawur, pake angkat-angkat tangan pula. "Pak Hartooo!! Minta duitnyaa!!"

Mata Calvin sampe merem nahan tangis, mukanya juga jadi merah padam karena geli. Cuma butuh waktu tiga detik sampe akhirnya tawa cowok ganteng itu meledak, membuatnya ketawa terpingkal-pingkal di atas kasur. Dan herannya meski dia banyak gerak, tapi aku tetep nggak bergeming dari tidurku.

     Keningku malah mengerut makin kuat, ekspresi muka senengku seketika berubah judes. "Nngh... jangan deket-deket..." Erangku.

Mendengarku, tawa Calvin pelan-pelan mereda. Meski masih berusaha mengontrol nafas, tapi dia buru-buru konsentrasi dengan gigauanku yang sekarang.

"Sana... jangan deket-deket... ini pacarku..." Gigauku, gelisah dan susah dalam tidur. "Calvin... Calvin pacarku..."

Apapun yang ada di mimpiku, membuat Calvin diam. Terdiam lama banget sambil kembali mengatur posisi tidurnya, berhadapan langsung dengan mukaku. Jari telunjuk kirinya terangkat untuk meraba wajahku dengan haru...

dari kelopak mata renggangku, hidung mancungku yang sedikit bengkok, sampe ke bibirku yang tipis dan nyebelin. Jari Calvin berhenti disana, sebelum bersarang di daguku. "Sayangku..."

Dia berbisik lirih, mendekat dan memberi satu ciuman di bibirku untuk beberapa detik. "Aku harus gimana sama kamu..." Dia menyingkap selimut, menyelipkan tangannya di belakang kepalaku dan menyeretku yang sedang pulas- agar bisa tiduran di dalam pelukannya. Dengan kepalaku yang sudah berebah di atas dada bidangnya dan tanganku yang otomatis langsung memeluk perutnya begitu saja...

Calvin tersenyum.

Dia tahu kalau di pelukannya, aku bisa lebih nyaman. Dan dia tahu dengan memelukku dan menenggelamkan bibirnya di rambutku... kegelisahannya sendiri juga akan reda.

     Sudah lewat masa pacaran kami.

Dia bukan lagi punyaku dan aku nggak lagi dimiliki oleh Calvin. Tapi ada sesuatu dalam kebersamaan kami, yang memastikan kalau sejak malam itu... nggak akan ada yang sama lagi. 

***

     Jam berapa sekarang?

Dari cahaya yang masuk lewat jendela, dan membuat sinar kotak-kotak di mataku... aku baru sadar kalo pasti sudah pagi. Aku menggeliat mengusir kantuk dan pegel linu, sambil menoleh ke arah samping. Pemandangan yang tersisa cuma bantal guling yang tersusun rapi. Kemana orang itu? Aku ditinggal lagi?

Bangun tidur dengan nggak ada Calvin di sebelahku, mulai bikin mood jelek. Mataku merem-melek, hidung kembang-kempis dan mulut mulai sewot. Kenapa nggak mau sekalian bangunin sih?

Dua hari ini seperti waktu yang panjang, tapi juga pendek. Kerinduan selama bertahun-tahun, jelas nggak mungkin terbayar cuma dalam hitungan hari. Itu sebabnya begitu kami berpamitan pulang di halaman, Tante Liem nggak bisa berhenti memeluk putranya sambil nangis terisak-isak. Dan meski Calvin sudah nggak nangis seperti awal datang tempo hari, aku masih bisa melihat matanya berkaca-kaca.

     Tapi siap nggak siap, kami tetep harus pulang. Aku tetep harus masuk mobil, Calvin tetep harus nyetir dan kami tetep harus melalui perjalanan panjang sampe ke kota.

Ada yang berubah dari Calvin. Mungkin efek karena pisah lagi dengan keluarganya. Tapi yang jelas, dia kelihatan berbeda.

Sepanjang perjalanan dia terus diem. Matanya fokus menatap ke depan dan kedua tangannya memegang setir dengan kaku. Dia nggak berusaha memulai obrolan atau bahkan sudi buat melirikku sama sekali.

Hidungku yang mulai meler karena cuaca, kugosok-gosok sendiri sampe merah. Dengan mata yang sesekali melirik Calvin, tangan kananku meraba-raba dashboard dan membukanya. Aku berharap nemu kotak tissue yang nggak kelihatan dimana-mana.

     Kotak tissuenya sih ketemu, tapi tanganku juga nemu sesuatu yang kecepit di bawahnya. Ada dompet passport warna hitam yang ditumpuk dengan beberapa dokumen, semua pake bahasa Perancis. "Kok passportmu disimpen disini? Kok nggak di rumah aja? Kecuali... kamu ada rencana pergi keluar negeri. Perancis?"

Calvin bergeser cuma buat ambil tissue dan meletakkannya di pangkuanku, trus dia tutup lagi dashboardnya. Aku yang masih penasaran, memilih tetep fokus. "Kamu mau ke Perancis lagi? Buat urusan apa? Kapan? Kenapa nggak pernah cerita?"

Malah makin diem.

"Cal." Panggilku, dengan suara lebih lirih. "Calvin..."

Dia tetep nggak menjawab, seperti tahu kalo arah pembicaraanku bener-bener nggak jelas. Tinggal aku sendiri, dalam duniaku seperti biasa, memandanginya yang seperti makin nggak tergapai.

     Angin kencang dari jendela mobil, mengacak rambut lurusku dan menerpa dingin pori-pori mukaku. Kepala kusandarkan di jendela, dengan mata menerawang jauh ke arah pepohonan yang terlewati satu persatu. Lewat... lewat... lewat... kenapa cepet banget? Kenapa nggak bisa lebih lamban agar kami bisa di mobil lebih lama?

Calvin... otakku menggumamkan nama itu lirih banget sampe jadi satu tertelan bising angin. Memanggil dia yang menjauh. Calvin...

***

     Pleuvoir akhirnya tampak mata. Butik itu masih terlihat rame oleh pengunjung, meski langit sedang mendung berat. Dia minta diantar kesana daripada ke rumahnya, karena masih mau kelarin urusan setelanku. Mobil diparkir agak jauh dari biasanya, Calvin sengaja mengatur agar aku lebih gampang nyetir pulangnya nanti.

Dia menutup pintu mobil dan berjalan menghampiriku yang sudah lebih dulu turun. "Langsung pulang, jangan mampir kemana-mana dulu. Hidungmu udah merah gitu, mending dipake istirahat."

Aku menengok Pleuvoir. "Apa aku boleh ikut masuk?"

"Nggak boleh, setelanmu masih belom jadi."

"Liat dikit aja."

"Nggak." Cegah Calvin, terlihat tegas melarangku. "Nggak usah."

Bener-bener segitunya nggak mau dibarengi masuk Pleuvoir, padahal kan aku nggak mungkin ganggu dia kerja. Aku cuma mau duduk di jendela sambil lihatin mukanya waktu benerin baju di manekin. Rasanya belom rela disuruh pulang dan pisah gitu saja.

     Tapi... kalo dipikir-pikir lagi, pisahnya kan cuma bentar? Siang ini aku pulang, tapi malamnya aku masih bisa nyetir ke rumahnya Calvin. Frekuensi ketemu masih bisa sesering yang dulu. "Oh iya... besok mau makan siang dimana?" Tanyaku, kembali semangat kalo udah waktunya milih tempat makan.

Calvin menggeleng. "Besok aku ada janji sama klien."

"Ya udah, kita makan malam aja."

"Urusanku sampe malam."

"Lusa kalo gitu."

"Lusa juga nggak bisa."

"Kenapa lagi sih?" Protesku, mulai ngerasa ada yang nggak beres dengan sikapnya yang sepagian terlihat melankolis. "Kamu sibuk? Kalo nggak bisa diluar, ya udah gapapa, aku kan masih bisa nyetir kesini temenin kamu makan."

     Meski aku ngotot, Calvin masih menunjukkan muka lempeng dan cuma bisa menarik nafas panjang. "Yussa, makasih. Makasih udah memuin aku lagi ama keluargaku, itu sesuatu yang aku nggak mungkin bisa lupa. Hutang yang nggak mungkin bisa aku bayar. Tapi sekarang, aku minta... kamu lebih fokus ke hidup kamu sendiri. Bentar lagi kamu ada makan-malam keluarga dan nggak menutup kemungkinan kalo kedua belah pihak setuju, hubungan kamu sama Michelle bisa diresmikan. Michelle nantinya bukan lagi cuma pacarmu, dia tunanganmu."

"Apa hubungannya Michelle ama jadwal makan siang kita?"

"Ada hubungannya."

"Nggak ada."

"Ada!"

Bentakan dari mulut Calvin, spontan membuatku diam. Dia hampir nggak pernah pake nada tinggi di depanku, kecuali disaat aku memutus komunikasi dulu. Wajar kalo aku kaget.

     "Setelanmu..." Dia menunduk, berusaha menyembunyikan apapun yang ditahan sama mata dan wajahnya. "Kalo setelanmu selesai, biar karyawanku yang nganter ke rumahmu buat nge-pas atau betulin apapun yang kurang. Itu jadi kado dan pemberian terakhirku buat kamu, karena aku minta... mulai hari ini, kita nggak usah ketemu lagi. Jangan datang ke Pleuvoir dan jangan juga datang ke rumahku."

Apa...apa maksudnya?

Dadaku seperti dihantam palu, mendengarnya bicara seperti itu dengan lancarnya- tanpa berhenti sesaat pun buat menahan nafas.

Otakku sulit mencerna, sama dengan jari-jari yang gemetar tanpa alasan. "Kamu ngomong apa sih? Aku... aku salah apa? Apa aku bikin salah di depan keluarga kamu? Kapan? Dimana? Kalo aku salah, aku minta maaf. Aku minta maaf, oke? Maaf..."

"Sampe disini aja."

"Maaf... Calvin, maaf..."

"Yussa."

     "Bukannya kemaren masih baek-baek aja? Kenapa mendadak jadi aneh gini? Aku nggak mau. Aku masih mau ketemu sama kamu!"

Mataku berair, seperti mengumpul di permukaan dan tinggal menunggu detik yang tepat untuk meledak keluar. Hidungku yang memang tadinya sudah pilek, sekarang jadi makin perih. Seperti hentakan hebat, perubahan sikap Calvin membuatku mematung.

"Besok aku yang jemput." Aku memelas, meraih tangan kiri Calvin. "Kalo di rumah, biar aku yang masak. Kalo makan diluar, biar aku yang traktir. Kalo kemana-mana, biar aku yang nyetir. Aku nggak akan cerewet lagi, nggak akan lupa telfon ato bales pesen kamu, nggak ngerepotin lagi...aku nggak..."

Sebelum satu butir air mata sempat menetes, Calvin lebih dulu mengusap kantung mataku dengan jempolnya, seperti tahu kalau darisana tangisku akan dimulai. Telapaknya bersandar di pipiku, mencoba menghangatkan kulitku yang kedinginan.

     "Yussa..." Ujarnya tersendat. Seperti ada ribuan kata yang mau disampaikan, tapi berakhir cuma dengan ucapan sederhana yang sukses membuatku bungkam. "Aku suka sama kamu..."

Mata lembabku terbuka lebar, menatap Calvin yang sedang putus asa menatapku. "Aku suka banget sama kamu..."

Masih kaget, kepalaku menggeleng pelan. "Nggak mungkin. Kamu sendiri yang bilang, kalo kamu nggak mungkin suka sama aku."

"Aku bohong." Jawabnya. "Alasan biar kamu nggak takut."

"Sejak kapan..."

"Sejak lama. Sejak awal. Sejak pertama ketemu..."

     Kepalanya tertunduk lesu. "Aku tahu kamu straight. Aku juga tahu kamu pacar Michelle dan aku tahu pasti posisi nggak pentingku di hidup kamu. Aku tahu, tapi aku tetep nekat. Dan makin lama, rasa sukaku ini makin egois, makin tamak, makin serakah..."

Tangannya turun, dijauhkan dari pipiku. "Aku nggak mau rasa macam ini diterusin, bisa bikin repot semua orang. Terutama kamu. Kamu... nggak layak mengalami susah karena kebodohanku. Kamu harusnya hidup seneng, jalani hari-hari sama Michelle dan temen-temenmu. Jauh dari orang seperti aku."

Kaki Calvin melangkah mundur beberapa jengkal. Dia memaksa wajahnya untuk tersenyum, meski kebaca dengan jelas dari mata dan badannya yang ragu-ragu menjauh... dia sedang hancur.

Jangan menjauh. Tunggu sebentar. Mulutku yang terkunci mati karena shock dan tanganku yang nggak bisa menangkapmu... tunggu barang sebentar sampe kesadaranku pulih. Jangan mundur dan menjauh dulu...

"Au revoir..." Dia tersenyum sebentar sebelum membalikkan badan dan berjalan pergi. Dia memberi pemandangan punggung luasnya yang membuatku makin merasa limbung. Makin detik makin menjauh.

     Punggung yang baik... wahai punggung, berbaik-hatilah dengan mengantar pemilikmu berbalik dan kembali berjalan ke arahku. Aku meminta dan memelas. Punggung yang baik...

Tapi postur badan tegap Calvin, menjulang dan membentuk siluet yang perlahan menghilang masuk ke dalam Pleuvoir. Dan seiring dengan perpisahan aneh ini, melodi di kepalaku menghilang.

***

Malam Men's Club...

Angga menyenggol lengan Ruben, membuat si cowok hitam nggak manis yang sedang keasyikan melahap semangkanya itu, menoleh dengan mata lebar. Angga mendekat. "Si Yussa kenapa lagi? Kok semangka di piring, dianggurin? Kan nggak tiap hari Bobi kasih kita cemilan. Liat mukanya, loyo banget kek perlu dirukiyah."

"Sejak pagi udah gitu." Jawab Ruben cuek. "Tadinya aku pikir dimarahi si botak, tapi nggak juga tuh. Kan mau dinner."

Ron tiba-tiba ikut nimbrung, nempel gitu saja di bahu Angga sambil nyemil keripik kentangnya. "Harusnya seneng dong mau ditemuin ama camer? Kok malah mukanya asem kek ketek Bobi yang keringetan en banyak jerawatnya?"

"Ron, plis cuplis!" Ruben spontan protes. "Lagi makan nih."

"Oh sori sori..."

     Angga mengamati polahku yang lagi manyun di pojok, sambil menggumam. "Ini pasti ulah Michelle. Yussa pasti disuruh beli-beli barang merk lagi. Tissue toilet dari sutralah, odol satu jutaanlah."

"Michelle nggak gitu." Ruben tiba-tiba memotong. "Kalo kelewat mahal, dia pake kartunya sendiri kok. Michelle kan wanita karier."

"Ben, bandar arisan dan re-seller Hermes itu bukan karier."

"Apalah- pokoknya bukan salah Michelle."

"Kamu kok belain Michelle ampe segitunya? Naksir?"

"Sss... siapa yang naksir??" Muka item Ruben celingukan, salah tingkah sendiri. "Aku cuma mau bilang kalo alasan seneng dan sedihnya Yussa, bukan Michelle. Sejak awal pacaran, Michelle bukan orang penting buat Yussa."

     Ron buru-buru memukul lengan Ruben. "Hush! Yussa denger tuh!"

"Nyawanya lagi ilang, rumah ini di-bom pun dia nggak bakalan bisa denger."

"Masa' sih?"

Untuk membuktikan, Ruben lalu menggigit semangkanya dengan santai. Dia mengunyah sebentar, sebelum meludahkan satu biji semangka dari mulutnya, terlempar dan nancep langsung ke jidatku. Aku yang lagi bengong, diam nggak bereaksi sama sekali. Mataku menatap kosong ke depan dan badanku tergolek lemas seperti balon kempes.

Sekali lagi Ruben melepehkan bijinya semangka ke mukaku. Kali ini, nempel pas di bawah hidungku jadi mirip upil. Aku yang semula melamun, akhirnya melirikkan mataku ke muka tengik Ruben. Tapi alih-alih ngamuk dan memaki si rambut Indomie kari ayam itu, aku cuma bisa menghela nafas panjang dan balik lagi melamun.

Ruben angkat dua alisnya dan merem. "Tuh kan?"

"Kok parah gitu?" Angga mengerut heran. "Coba lempari yang lebih gede lagi? Lempar semangka utuhnya aja sekalian, masih bisa cuek nggak dia?"

Aku sebenernya denger niat iblis si Angga, tapi sebelom aku sempet buka mulut untuk membalas ocehannya, perhatianku lebih dulu beralih ke Bobi dan Alex yang akhirnya masuk lagi ke ruangan.

     Dibelakang mereka, ada seorang cewek cantik berseragam putih dengan logo Pleuvoir di bagian saku depan. "Mbaknya tadi sempet nyasar, untung kita nunggunya di depan blok." Kata Bobi, sambil melepas jaket parasitnya. "Buruan ganti baju sana."

Aku manggut-manggut, beranjak dari dudukku dan berjalan mengambil tas berisi kardus setelan dari Pleuvoir. Melihatku yang berdiri membungkuk dengan ekspresi lempeng, Alex spontan mendekat. Diambilnya dua biji semangka yang bersarang aneh di mukaku, sambil menggumam. "Besok kan udah mau ketemu keluarganya Michelle? Yang semangat dong."

"Ho... ree..." Jawabku dengan helaan nafas panjang. "Udah."

Moodku hancur total, mana bisa dibalikin gitu saja? Apalagi denger kata 'temu keluarga', nggak tahu kenapa malah justru bikin kepala makin pusing.

Sementara temen-temenku mulai bersiap dengan permainan kartu mereka, aku masuk ke kamar tamu Bobi dan mengganti pakaian disana. Butuh beberapa menit gantinya, sampe akhirnya aku keluar kamar dan nunjukin hasil jadi setelan itu di badanku.

*

     Ron langsung tepuk tangan heboh. "Yu! Kek artis kamu, Yu! Ganteng banget! Parah gantengnya sampe ke puncak Monas!"

Bobi malah mangap lebar. "Itu setelan kok pas banget di badan? Cabin yang bikin sendiri? Aku jadi pengen pesen juga."

"Lumayan." Sahut Alex. "Kalo bagus gitu, bisa jadi langganan."

Aku nggak bereaksi, cuma menoleh sebentar ke karyawan Calvin yang langsung mengangguk. "Pak Calvin yang mendesain dan ukur sendiri. Pola yang udah jadi, baru dijahit sama karyawan."

Kuseret badanku buat berdiri di depan cermin seukuran badan yang sengaja ditaroh Bobi tepat di pojok ruangan. Tadinya masih pasang muka bete, tapi begitu melihat bayanganku sendiri di cermin... nggak ada pilihan kecuali diam dan tertegun.

Bener kata Ron tadi, semuanya pas. Mulai dari jas, kemeja sampe celana yang dirancang Calvin secara pribadi... semua pas buat badanku. Lengan sampe pergelangan tangan terbalut hangat, dengan bordir garis setengah melingkar berbentuk akar tanaman yang dikerjakan manual. Kain jas di bagian pinggang merenggang mengikuti lekuk, sementara kerah kemejanya berbentuk runcing dengan dua pin perak menghiasi masing-masing sisi. Celana chino-ku berwarna hitam pekat, sama seperti jas di atasnya.

Semua yang aku pakai, berpatenkan Calvin. Aku seperti melihat dia di cermin, memelukku melalui semua pakaian yang kupakai.

     Aku bisa membayangkan usahanya mengerjakan setelanku, memikirkan setiap detail dan rincian. Dia yang duduk penat dengan kertas dan pensil, merancang bentuk dengan hati-hati. Dia yang berdiri, menusuk dengan jarum atau mengatur belokan benang. Dia, yang memikirkanku saat mengerjakan semua ini.

"Anda mau lepas sekarang, Pak?" Tanya si karyawan cewek.

"Nggak..." Jawabku. "Aku mau pake aja."

***

     Rasanya masih nggak rela melepas. Bahkan saat karyawan tadi sudah pulang dengan taksi dan malam Men's club resmi kelar, aku masih saja memakai setelan dari Pleuvoir.

Setelah pamit ke Bobi dan anak-anak laennya, seperti biasa aku pulang dengan jalan kaki. Di trotoar malam yang lembab dan ditindik becek dimana-mana, aku melangkah dengan pikiran yang berat. Kueratkan jaketku, kumasukkan kedua tanganku dalam saku dan kutarik nafas dalam-dalam melalui mulut.

Begitu banyak orang. Tapi yang pengen aku lihat, cuma satu.

     Begitu sampe di rumah, kulempar jaket ke lantai kamar dan kuhempaskan badan capekku begitu saja di kasur. Persetan sama kamar mandi atau makan malam, sudah cukup bersyukur kalo bisa melalui hari ini tanpa insomnia. Aku nggak mau harus terus melek dengan kondisi melankolis seperti ini.

Telfon nggak diangkat, pesen juga nggak dibales. Apa begini juga yang dirasain Calvin waktu sempet jauh dari aku dulu? Apa orang seperti aku, juga bisa bikin dia sedih?

Dalam balutan setelan buatan Calvin, kupaksa mataku merem dan menikmati kehangatan setiap inchi kain. Serasa kembali lagi ke beberapa malam lalu saat Calvin masih tidur di sebelahku. Serasa hangat yang sama, serasa kenyamanan yang sama.

***

     Matahari siang- meninggi, sinarnya terik banget meski langit masih rawan mendung. Diantara beberapa orang yang menikmati makan siang di area luar resto Delizioso, Calvin terlihat langsung berdiri menyambut Michelle yang mendekat. Calvin, sosok berwibawa dengan kemeja Armani hitamnya itu, memberikan pelukan dan ciuman pipi hangat untuk sahabatnya. "Salut." Sapanya, seraya menarikkan satu kursi di hadapannya khusus untuk Michelle.

Michelle duduk sambil masih melirik Calvin. "Bonjour, ça va?"

Calvin mengangguk dengan senyum simpul. "Pas mal..." 

      Michelle Graha dengan mini dress Miu Miu warna pastel itu, memasang posisi anggun. Dia adalah epitome sempurna cewek metropolis pada umumnya. Rambut terurai sehat, kulit cerah, wajah cantik, badan semampai dan seleranya kelas tinggi. Michelle adalah tipe cewek yang akan menarik perhatian orang sekitarnya, baik karena kecantikannya atau karena tatapan judesnya kalo ada sesuatu yang nggak berjalan sesuai keinginan. "Caprese salad aja sama wine aja."

"Pasta Con Pomodoro E Basilico." Calvin mengulurkan lagi buku menu ke tangan waiter, menyusul Michelle. "Juga Campari."

Setelah memesan, Michelle langsung fokus ke sahabat yang sudah agak lama nggak ditemuinya itu. "Kantung matamu item."

Calvin mengusap matanya sendiri dengan jempol. "Kurang tidur karena banyak kerjaan. Banyak pikiran juga."

     "Mikir apa? Cowok? Kamu nggak pernah cerita masalah hubungan pribadimu sama aku. Nggak bahkan waktu kita masih di Paris. Dulu aku sibuk pesta dan hang out bareng temen-temen dan pacar, tapi kamu malah milih belajar dan kerja part-time. Boring banget."

"Aku emang gitu."

"Sama kek Yussa, ngebosenin."

"Hmm?"

"Kamu ama Yussa, cocok. Sama-sama ngebosenin."

Ada sekilas senyum geli di muka Calvin. Sebenernya bukan dia dan aku yang membosankan, tapi kami belom dipertemukan saja. Butuh orang yang pas untuk menghilangkan sifat membosankan kami. Butuh aku, untuk mengeluarkan sisi Calvin yang tersembunyi dan nggak dibagi ke semua orang. Dan butuh dia, untuk membuat aku jadi manusia normal. Orang yang bisa menikmati hal-hal kecil dalam hidup, yang bisa dengan bebas tertawa dan menangis.

Michelle mengeluh, menyibakkan rambut panjangnya yang siang itu dijepit pin Swarowski di bagian kanan atas. "Males banget dinner ntar, tapi mau gimana lagi? Udah terlanjur janjian. Padahal, nggak perlu temu keluarga juga... Mamanya toh suka aku."

Mata Calvin mengerling. "Apa kalian udah pernah ketemu?"

"Belom sih." Geleng Michelle. "Tapi apa sulitnya ambil hati Mamanya Yussa? Cuma orang udik."

"Jangan ngomongin orang tua kek gitu."

"Tapi beneran kok. Emang udik kan?"

"Michelle-"

"Dia itu janda tua yang hidup sendirian di pelosok. Hidupnya cuma ngandalin tunjangan pensiun almarhum suami dan duit gajinya si Yussa. Tiap hari kerjaannya cuma cuci baju ama masak, mana selalu pake daster pula. Udik banget, sama kek anaknya."

     Calvin terdiam, menarik nafas dan menahannya di dalam dada buat beberapa waktu. Sikap asal-asalan Michelle sebenernya buat dia keberatan. Tapi disisi lain, dia sadar kalo dia nggak punya hak untuk protes sama sekali.

Makanan disajikan beberapa saat kemudian, tapi itu nggak mencegah Michelle tetep mengoceh. "Kita harus sering makan atau keluar bareng kek gini. Temen-temenku lagi banyak yang keluar negeri dan Yussa nggak pernah enak diajak jalan." Michelle menusuk saladnya satu persatu. "Ke Mall aja dia nggak suka, ke bioskop dia nggak suka, makan pun nggak bisa kalo restorannya terlalu gede. Pokoknya malu-maluin deh. Kalo nggak karena dia ganteng banget, mana mau aku?"

Mata Calvin merenggang. "Yussa nggak kek gitu..." Selanya. "Dimanapun tempatnya... asal dia nyaman, dia pasti cepet menyesuaikan diri. Mall, bioskop, restoran gede, bahkan trotoar sepi dan di warung pinggir jalan pun, dia bisa jadi temen yang nyenengin asal kamu bisa lebih menghargai."

     "Kamu ngomong apa, sih?" Michelle ketawa. "Ini Yussa loh, cowok aku. Kamu nggak kenal dia sama sekali, Cal. Yussa itu keras kepala dan egois banget. Maunya menang sendiri."

"Kalo sifatnya sejelek itu, harusnya nggak usah diterusin."

"Kan udah kubilang tadi? Dia ganteng banget."

"Banyak cowok ganteng lain yang cocok ama seleramu kan?"

"Kepalang tanggung..." Sahut Michelle. "Udah lumayan lama pacaran, jadi kenapa nggak diterusin sekalian? Lagian cowok bego yang bisa diatur-atur, cuma Yussa doang. Dia tuh lempeng banget, cocok jadi figur tunangan ato suami masa depan. Kalo aku seneng-seneng diluar, cowok macem dia nggak protes. Karena statusnya jauh di bawahku, jadi gampang dikontrol."

*

     "Dia bukan robot." Sela Calvin, nggak tahan sendiri. "Michelle. Sebenernya kamu cinta nggak sih sama pacarmu?"

"Apa hubungannya ama cinta?"

"Kalo nggak cinta, seenggaknya kasihan."

"Ini jaminan masa depanku."

"Trus gimana masa depan Yussa?"

"Itu urusannya dia. Bukan urusanku, apalagi kamu."

Sudah bisa diduga, Calvin akan diingatkan lagi tentang posisi dia sebagai teman. Sebagai pihak luar yang nggak berhak terlalu ikut campur. Tapi pikirannya terlalu resah, jadi untuk pertama kali dia jadi cowok yang sedikit cerewet saat makan. "Trus... tujuan makan malam dan temu keluarga nanti, apa bener buat membahas rencana tunangan?"

     Sambil menyantap salad, Michelle mengangguk. "Rencana Papa sama Mapa sih gitu, dan kami yakin Yussa apalagi Mamanya nggak bakalan nolak. Kan keluarga Graha yang bayarin semuanya."

"Kapan...?"

"Papa pengennya bulan depan."

"Secepet itu?"

"Nunggu apalagi?" Michelle mencibir. "Kalo kelamaan, Yussa bisa ragu dan rencana bisa gagal berantakan. Kan males kalo harus kenalan ama cowok baru dan adaptasi lagi. Mending yang udah ada aja, meski barangnya nggak berkualitas."

Nggak berkualitas katanya. Mendengar ejekan silih berganti dari mulut Michelle tentangku, membuat Calvin makin termenung. Aku yang paling diperhatikannya, justru dibuat mainan oleh orang lain.

Michelle menggumam. "Karena waktunya udah deket, kamu harus bantu aku ama baju dan menu kathering ya? Menu Italia gini juga enak. Seafood juga, udang ama kepiting."

Calvin berhenti makan, seperti kehilangan tenaga seketika. Dia menyesal kenapa harus datang makan siang dengan Michelle. Dia tahu gimana sifat cewek itu sejak awal mereka kenal, dan selama ini nggak pernah jadi masalah meski Michelle sering mainin orang. Tapi kali ini, nggak tahu kenapa...

     Menutup matanya yang penat selama beberapa detik, Calvin lalu memperhatikan Michelle. "Apa kamu pernah denger?"

Michelle menoleh. "Hmm?"

"Omongan Yussa, sedikit pun apa pernah kamu denger? Dia nggak bisa makan kepiting, dia alergi."

"Oh ya? Kok dia nggak pernah cerita?"

"Dia cerita, tapi kamu yang nggak mau denger. Kamu bilang dia egois, padahal kamu yang nggak perduli perasaan orang lain. Aku perlu ingetin aja sebagai temen." Ujar Calvin, nggak bisa menahan apa yang jadi beban pikirannya.

"Yussa itu alergi kepiting, Michelle. Dia sering insomnia dan hidungnya gampang jadi merah karena flu. Dia suka Beethoven dan teather. Dia bisa pake baju bermerk, tapi yang casual. Meski dia jarang ketawa, tapi bisa langsung tersenyum malu-malu setiap kamu puji dia dengan tulus. Dia akan dengerin semua keluhan kamu dan berusaha mikirin gimana cara membantu. Dan piano... dia memainkan piano seperti seorang Maestro."

     Calvin menunduk dengan tarikan nafas. "Dia mungkin nggak gampang ungkapin perasaannya dengan kata-kata, jadi kamu yang harus pinter baca raut mukanya. Baik sedih, seneng, marah, semua kelihatan jelas di muka Yussa. Dia nggak pernah bisa pura-pura. Yussa... orangnya seperti itu." Dipandangnya wajah keheranan Michelle. "Sori, aku cuma... uhm... tolong jangan kasih dia kepiting. Dia alergi."

Michelle bukan orang bodoh, mendengar Calvin memberinya sanggahan sampe sepanjang itu- bener-bener membuatnya curiga. Ada perasaan aneh beberapa bulan terakhir, yang sulit dijelaskan tapi kuat dan mengganggu. Meski nggak masuk akal, tapi apa mungkin kalo Calvin dan pacarnya saling kenal? Apa mungkin kalo Calvin... ada rasa sama pacarnya?

Nggak mungkin kan?

***

     Tiba juga saatnya. Saat yang nggak aku tunggu, tapi nggak mungkin juga dihindari. Aku berangkat dengan setelan yang hampir nggak aku lepas sama sekali sejak kemarin, meski sempat kusetrika dengan pewangi dan kujemur sampe hangat. Setelah jemput Mama, aku pun males-malesan nerusin perjalanan dengan nyetir ke rumah keluarga Graha.

Dibandingkan aku, Mama kelihatan lebih semangat. Harapan agar hubungan anak tunggalnya bisa diresmikan, makin jadi nyata.

Mama sampe harus dandan segala. Dengan make-up tipis, kalung emas polos yang tergantung satu di lehernya, rambut terikat rapi dan setelan rok pastel yang biasanya cuma dia pakai saat kondangan. Wajah lembutnya nggak berhenti tersenyum sepanjang perjalanan. Jarang aku lihat dia seseneng dan seantusias ini, jadi aku paksakan mukaku untuk sesekali tersenyum. Kalo aku pura-pura, setidaknya aku bisa melalui malam ini dengan lancar.

*

     "Bu Sadina, akhirnya bisa ketemu..." Sampai disana, si botak Graha yang pertama kali menyambut aku dan Mama di teras rumah dengan senyum lebar, bahkan lebih pura-pura lagi dibanding aku. Istrinya, yang ada pas di belakang, cuma tersenyum sinis melihat kedatanganku dan Mama. Wanita judes dengan blouse floral dan perhiasan yang menempel sana-sini macem toko emas bernafas. Bu Ambar namanya, dikenal wanita darah dingin. Dia nggak banyak omong, biasanya menghakimi orang cukup dengan lirikan. Saat ini yang dia hakimi adalah jumlah barang merk yang menempel di badanku dan Mama. Yang tentu saja jumlahnya... nol.

Selain setelan hasil desain dan jahitan Calvin, aku nggak pake apapun yang bisa dinilai mahal. Apalagi Mamaku. Bajunya pasti beli kreditan sepuluh kali dari tetangga sebelah. Jadi wajar kalo berada di rumah keluarga Graha, aku merasa bener-bener minder. Nggak ada perasaan aman dan nyaman sama sekali dengan situasi ini.

Sementara orang tuanya menjamu Mama ke ruang makan, Michelle langsung melingkarkan tangan ke lenganku dan berjalan bareng dengan manjanya. "Kamu ganteng banget deh malam ini, beda kek biasanya. Kemeja, jas sama celananya super keren."

Kulirik pakaianku sendiri, trus aku mengangguk. "Hmm."

"Beli dimana? Pasti persiapan serius buat malam ini ya?"

"Dibuatin Calvin..."

     "Hah..." Mimik muka Michelle seketika berubah, senyum di muka cantiknya hilang. Yang ada malah tegang. "Kapan? Kok nggak ajak aku sih pesennya? Bayar berapa? Pasti mahal. Calvin nggak pernah kasih diskon kecuali sama aku."

Aku menggeleng pelan. "Nggak bayar, gratis. Jas, kemeja dan celana dia semua yang desain sendiri."

Michelle diam tercengang mendengar jawabanku. Dia nggak bisa bayangin Calvin yang perfectionist banget urusan desain, dengan gampangnya beri barang gratisan buatku. Mikirin hal seperti itu, spontan membuatnya mempererat gandengan di lenganku, malah kesannya mencengkeram.

"Ah!" Aku sedikit menahan sakit, keheranan. "Kenapa sih?"

Dia menggeleng. "Nggak pa-pa, kaget aja kamu belanja sendirian."

     Aneh. Sikapnya aneh banget malam ini.

Seaneh sikap orang-tuanya yang canggung duduk bersama dengan kami di meja makan. Meski gimanapun, acara ngeselin ini harus tetep dilanjut. Apalagi semua sudah disiapin rapi.

Ruang makan keluarga Graha membuatku mangap-mangap sendiri karena kemewahannya. Beda dengan ruang-ruang sebelumnya yang didesain interior agak minimalis, ruangan ini cenderung padat dengan sebuah meja makan panjang di tengah ruangan dan kursi-kursi makan yang mengitari. Tepat di atas meja makan, tergantung chandelier besar berwarna emas kemerahan dan di sisi kanan kiri dinding dipajang lukisan-lukisan bertemakan Eropa. Dibandingkan dengan ruang makanku yang jadi satu dengan dapur, tempat ini jauh kemana-mana.

Menunya membentang dari ujung sampe ujung, padahal yang makan cuma lima orang. Ini yang aku benci dari orang-orang kaya, sukanya buang-buang makanan.

Aku duduk disebelah Mama, seperti dua Alien minoritas yang ada di tempat asing bernama Songong Planet.

     "Maaf kalo nggak sesuai selera. Pembantu disini masaknya makanan restoran, jadi mungkin kurang cocok di lidah." Ujar Bu Ambar, menyombong tapi lagak senyum. "Silahkan, Bu. Nanti boleh dibungkus dan dibawa pulang juga kok. Biasanya pembantu-pembantu disini juga suka bawa pulang makanan sisa."

Apa maksudnya? Serius Mak-mak menor itu nyindir Mama sampe kek gitu? Make-up puluhan juta dan rambut sasak setinggi Monas itu nggak membuat dia lebih baik daripada Mama. Aku bisa saja menjawab balik, kalo Mamaku nggak buru-buru melempar senyum ke seolah menyuruhku untuk tetep tenang.

Menyantap makanannya, Pak Graha berdehem. "Gimana... menurut Bu Sadina tentang Yussa dan Michelle? Mereka sudah sama-sama dewasa, harusnya nggak perlu nunggu lama untuk meresmikan hubungan."

Mama tersenyum. "Saya sih menurut saja, Pak."

"Tapi Yussa kan masih kerja di bank Athens." Sela Bu Ambar, dengan muka sinisnya. "Kalo serius sama Michelle, harusnya dia berhenti kerja di bank dan mulai merintis usahanya sendiri. Mana mungkin teller, bisa memenuhi semua kebutuhannya Michelle? Lagipula orang-orang seumur Yussa biasanya sukses wiraswasta. Masa' nggak malu numpang kerja di kantor calon mertua terus?" Dia lalu melihatku dengan tawa yang dibuat seolah-olah sok bercanda.

     Mama membalas dengan senyum simpul, jenis senyuman sabar yang biasa dia tunjukkan. Wanita yang paling kusayangi itu, yang biasanya penuh dengan kata-kata bijak, malam itu nggak berkutik sama sekali melawan ramah-tamah palsu keluarga Graha.

Aku sendiri, cuma bisa diam memandang makanan yang utuh. Dalam bising suara mereka yang saling bersahutan membicarakan tentang masa depanku yang nggak jelas, mataku berkedip makin lemah. Seperti dengung lebah, bising mereka tertelan lamunanku. Badanku mungkin disini, tapi nyawaku jauh terbang ke tempat lain.

Perlahan, aku teringat nasehat Mama. 'Ingat saat kamu bisa tertawa dan nangis. Ingat saat emosi kamu meluap-luap, dipenuhi rasa marah tapi juga damai yang tulus. Dalam gelap, coba cari satu titik putih. Di titik itu, apa atau siapa yang kamu lihat disana... itulah prioritasmu. Itu, yang harus kamu kejar.'

*

     Kupejamkan mata, merasakan seolah badanku tersedot jauh dari tempatku yang sekarang. Yang kulihat pertama cuma gelap pekat, trus perlahan diikuti kilatan warna-warni aneh berbentuk garis. Seperti tersesat nggak berujung, aku mencoba cari sesuatu dalam gelap. Samar... tapi sorotku terus saja bergerak maju sampe akhirnya bisa kutemukan bias putih dalam sudut pandang. Makin aku mendekat, makin biasnya membentuk garis putih panjang. Garis itu, lalu membentuk siluet sebuah sosok.

Sosok manusia bertubuh tinggi jangkung dengan dada bidang dan kulit putih yang bening dan lembut. Dia memandangku dengan senyum ramah, menawarkanku perlindungan dan perhatian tanpa batas. Dia yang menghargai dan mendukungku dalam hal terkecil.

Dia... yang meletakkanku di posisi teratas dan menuntunku ke arah kemajuan. Dia dengan pesonanya yang mengendap-endap masuk dan menguasai hatiku tanpa permisi lebih dulu. Dia, yang nggak pernah sekalipun lepas dari pikiranku. Nggak pernah lepas, dari doa dan rasa kangenku.

Aku membuka mataku perlahan-lahan. Seiring dengan kembalinya warna-warni busuk kehidupan nyata, aku tahu sekarang, apa dan siapa prioritasku. Dia...

"Mama..." Aku menoleh pada Mamaku, memegang tangan wanita cantik itu dengan tekad bulat. "Aku ada perlu dadakan. Aku antar Mama pulang sekarang."

***

     Jauh lebih awal dari rencana semula, aku pun pamitan ke keluarga Graha sesopan mungkin. Mereka kelihatan kecewa banget, tapi jujur saja... aku sudah nggak perduli lagi. Toh mereka bisa lanjutin malam mereka dengan mengagumi chandelier mahal mereka, atau ngitung emas-emas batangan di brangkas, atau renang di kolam duit dollar seperti punya Gober Bebek.

Terserah. Aku nggak mau lagi gabung cuma buat direndahkan.

Meski bagi aku, yang aneh cuma satu. Michelle.

Masih aku ingat jelas tatapan aneh Michelle di depan pagar rumahnya, saat mengantar kepulanganku. Seperti tatapan takut, satu hal yang nggak pernah aku lihat sebelumnya dari Michelle.

     Tapi sekarang yang penting bukan dia. Yang penting adalah Mama yang nggak menolak saat aku ajak pulang. Sepertinya tahu kalo ada beban pikiran yang sulit aku jelaskan. Sepanjang perjalanan sampe saat sudah ada di rumah lama pun, Mama tetep diam. Baru saat aku memeluknya untuk pamitan di depan pagar, Mama menepuk punggungku dengan lembut dan berbisik dengan nada cemas. "Ada apa, Cah bagus?"

Kulepas pelukannya dan menggeleng. "Nggak ada apa-apa."

Mama memandangku, mengusap pipiku. "Ada yang kamu pikir... tapi nggak mau kamu bagi sama Mama."

"Bukan nggak mau, Ma. Cuma belom aja."

"Apa tentang Michelle?"

"Tentang aku sendiri..."

"Cepet ditenangkan pikirannya." Mama mengelus rambutku dan tersenyum. "Kalo sudah siap, cerita sama Mama ya?"

     Membiarkanku masuk ke mobil yang mesinnya masih nyala, Mama berucap lagi. "Kita pulang langsung setelah makan tadi, mungkin menyinggung keluarganya Michelle. Jangan lupa telfon mereka nanti, minta maaf yang bener."

Aku mengangguk.

"Hati-hati nyetirnya ya, Le."

"Aku pergi dulu, Ma."

Mama membalas lambaian tanganku, melihatku pergi menjauh meninggalkan pekarangan rumah lama. Wanita setengah baya itu menolak masuk, sebelum yakin aku bener-bener sudah hilang dari pandangan. Saat ini, mungkin aku belom bisa bilang ke Mama apa-apa. Tapi setelah semuanya beres... pasti. Harus.

Aku masih mau konsentrasi dulu ke prioritas utamaku. Aku mau ketemu dan bilang semua yang belum sempet terucap saat ketemu dan pisah terakhir kali. Aku nggak mau lagi melihat punggungnya menjauh, mulai sekarang pengen cuma memandang wajahnya dari jarak dekat. Nggak mau lagi tengkar karena salah paham atau pisah karena hal-hal sepele.

Kutancap gas di perjalanan, melaju makin cepet dengan mobilku. Aku nggak sabar lagi pengen cepet-cepet ketemu. Saking nggak sabarnya sampe mukaku mulai senyum-senyum, gila sendiri seperti biasanya. Setelah ini, semua bakalan menuju ke arah yang lebih baik kan? Kalo sama dia, pasti begitu kan?

***

     Begitu sampe di rumahnya, aku langsung meloncat turun dari mobil dan berlari sampe kepeleset-peleset ke teras. Dengan nafas ngos-ngosan, jariku langsung mancep gitu saja di bel pintu. Pertama, aku masih menekan bel rumah dengan sopan. Tapi lama-lama karena nggak sabar, jariku gatel sendiri untuk menekan-nekan seperti orang sinting.

Teeettt! Teett teett teettt teettt!!!

Jantungku berdebar kenceng dan badanku jadi tegang sendiri. Tapi ini jenis grogi yang enak, yang aku nikmati banget. Mungkin karena aku tahu kalo begitu pintu dibuka, ada dia yang akan langsung menenangkanku. Teeeeettttt!!!

*

     "Iya iya...!" Suara itu kedengeran jengkel saat buka pintu. Wajar saja, karena aku sudah membombardir bel pintunya lebih dari 10 kali. Begitu pintu kebuka lebar, wajah sempurnanya adalah yang pertama kali ketangkap mataku.

Dadaku seperti mau meledak, gugupku sudah diluar batas wajar. Nggak ketemu beberapa hari saja, sudah seperti tahunan. Alis tebal dan mata teduhnya, hidung mancung dan bibir merahnya, pipi halus dan lesung di bagian bawah bibirnya yang bersembunyi. Aku kangen melihat semua pemandangan yang ada di mukanya!

Badanku nggak bisa bergerak meski otakku sedang panik mengatur kata-kata. Calvin sendiri kelihatan kaget, memandangku yang datang dadakan tanpa diundang. Diperhatikannya fisikku, mulai dari rambutku yang berantakan kena angin, hidung dan kupingku yang merah karena dingin, sampe keriput di jari-jariku.

"Yussa..." Ucapnya. "Kamu ngapain kesini? Aku udah bilang kita nggak usah lagi kete..."

"Aku pamit pulang lebih awal dari rumahnya Michelle!"

"Hah?"

"Trus abis anter Mama, aku langsung ngebut kesini."

     "Ngebut?" Calvin yang tadinya males-malesan, langsung mengerut dengan nada yang berubah emosional. "Jalanan licinnya kek gitu, kenapa ngebut segala? Kamu tahu bahayanya kan?!"

"Aku nyetirnya ati-ati kok."

"Kalo ngebut, namanya nggak ati-ati!"

"Toh sampe sini badanku masih utuh, kan?"

"Bukan itu intinya..." Calvin menghela nafas panjang, sadar kalo debat sama aku pasti nggak ada ujungnya. Dia cuma memegang pintu lebih erat dan bersiap menutupnya lagi. "Aku mau ambil jaketku bentar. Pake trus buruan pulang, nyetir pelan-pelan."

Aku menggeleng. "Aku nggak mau pulang."

"Yu, ini sulit banget buat aku. Please, pulang aja."

     "Nggak!" Sahutku, nggak diterima diusir. "Aku masih inget omonganmu di depan Pleuvoir. Kamu bilang kalo kamu nggak mau aku repot, nggak mau aku susah, kalo hidupku bisa seneng asalkan jauh dari kamu. Aku benci sikap sok tahumu! Kamu bukan yang paling pinter!"

Hidungku sudah mekar nggak karuan, aku mungkin kelihatan jelek banget tapi setidaknya akhirnya aku berani. "Apa hak kamu nyatain perasaan trus kabur gitu aja, tanpa tanya lebih dulu gimana jawabanku?"

Calvin masih bingung dengan sikapku, tapi caranya diam disana seperti memberiku kesempatan mengoceh. Sebenernya meski dia mengusir pun, aku nggak akan mau pergi. Aku menolak pergi sebelum dia denger semua yang mau kusampaikan.

"Sebelom kenal kamu pun, hidupku emang udah susah. Tapi begitu kenal dan deket sama kamu, hidupku jadi makin susah lagi. Karena buat pertama kalinya, aku ngerasa takut. Aku takut sama pendapat orang, takut kehilangan jaminan hidup, takut dibenci, takut kehilangan keluarga dan temen, takut semuanya. Tapi yang paling aku takuti dibanding semua tadi, adalah kamu yang berjalan pergi dan nggak noleh kebelakang. Jauh dari kamu, nggak bisa denger kamu dan nggak bisa lihat kamu lagi... adalah hal paling menakutkan yang bisa aku bayangin."

Sambil memandang wajah gantengnya, aku memberanikan diri mendekat. "Calvin, aku yakin. Rasa yakin seperti ini, datangnya cuma sekali seumur hidup. Dan aku tahu ini nggak akan gampang. Aku akan ngalami penderitaan dan rasa sakit. Tapi setidaknya aku mau memilih, dengan siapa aku mau jalani semua itu."

     Kutarik nafas dalam-dalam dan kulebarkan senyumku. "Aku mau jalani semuanya sama kamu, seneng dan sakit, semua harus sama kamu. Calvin Nathanael Liem, aku..." Suaraku mulai memelan dan berubah jadi bisikan. "Kayaknya, aku cinta sama kamu..."

Pupil mata Calvin melebar, wajahnya tercengang kaget dan bibir merahnya gemetaran sendiri. "Kamu bilang apa barusan?"

Aku tersenyum, meski beberapa detik kemudian, praktisnya aku malah ketawa cekikikan. "Aneh ya? Tapi beneran kok. Nggak perlu Einstein buat tahu, jenis perasaan apa yang aku rasa setiap deket atau jauh sama kamu. Memang seumur hidup- ini yang pertama, tapi aku juga nggak segoblok itu kok. Ini jelas cinta. Aku cinta sama kamu. Cinta banget malah..."

Dia terdiam lama. Nggak bisa bergerak dan cuma bisa diam melihatku tersenyum lebar setelah menyatakan perasaan. Calvin pasti kaget setengah mati. Sebenernya aku juga sama kagetnya dengan keberanian impulsifku. Nggak tahu kenapa, aku bisa nekad seperti ini. Aku cuma ngerasa, ini yang bener.

*

     "Calvin, kamu mau showernya nyala?"

Suara teguran dari dalam rumah Calvin, menghapus senyum lebar dari mukaku. Suara seorang cowok, nggak tahu siapa. Yang jelas dia tiba-tiba saja muncul, berjalan keluar dari dalam ruang tengah.

Dia berhenti dan berdiri disebelah Calvin. Seorang cowok yang datang dengan dada telanjang dan cuma pake celana panjang kolor, seperti bersiap mau tidur. Dia menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk lebar, sambil menggumam. "Malem-malem gini kok masih ada tamu? Siapa ini? Kenalanmu?"

Melihat dia dengan santai merangkul bahu Calvin, membuatku diam nggak berkutik.

Pemandangan apa ini? Siapa dia dan kenapa dia bisa deket banget sama Calvin? Semalem ini ada di rumah Calvin dengan pakaian seminim itu, sepertinya nggak mungkin kalo mereka sekedar naek genteng dan ngobrolin astronomi. Apa ini sejenis kehidupan gay yang aku nggak tahu? 

     Tapi Calvin bilang dia suka sama aku...

"Kamu bilang, kamu suka sama aku..." Gumamku, sama sekali nggak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Sadar kalo ada cowok laen yang mungkin sudah menyentuh kulit Calvin, membuat badanku merinding sendiri. Otakku menolak percaya apa yang mataku sedang lihat.

"Yussa..."

"Kamu bilang kamu suka..."

"Yussa."

"Kamu bilang kamu suka sama akuu!!!" Bentakku, seraya dengan cepet membalikkan badan dan buru-buru berjalan pergi.

Calvin menepis tangan cowok yang merangkulnya tadi dan segera berlari menyusulku. Dia yang cuma pake kaos dan celana panjang tidurnya, bahkan sampe nggak perduli telapak kakinya yang telanjang, nyeri sendiri kena kerikil-kerikil pekarangan.

     "Yussa... Yussa, dengerin dulu!"

"Udah berapa kali kamu tidur sama cowok? Belasan? Puluhan? Jadi karena nggak dapet aku, kamu langsung aja kencan sama cowok laen? Ato mungkin emang pas deketin aku, kamu udah sering tidur ama cowok tadi?"

"Yussa, berhenti!." Calvin meraih tanganku. "Kasih aku kesempatan ngomong!"

"Jangan pegang!" Kutepis tangannya dengan kasar, terkesan melempar sejauh mungkin. Kusembunyikan dua tanganku di balik punggung sementara kepalaku menggeleng. "Aku mohon... jauh-jauh dari aku. Buatku, kamu yang sekarang... kotor." Rintihku, masih menunduk menghindari kontak mata. "Maaf, tapi aku jijik. Jijik banget."

Mendengarku, Calvin terdiam dan menyerah. Tangannya turun lagi dan jatuh di udara. Dia melangkah mundur beberapa jengkal dan memberikan kesempatan buatku untuk pergi menjauh. Matanya memandangku lemah. Seluruh badannya pengen banget mencegahku pergi, entah itu dengan jatuh berlutut atau memelukku erat-erat. Tapi nggak... yang bisa dilakukannya sekarang cuma berdiri dan menikmati mati rasa.

*

     Kutancap gas, pergi secepet mungkin dari rumah Calvin. Mobil kubawa masuk lagi ke jalanan yang mulai sepi kendaraan. Aku seperti orang bego yang kesasar, nggak tahu harus kemana lagi. Ini jalanan yang rutin aku tempuh, tapi aku nggak bisa lagi bedakan mana kanan dan kiri.

Tanganku gemetaran hebat, memegang setir tapi sulit banget mengendalikannya. Aku terpaksa harus menghentikan mobil dan memarkirnya di pinggiran. Begitu membuka pintu mobil, kakiku merangkak keluar dan hampir saja jatuh terjembab di tanah.

Badanku ambruk, terduduk di pinggir jalan dengan kepala- terhuyung lemas. "Huekkk!!"

Rasa mualku memuncak dan nggak bisa ditahan. Mungkin terlalu shock, mungkin terlalu bingung, mungkin terlalu sedih. Apapun kemungkinannya. "Huekkk!!!" Aku nggak berhenti muntah di pinggir jalan. Nggak jelas apa yang aku muntahkan karena sejak siang, aku belum sempet mengisi perutku dengan makanan apa-apa. Bahkan di rumah Michelle pun, aku hampir nggak menyentuh masakan yang dihidangkan sama sekali. Jadi sekarang perutku terasa perih, perih melilit yang nggak tahu kenapa masih kalah dengan rasa sesakku.

     Setetes air mata, jatuh begitu saja. Menetes ke tanah dan disusul dengan teman-temannya yang lain. Kenapa Calvin bisa jahat banget? Aku mengusap mulut kotorku dan perlahan beranjak berdiri. Tapi sebelum sempat masuk ke mobil yang pintunya masih kebuka lebar, badanku tiba-tiba nggak bisa digerakkan lagi.

Aku menutupi mukaku dengan kedua tangan, merasakan sesak di bagian dada yang hebat banget sampe kesulitan nafas. Diantara rame lalu-lalang kendaraan, aku tetap berdiri di tempatku. Mematung seperti batu dan nggak bisa berhenti menangis terisak-isak. Calvin... sudah menghantamku dengan rasa sakit yang nggak bisa dibayangkan. Kenapa dia memperlakukan aku seperti orang paling penting, kalo pada akhirnya membuangku seperti sampah?

Tangisku nggak berhenti saat menyadari kalau kali pertama aku merasakan cinta, adalah kali pertama aku merasakan patah hati juga. Bahwa sakitnya serasa dua kali lipat saat aku sadar juga kalau hatiku sedang patah sendirian, sementara hatinya justru sedang diperbaiki oleh orang lain.

Bahkan dalam kondisi histeris. Bahkan dalam tangisku yang makin kencang dan memilukan, aku tetep saja merengek memanggilnya dalam kepalaku. Calvin... Calvin...

***

© 2016 Martin Davis. 12 Pike St, New York, NY 10002
Powered by Webnode
Create your website for free! This website was made with Webnode. Create your own for free today! Get started